Pemutaran film Nargis, When Time Stopped Breathing (2012) pada Jumat, 20 September 2013 di Labuan Bajo, Flores, menjadi pembuka Indonesia International Environmental Film Festival (INEFFEST) yang kedua. Dalam format layar tancap, film dokumenter produksi Myanmar-Jerman tersebut diputar bersama kompilasi film pendek animasi dari Jerman. Selain layar tancap, INEFFEST kembali mengadakan floating cinema (bioskop apung) setelah di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada 2011 lalu. INEFFEST berlangsung pada 20-24 September 2013 di beberapa wilayah di Kepulauan Komodo, Nusa Tenggara Timur.
INEFFEST tahun ini mengangkat tema Surviving Archipelago. Sesuai tema tersebut, sebagian film-film yang diputar adalah film-film yang dibuat di daerah kepulauan, sehingga diharapakan bisa menjadi medium untuk mendiskusikan serta mengeksplorasi isu seputar Nusantara. INEFFEST sendiri ditujukan untuk mempromosikan dan mengeksplorasi isu-isu mengenai lingkungan lewat medium film dan audio visual. Tak heran jika program festival ini tidak hanya berupa pemutaran film (khususnya film-film yang mengangkat isu lingkungan), tetapi juga aktivitas pelestarian lingkungan itu sendiri.
Program pemutaran film utama, yang disebut Cinema Program, terdiri dari tiga segmen yang fokus pemutarannya menyesuaikan tema festival, Surviving Archipelago. Program ini terdiri dari Earth Cinema dan Floating Cinema. Earth Cinema memutar film-film bertema lingkungan, baik dokumenter maupun fiksi, yang memiliki visi dalam perawatan lingkungan. Pada INEFFEST 2013, program Earth Cinema terdiri dari lima film dokumenter yang terangkum dalam Screendocs! Travelling, dan dua kompilasi film pendek animasi Jerman dari seri film Klima.Kultur.Wandel (Climate.Culture.Change), bekerjasama dengan Goethe Institut. Screendocs! Traveling sendiri merupakan kegiatan tahunan lembaga In-Docs, yang memutar film-film dokumenter dengan tema tertentu di berbagai daerah Indonesia. Kegiatan ini juga disponsori DocNet Southeast Asia melalui ChopShots Traveling Film Festival. Ada dua film Indonesia yang masuk dalam program ini: Lukas Moment (2005) dan Senandung Ikan Baru (2010). Selain film pembuka Nargis, dua film lainnya berasal dari Vietnam dan Filipina.
Program Floating Cinema, merujuk pada konsep penayangan film di lepas pantai. Layar dibangun di atas air, lalu penonton bisa memilih antara menonton dari atas perahu atau pesisir pantai. Program ini juga menawarkan film-film dengan isu sosial budaya dan masalah lingkungan di Indonesia. Film-film yang diputar antara lain Cita-citaku Setinggi Tanah (2012), Serdadu Kumbang (2011), dan Epic Java (2013). Selain menyesuaikan geografi lokasi festival, konsep ini dibuat agar INEFFEST bisa menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat sekitar. Apalagi tempat yang dikunjungi merupakan wilayah yang tidak terjamah jaringan bioskop nasional.
Salah satu program kegiatan INEFFEST 2011 yang juga kembali dihadirkan tahun ini adalah Rainbow Project. Program ini ditujukan untuk anak-anak berusia di bawah 12 tahun. Mereka diajak belajar mengenai isu-isu lingkungan lewat penggabungan aktivitas belajar sambil bermain dan pemutaran film. Tahun ini pemutaran dan pendidikan lingkungan akan diselenggarakan di sekolah dasar di Pulau Mesa. Untuk kegiatan pemutaran film, program ini bekerjasama dengan BOL-The Language of Children, sebuah organisasi yang berbasis di New Delhi, India. Ada lima film animasi yang merupakan hasil workshop BOL untuk anak-anak di India.
Selain pemutaran film, INEFFEST juga mengadakan lokakarya produksi film untuk para remaja, yang disebut New Leaf Summer Camp. Ada sepuluh peserta remaja lokal (dari Labuan Bajo) dan sepuluh peserta dari kota lain, yang akan diajak mengenal lingkungan melalui media film maupun pembuatan film. Sejak 18 September 2013, para peserta akan didampingi mentor untuk menghasilkan satu dokumenter pendek pada akhir festival. Para praktisi film yang ditunjuk menjadi mentor antara lain Amelia Hapsari, Tommy Fahrizal, Anggi Frisca, Nick Calpakdjian, Nicholas Yudhifar, dan Tamara Shogaolu. Tidak hanya belajar tentang pembuatan film, para peserta juga mendapatkan kelas dari para ahli lingkungan, dengan tema yang berkaitan dengan tema festival film. Tahun ini isu yang diangkat seputar “Pemanasan Global dan Dampak ke Pulau Kecil”. Pada INEFFEST 2011, program lokakarya ini telah menghasilkan delapan film ekologi.
Selain pemutaran film, aktivitas pelestarian lingkungan yang diadakan INEFFEST 2013 adalah Community-Based Ecotourism Entrepreneurship dan Environment Preserving Activities: Coral Rehabilitation. Program ini berupa diskusi dan penyuluhan mengenai lingkungan yang akan dibawakan narasumber-narasumber ahli, serta melakukan aktivitas bersama penduduk dalam menjaga dan memberdayakan lingkungan setempat. Selain itu, aktivitas beach cleaning (membersihkan pantai bersama-sama) juga diadakan setiap hari.
Festival yang digagas oleh sutradara Kamila Andini (sekaligus Direktur Festival) ini, diharapkan bisa menjadi salah satu cara efektif untuk mengedukasi dan memotivasi masyarakat, untuk melihat isu lingkungan dari perspektif global. Untuk pembuat film, festival ini diharapkan bisa menjadi wadah unjuk karya, mendiskusikan ide dan inovasi, serta berbagi pengalaman seputar film dan lingkungan. Selain itu, INEFFEST juga diharapkan bisa bermanfaat bagi pemangku kepentingan utama dalam pelestarian lingkungan wilayah setempat, yakni masyarakat lokal itu sendiri.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan INEFFEST dan didukung Direktorat Pengembangan Industri Perfilman serta beberapa pihak lain. Festival ini turut mengundang Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen, Maung Myint Aung (sutradara Nargis), Olivia Zalianty, dan masih banyak lagi.