Menjelang 100 hari berpulangnya H Misbach Yusa Biran, Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail dan PT Prodas Pradana yang menjadi pengelola gedung PPHUI, mengadakan acara Mengenang H Misbach Yusa Biran. "Awalnya kami merencanakan menggelar acara 100 hari almarhum, yang jatuh pada tanggal 19 Juli 2012. Tetapi mungkin keluarga juga akan mengadakan acara sendiri, sementara kami ingin keluarga almarhum bisa hadir di acara ini, maka setelah sowan dengan Ibu Hj Nani Wijaya, acara kami majukan jadi tanggal 16 Juli 2012 ini," jelas H Djonny Syafruddin Ketua Yayasan PPHUI.
Acara ini juga dihadiri oleh keluarga dan kenalan almarhum. “Dulu Bapak pernah berpikir, ada banyak orang besar, yang ketika sudah meninggal, lantas tidak banyak orang ingat lagi. Tetapi acara ini sangat membahagiakan saya. Terutama karena diadakan di tempat ini, tempat syiarnya film-film Indonesia. Acara seperti ini membuat saya tidak merasa ditinggalkan oleh Bapak,” ujar Nani Wijaya istri almarhum. Johan Tjasmadi, mantan ketua GPBSI mengenang saat Misbach meminta dirinya untuk menyampaikan urusan pendirian Sinematek kepada Ali Sadikin. Diceritakan oleh Johan, ketika Misbach ditanya oleh Ali Sadikin tentang pentingnya mendirikan sebuah tempat penyimpanan film, Misbach menjawab, “Film-film ini nantinya yang akan berbicara mengenai kita di masa mendatang. Ia akan berbicara mengenai budaya dan identitas Indonesia, kepada generasi yang akan datang.”
Pada konferensi pers sebelum acara berlangsung, Djonny Syafruddin menceritakan perjalanan H Misbach Yusa Biran, bukan hanya sebagai seorang sineas, tetapi juga sebagai konseptor dari dari beberapa lembaga penting perfilman di Indonesia. “Kontribusi beliau yang terbesar adalah mendirikan Sinematek Indonesia pada tahun 1975. Lembaga itu berusaha mendokumentasikan film nasional secara independen. Di tahun 1995, Sinematek bersama Yayasan Citra melebur menjadi sebuah divisi di bawah Yayasan PPHUI. Almarhum juga salah satu tokoh di belakang berdirinya Yayasan PPHUI di tahun 1994, bersama dengan Gubernur DKI Soerjadi Soedirdja dan Panca Tunggal Perfilman (GPBSI ,PPFI, KFT, PARFI dan GASFI).”
Lebih lanjut Djonny menjelaskan meskipun Sinematek Indonesia adalah pusat arsip film yang pertama di Asia Tenggara, pada kenyataannya tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah. Sinematek sendiri diakui dalam keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.34/HM.001/MKP/2008, tanggal 8 September 2008 tentang Penetapan Objek Vital Nasional Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Keputusan tersebut menempatkan Sinematek sebagai lembaga yang harus dilindungi oleh pemerintah. “Hal yang sama juga terdapat di UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, pengarsipan film wajib mendapatkan dukungan dari pemerintah. Kita tidak menginginkan aset tersebut hilang dan hancur begitu saja,oleh karena itu perlu ada campur tangan pemerintah baik pusat maupun daerah,” jelas Djonny. “Nyatanya sekarang ini untuk pemeliharaan film di Sinematek, dananya sebesar 75% dari keseluruhan pemasukan Yayasan PPHUI setiap bulannya,” tambahnya. Yayasan PPHUI sendiri, yang bukan merupakan badan usaha, kini mendapatkan dana dari PT Prodas Pradana yang mengelola gedung lima lantai tersebut.
Mengenang H Misbach Yusa Biran juga dihadiri oleh Sulistyo Tirtokusumo, Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kemendikbud, serta Syamsul Lussa, Direktur Pengembangan Industri Perfilman, Kemenparekraf. Syamsul Lussa dalam sambutannya menceritakan sosok Misbach, yang selalu mengingatkan tentang pentingnya Sinematek di setiap perjumpaan, serta di forum-forum lainnya. Syamsul juga memaparkan beberapa perkembangan seputar preservasi film di Indonesia, mulai dari sambutan meriah penonton Lewat Djam Malam, pada saat pemutaran hasil restorasinya di Cannes 2012, sampai dengan beberapa rencana penyelamatan film-film koleksi Sinematek.