Penghargaan-penghargaan film di Indonesia belum bisa jadi acuan kualitas perfilman nasional
18 Tanggapan
Setuju: 88.89%
Tidak setuju: 11.11%
Pemberian tanggapan untuk topik ini sudah ditutup pada Thursday, 07 March 2013
Pengantar:
Festival Film Indonesia kembali menuai kecaman. Beberapa pemenang, termasuk kategori film terbaik, dianggap tidak layak mendapat Piala Citra. Sistem penjurian FFI yang jadi sorotan. Ada kesenjangan antara penilaian juri dengan penilaian pekerja, penggiat, dan pemerhati film secara umum. Bagi publik, masih ada pilihan lain yang lebih pantas menang.
Walau skalanya tak sama besar, polemik FFI 2012 ini serupa dengan FFI 2006. Kala itu BPPN (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional) membatalkan kemenangan Ekskul sebagai film terbaik dan Nayato Fio Nuala sebagai sutradara terbaik. Pemantiknya adalah protes dari sekelompok penggiat film yang menyebut diri sebagai Masyarakat Film Indonesia (MFI) perihal pelanggaran hak cipta penggunaan musik dalam film Ekskul. Protes tersebut disusul dengan aksi pengembalian piala, serta seruan boikot pelbagai kegiatan perfilman milik pemerintah, termasuk FFI.
Ada tiga isu yang patut digarisbawahi. Pertama, sistem penjurian warisan lama dalam situasi hari ini sudah terlampau eksklusif. Bahkan setelah tahun lalu jumlah anggota Komite Seleksi dan Dewan Juri ditambah menjadi 9 dan 15 orang, dari sebelumnya hanya 5-7 orang. Yang kini diperlukan dalam penjurian bukan sekadar jumlah, melainkan kompetensi. Idealnya, penilaian dilakukan oleh para penggiat dan pekerja film yang benar-benar memahami bidang keahliannya, serta mengikuti perkembangan mutakhir dari estetika sinema.
Kedua, juri-juri FFI sekarang bukanlah representasi faktual dari perfilman nasional. Nama-nama yang mengisi juri FFI kebanyakan berasal dari organisasi-organisasi profesi warisan Orde Baru, macam KFT, Parfi, PPFI, dan lain-lain. Ada kesan pemerintah dan panitia FFI masih meyakini bahwa mereka adalah representasi pekerja film. Faktanya, sebagian besar pekerja film yang aktif hari ini tidak berasal dari organisasi-organisasi tersebut.
Ketiga, kritikan terhadap FFI belum berdampak pada terbentuknya festival atau kompetisi tandingan yang setara. Memang di tahun 2012 kemarin sempat muncul beberapa nama baru, namun belum mampu menyaingi FFI dari segi citra dan eksposur. Ada Apresiasi Film Indonesia, bentukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sayangnya, kompetisi yang diselenggarakan masih sekadar tiruan pucat dari format serta kategori-kategori yang dilombakan FFI.
Ada pula Piala Maya, inisiatif media sosial @film_indonesia. Jurinya berumlah seratus orang, yang terdiri dari jurnalis film, praktisi periklanan dan media, akademisi, penyiar radio, blogger, perancang busana, mahasiswa, perwakilan komunitas film, dan lain-lain. Kategori-kategori yang dilombakan terhitung komprehensif, di mana jumlah profesi yang diberi penghargaan jauh lebih banyak dibanding FFI. Mereka juga melombakan film pendek, animasi, dokumenter, film berbahasa daerah, dan penulis kritik. Umur penghargaan ini masihlah sangat muda. Perlu dilihat ke depan apakah Piala Maya bisa diselenggarakan secara rutin tiap tahunnya.
Satu-satunya festival yang mampu mengimbangi FFI dari segi penyelenggaraan adalah Festival Film Bandung (FFB). Festival bentukan intelektual dan budayawan Kota Kembang ini digelar tanpa putus dari tahun 1987, bahkan ketika FFI mati suri dari tahun 1993 sampai 2003. Sayangnya, FFB kurang eksposur dan kurang dikenal khalayak umum. Meski sudah berumur 25 tahun, baru tahun 2012 kemarin malam penghargaan FFB disiarkan langsung di stasiun televisi nasional.
Keberadaan festival atau kompetisi tandingan ini krusial, tidak saja bagi FFI tapi bagi perfilman secara keseluruhan. Banyak kompetisi akan melahirkan banyak sudut pandang, yang pada perkembangannya dapat mendorong masing-masing festival untuk memperketat kompetisinya dan memantapkan identitasnya. FFI memang perlu banyak pembenahan dari dalam, tapi juga dibutuhkan tekanan dari luar supaya perubahan tersebut dapat terjadi. Budaya apresiasi perlu digalakkan. Bagaimanapun juga, film tidak saja bergantung pada tuntutan pasar tapi juga perkembangan estetik. Perfilman yang sehat adalah perfilman yang menghargai keduanya.
Acuan:
- Risalah 2012: Ganti Sistem Penjurian dan Rezim Juri FFI (Totot Indrarto, 2013)
- 27 Pemenang Piala Maya 2012 (Adrian Jonathan Pasaribu, 2012)
- FFI 2012 Sebenarnya untuk Siapa? (Adrian Jonathan Pasaribu, 2012)
- Pendapat Juri tentang Film-film FFI 2012 (Adrian Jonathan Pasaribu, 2012)
- Mata Tertutup Film Terunggul pada AFI 2012 (Arie Kartikasari, 2012)
Setuju
Saturday, 11 May 2013
Setuju
Saturday, 11 May 2013
Setuju
Monday, 13 May 2013
Setuju
Sunday, 26 May 2013
Setuju
Monday, 29 July 2013
Setuju
Friday, 18 October 2013
Setuju
Tuesday, 12 November 2013
Setuju
Monday, 23 December 2013
Setuju
Sunday, 05 January 2014
karena makin commmercial-oriented. Meskipun tidak bisa dipungkiri kalu hal tersebut memang dibutuhkan,
Setuju
Monday, 13 January 2014
Setuju
Friday, 17 January 2014
setuju sekali ...mas karena juri ffi rata-rata orang yang enggak punya wawasan film buktinya kejadian ffi 2006 itu ,menangnya film eskul jadi film terbaik ,karna miskinnya para juri akan calenderstik dalam film merek enggak tahu kalau scoring film tersebut mengambil film hollywood gladiator,,,dan para seneas muda kita ya ngamuk he he hari -harinya mereka membedah film ...
Setuju
Saturday, 22 February 2014
Seharusnya , setelah memberikan penghargaan , dewan juri sendiri memberikan alasan yang jelas mengapa film itu di menangkan .
ada sesi diskusi dimana diskusi itu menjelaskan , mengkritik serta memberi saran film film yang di lombakan untuk mencerdaskan dan memberi pengalaman kepada sineas sineas muda untuk membuat film yang lebih berkualitas lagi .
dan juga untuk mengurangi rasa “curiga” atau “tidak percaya” kepada dewan juri tersebut terhadap aspek pandangan penilaian mereka .
CMIIW :)
Setuju
Wednesday, 26 March 2014
perlu ada awards semacam golden raspberry (Razzie) di indonesia banyak banget film2 sampah yang ceritanya itu2 mulu porn-horror, biar sineas kita tu lebih mentingin kualitas film bukan komersil film belaka
Setuju
Monday, 07 April 2014
Tidak setuju
Sunday, 20 April 2014
Saya fikir penghargaan adalah sebuah tonggak keberhasilan
Setuju
Wednesday, 30 April 2014
hahahaha…terlalu banyak yang sok ngerti tentang film terlalu banyak org sombong hahah…hanya bisa mengkritiiiik aja. sehingga lupa kl indonesia punya gak sih standart penilaian film dalam festival? orang film film indonesia aja gk punya standart. udahlah..indonesia ini terlau banyak orang yang ikut2an dan pengen terkenal mendadak. mending bikin karya yng bisa diingat anak cucu..dari pada mikirin pengen ngetop sampe menghalalkan segala cara. SEBERAPA BANYAK SIH ORANG YANG MENGHARGAI KARAYA ORANG LAIN TANPA KEPENTINGAN?
Tidak setuju
Sunday, 04 May 2014
minggu 20 april 2014
Setuju
Thursday, 19 June 2014
Tanggapan18