Dari 32 film pendek fiksi yang masuk dan tujuh yang menjadi unggulan, Dewan Juri yang terdiri dari Adrian Jonathan Pasaribu, Perdana Kartawiyuda, dan Catharina Dwihastarini memutuskan bahwa tidak ada pemenang untuk Kompetisi Film Pendek Fiksi di South to South Film Festival tahun ini.
"Menurut kami, karya-karya yang masuk belum ada yang unggul dibanding lainnya," ujar Adrian ketika malam pengumuman pemenang yang berlangsung di Goethe Institut, Menteng, Jakarta, pada Minggu, 26 Februari 2012. Selain itu, isu lingkungan yang diangkat baru sebatas permukaan serta belum ada konsistensi teknis dan bahasa film yang digunakan. Namun, ada dua film pendek fiksi yang mendapat Special Mentionkarena dianggap memiliki pendekatan unik,yaitu Jakarta 2012 karya Andra Fembriarto dan Kalung Sepatu karya Dwi Astuti. Sedangkan film fiksi pilihan penonton adalah Layar Kacau karya Novin Farid S Wibowo, mengalahkan Sarung dan Gamelan Noise, yang merupakan tiga besar film fiksi pilihan penonton.
Kompetisi Film Pendek Dokumenter dibagi menjadi beberapa kategori yakni Film Pendek Dokumenter Terbaik, Special Mention, Dokumenter TV Terbaik, dan Dokumenter Pilihan Penonton. Menurut Dewan Juri yang terdiri dari Arief Ashshiddiq, Darwin Nugraha, dan Nanang Sujana, kategori film Dokumenter TV Terbaik muncul karena pembuatan dokumenter TV dianggap memiliki kesulitan tersendiri terkait bagaimana dokumenter tersebut ditujukan untuk media TV. Maka dari itu, kategori ini muncul sebagai bentuk dukungan terhadap dokumenter TV.
Film Pendek Dokumenter Terbaik yang berhak mendapatkan South to South (StoS) Film Festival Award adalah Surat Cinta buat Sang Prada karya Wenda Maria Imakulatas Tokomonowir menyatakan bahwa film tersebut berfokus pada permasalahan yang disampaikan, dipaparkan secara sederhana, dan mampu membawa lapisan persoalan di balik peristiwa yang ada dalam film ini.
Untuk penghargaan Special Mention film dokumenter diberikan untuk film Sop Buntut, karya Deden Ramadani. Walau isunya tidak secara spesifik membahas soal lingkungan, tetapi objek film ini merupakan hal dan bahasan yang penting, serta isu yang dekat dengan pembuat film.
Sementara Film Dokumenter TV Terbaik diraih Demi Goresan Kapur karya Ari Trismana, produksi DAAI TV. Film ini dianggap memilih subyek yang mewakili "Semangat Tanpa Batas", tidak mengeksploitasi kemiskinan, mengkritik pemerintah tapi tidak menggebu-gebu walau tetap menohok.
Sedangkan Rumah Multatuli karya Sapto Agus Irawan yang juga merupakan produksi DAAI TV terpilih menjadi Film Dokumenter pilihan penonton mengalahkan Presiden Republik Abu-Abu dan Demi Goresan Kapur.
Di samping itu, hasil kegiatan Regional Meeting Forum yang berlangsung pada 23-25 Februari 2012 kemarin, telah menyepakati bahwa film telah menjadi alat kampanye ampuh dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Mereka juga sepakat bahwa dalam membuat film perlu juga memikirkan strategi produksi. Distribusi juga dianggap dapat memperkuat dan memperluas jejaring. Dalam berjejaring maka harus diperoleh pembelajaran kolektif antarpembuat film, penyelenggara festival, dan aktivis media. Terakhir adalah bagaimana mengelola penonton pasca pemutaran film.
Selain pengumuman pemenang kompetisi film, pada malam yang sekaligus menjadi penutupan StoS Film Festival tersebut juga mengumumkan lima karya esai terbaik, pemenang lomba foto "Semangat Tanpa Batas", juga penampilan musik dari Glenn Fredly dan beberapa pengisi acara lainnya. Setelah ini, kegiatan StoS Festival akan dilanjutkan dengan roadshow dan membawa film-film festival ini ke kampung-kampung, pelosok, sekolah, dan kampus.