Artikel/Berita Tujuh Film Indonesia Berkompetisi dalam ChopShots

Tujuh film Indonesia berkompetisi dalam ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia 2014. Layu Sebelum Berkembang (Die Before Blossom) karya Ariani Djalal dan Masked Monkey: The Evolution of Darwin's Theory karya Ismail Fahmi Lubis bersaing dengan 10 film lain dalam kategori Kompetisi Internasional (International Competition).

Untuk kategori Film Pendek Asia Tenggara Terbaik (Best SEA Shorts), Indonesia diwakili Flaneurs#3 (Aryo Danusiri), Another Colour TV (Yovista Ahtajida & Dyantini Adeline), Farewell My School/Selamat Tinggal Sekolahku (Ucu Agustin), Children of Kubu/Kubu Terakhir (Benny Sumarna), dan Of the Dancing Leaves/Digdaya Ing Bebaya (BW Purba Negara), bersaing dengan 13 film lain.

Ketujuh film tersebut akan tayang di ChopShots pada 22-27 April di GoetheHaus, Kineforum, TIM XXI, dan Salihara.

Film-film tersebut masuk dalam 58 film terpilih di antara 247 film dari 49 negara yang mendaftar pada 19 September 2013 sampai 10 Januari 2014. "Dari karya-karya yang masuk, kami menemukan keragaman dari segi kualitas, topik yang diangkat, gaya, maupun cerita dalam film-film dokumenter ini.” ujar Direktur Artistik ChopShots 2014 Marc Eberle pada saat konferensi pers.

Para finalis akan memperebutkan hadiah berupa penghargaan dan uang tunai sebesar 5.000 Euro untuk Film Dokumenter Panjang Internasional Terbaik, 3.000 Euro untuk Film Dokumenter Pendek Asia Tenggara Terbaik pertama, dan 1.500 Euro untuk Film Dokumenter Pendek Asia Tenggara Terbaik kedua. Ada pula hadiah sejumlah 500 Euro untuk Film Pilihan Penontonyang dipilih berdasarkan voting penonton selama festival berlangsung.

Film-film dari Kompetisi Internasional akan dinilai oleh dewan juri yang terdiri dari Nick Deocampo(Filipina), Budi Irawanto(Indonesia), John Badalu(Indonesia), Bettina Braun(Jerman), dan Anna Har(Malaysia). Sedangkan dewan juri untuk Film Pendek Asia Tenggara Terbaik terdiri dari Chalida Uabumrungjit(Thailand), Nguyen Trinh Thi(Vietnam), dan Leonard Retel Helmrich(Belanda).

Edisi kedua festival film dokumenter yang memiliki fokus pada wilayah Asia Tenggara tersebut akan dibuka dengan film Jalanan karya Daniel Ziv pada 22 April 2014 di GoetheHaus. Sedangkan pengumuman pemenang akan berlangsung pada malam penutupan 27 April 2014 di tempat yang sama.

Masa depan film dokumenter

Selain program kompetisi, ChopShots juga menghadirkan program non-kompetisi yang terdiri dari pemutaran film dan program pendamping. Tidak hanya memutarkan film-film dokumenter yang telah diputar di beberapa festival internasional, ChopShots 2014 juga mengangkat penggunaan teknik animasi sebagai cara bercerita dalam dokumenter. Pemutaran film-film animasi tersebut terangkum dalam program Docs Animated!, dilengkapi kuliah umum bersama Marc Eberle dan Gotot Prakosa, membahas topik yang sama. Program pemutaran non-kompetisi lainnya adalah ChopShots Special, Why Poverty?, dan International Shorts.

Seri kuliah umum lain dalam ChopShots 2014 antara lain mengambil topik “Masa Depan Film Dokumenter” bersama Leonard Retel Helmrich dan Nguyen Trinh Thi dan “Mengelola dan Menjalin Sinergi untuk Proyek Film Lintas Negara” bersama Don Edkins. Ada pula Panel Dewan Juri dengan topik “Memajukan Film Dokumenter Asia Tenggara” bersama Budi Irawanto, Chalida Uabumrungjit, Anna Har, dan John Badalu.

Di lobi GoetheHaus, ChopShots 2014 juga menghadirkan pameran bertajuk “Early Images of Southeast Asia”. Pameran ini menyuguhkan rekaman gambar bergerak paling awal yang pernah ada mengenai kawasan dan masyarakat Asia Tenggara. Untuk informasi lebih lengkap mengenai program, kunjungi situs resmi ChopShots, http://www.chopshots.net (catatan editor di 2023: situs resmi ChopShots sudah mati, namun terdapat kanal film-film ChopShots di Viddsee), .

DocNet Campus

Seperti edisi pertama, ChopShots 2014 kembali menghadirkan DocNet Campus. Program ini merupakan lokakarya dokumenter tujuh hari bagi para sineas Asia Tenggara, berlangsung pada 21-27 April 2014. “Tahun ini DocNet Campus mengangkat bagaimana menarik pasar global melalui cerita lokal. Infrastruktur dan pasar untuk film dokumenter di Asia Tenggara belum semapan di luar, sehingga ada beberapa keahlian yang jarang dimiliki pembuat film dokumenter Asia Tenggara, misalnya soal strategi distribusi.” ujar Amelia Hapsari yang juga Koordinator DocNet Campus.

Tahun ini, ada lima belas peserta yang telah terpilih berdasarkan pengalaman mereka membuat dokumenter sebelumnya dan proposal proyek yang mereka kirimkan. Satu-satunya peserta DocNet Campus dari Indonesia adalah Chairun Nisa, yang sebelumnya membuat dokumenter Komedi Coklat dan Payung Hitam. Para pengajar internasional DocNet Campus tahun ini adalah Min-Chul Kim (Korea Selatan), Wenlan Peng (Inggris/China), Jord den Hollander (Belanda)

Masterclass DocNet Campus terdiri dari kelas Menyusun Proposal, studi kasus film dokumenter Planet of Snails dan Jalanan untuk topik “Menarik Pasar Global dengan Cerita Lokal”, serta kelas Strategi Distribusi. Di akhir sesi pelatihan, para peserta DocNet Campus akan mempresentasikan proyek dokumenternya. Proyek DocNet Campus Terbaikakan mendapat penghargaan dan tunjangan biaya perjalanan untuk mengunjungi Sheffield Doc/Fest 2014 di Inggris. Tidak hanya untuk peserta DocNet Campus, sesi masterclass dan presentasi terbuka untuk umum.

Festival Film ChopShots sendiri digagas dan diselenggarakan DocNet Southeast Asia, sebuah proyek pembangunan jejaring praktisi film dokumenter yang diprakarsai Goethe-Institut dan didanai oleh Uni Eropaserta mitra-mitranya yang bekerja di enam negara di Asia Tenggara. ChopShots merupakan puncak kegiatan proyek tersebut, yang lahir perdana pada Desember 2012 di Jakarta dan berlanjut tahun ini.

Kathrin Sohns, Kepala Bagian Program Budaya Goethe Institut Wilayah Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru sekaligus Direktur Festival ChopShots 2014 mengutarakan tujuan festival tersebut diadakan. “Kami ingin membantu perkembangan dokumenter dan menghubungkan scene dokumenter di wilayah Asia Tenggara. Juga membuat film dokumenter dari Asia Tenggara bisa diakses lebih banyak pemirsa di seluruh dunia.”

Bagi Kathrin, film dokumenter Asia Tenggara masih menghadapi kendala pada infrastruktur, pendanaan, maupun dukungan distribusi. Sedangkan Franck Viault, Kepala Kerjasama Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan ASEAN, menyatakan, “Uni Eropa (EU) sangat bangga bisa menjadi bagian kelahiran ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia dan masih mendukungnya hingga hari ini. Dukungan ini sangat penting untuk membangun hubungan dan mendorong dialog antarbudaya di negara dan kawasan manapun.”