Artikel/Kajian Dominasi Film Impor Dan Dilema Film Nasional

Kajian A Rahim Latif 21-02-2011

Tulisan ini pernah dimuat di Media Indonesia, 2 Maret 1991

Untuk mengetahui sejauh mana dominasi film impor dalam perfilman nasional, sebenarnya dapat dilacak dengan mudah. Salah satu cara yang dilakukan antara lain dengan memperhatikan iklan film yang terdapat pada halaman khusus media koran negeri ini.

Bioskop Dewi, Tegal (2008). Fotografer: Ragil Priyo AtmojoBila kita simak dengan cermat permasalahan ini, maka satu-satunya kesimpulan yang dapat kita ambil adalah satu kenyataan dimana semakin miskinnya frekuensi edar film Indonesia berikut kemiskinan tema yang disuguhkan versus melubernya ruang gerak peredaran film impor berikut kekayaan variasi tema film yang disuguhkan.

Mempelajari realita perfilman nasional dewasa ini, patutlah kita ajukan pertanyaan sejauh mana kesungguhan kita, dalam hal ini lembaga perfilman nasional dan instansi terkait, dalam mengupayakan terwujudnya cita-cita menjadikan film nasional tuan rumah di negeri sendiri? Mengapa dalam kenyataannya produksi film nasional kian hari kian kehilangan ruang gerak peredarannya, sehingga berdampak terhadap menurunnya mutu film nasional, baik sebagai tontonan maupun tuntunan?

Menjawab pertanyaan di atas, tidaklah terlalu sulit bila kita mau membahasnya melalui pikiran jernih dan keberanian berbuka diri membeberkan seluk-beluk masalah distribusi/peredaran film di negeri ini. Apalagi dilandasi dengan itikad memuliakan film nasional dengan bekal kecintaan terhadapnya.

Menjadikan film nasional tuan rumah di negeri sendiri, pada dasarnya bukanlah suatu pekerjaan yang teramat sulit. Bila saja political-will dari lembaga-lembaga perfilman dan instansi terkait (Deppen) mencuat secara nyata ke permukaan kehidupan perfilman nasional, masalahnya pun menjadi lain. Dengan hadirnya kejelasan dukungan nyata kemauan politik ini pada hakekatnya langkah ini sudah dapat diartikan bahwa 70% kemelut yang ada secara otomatis dapat terselesaikan. Bila sekarang ini perfilman nasional berada dalam naungan awan yang kelabu, dapatlah dimengerti karena dukungan kemauan politik yang diharapkan tak jelas kehadirannya dan bahkan cenderung perfilman nasional menjadi arena permainan politik (ekonomi) yang menjurus pada pemenangan kepentingan ekonomi (bisnis) kelompok tertentu. Sehingga tersembul kesan bahwa secara struktural praktek-praktek monopoli disuburkan pertumbuhannya. Hal mana menjadi bertambah terasakan pada saat para penguasa birokrasi bersiteguh meyakinkan masyarakat bahwa dalam perfilman nasional tidak ada praktek-praktek monopoli. Padahal secara de-facto, kenyataan di lapangan praktek-praktek monopoli tersebut, berjalan kian leluasa dan semakin memantapkan dirinya sebagai satu institusi tersendiri yang mempunyai legitimasi mengatasnamakan demi pertumbuhan perfilman nasional.

Perdebatan ada dan tidak adanya monopoli ini tentunya akan terus berlanjut, karena secara de-jure memang benar praktek monopoli tidak dibenarkan keberadaannya. Sementara di lain pihak secara de-facto ia benar-benar ada. Perdebatan ada dan tak ada ini, tentunya dapat menjurus pada sebuah debat kusir (pokrol-bambu) bila informasi yang dihadirkan tidak disertai fakta dan data yang memberikan rincian terhadap realita dari praktek-praktek monopoli itu sendiri.

Dalam tulisan kali ini, kami mencoba untuk memberi gambaran yang jelas mengenai kondisi objektif perfilman kita dewasa ini yang hidupnya berada di bawah garis rawan menuju kepunahan dan pemunahan film sebagai sarana penunjang nation and character building maupun film sebagai duta budaya bangsanya. Dalam kaitan ini, masalah distribusi/peredaran film, baik film Indonesia maupun impor, menjadi tema sentral pembahasan. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahasan dan tinjauan analisis terhadap sistim impor film, konstelasi perbioskopan, masalah perijinan yang menyangkut bidang produksi dan kebijakan yang berlaku dan diberlakukan dalam kehidupan perfilman nasional. Untuk hal ini, sengaja kami sertakan beberapa skema yang diharapkan dapat memberi gambaran lebih jelas lagi mengenai kondisi objektif perfilman kita dewasa ini.

Bila kita perhatikan, berdasarkan pendekatan sejarah sebenarnya film Indonesia mempunyai kemampuan yang sangat tinggi untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bahkan ia pernah menjadi tuan yang dihormati oleh para tamunya. Semata karena kemampuannya bersaing dengan film-film impor yang tak terkalahkan. Hal mana masih dapat dirasakan hingga menjelang tahun 1985. Terbukti bahwa hingga saat itu, produksi film-film nasional masih menjadi primadona pasar yang ramai diperebutkan oleh para pengedar film daerah (KPF), bahkan pernah pada era tersebut sebuah film yang belum selesai telah terjual dengan harga yang sangat memadai, untuk menutupi ongkos produksi yang dikeluarkan oleh para produser. Pada era kejayaan ini, film Mandarin secara nyata berada dalam ambang kehancuran dimana pemasarannya mengalami titik jenuh dan tak lagi mampu merebut pasar. Dalam hal ini jelas bahwa film produksi nasional merupakan ancaman paling berbahaya bagi laju pertumbuhan film impor, terutama film-film Mandarin. Berdasarkan realita inilah, pada tahun 1985 PT Suptan yang menjadi Bapak bagi film Mandarin melakukan rekayasa dan terobosan strategi untuk memenangkan tujuan dagangnya. Entah bagaimana cara yang dilakukan, maka ketiga asosiasi importir film (Amerika-Eropa, Mandarin dan Non-Mandarin) berhasil disatu-atapkan (one-roof management). Dalam hal ini PT Suptan kemudian tampil sebagai pelaksana tunggal pengimpor dan pengedar film-film impor yang masuk ke Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa penggabungan ini didasari suatu alasan agar pihak Indonesia dapat menekan harga beli film impor dikarenakan pembelian film impor tidak lagi dilakukan secara bersaing, tapi dilakukan melalui satu sistem yang membuat pihak luar hanya dapat menjual filmnya ke Indonesia melalui satu pintu. Disamping itu, alasan yang diberikan bahwa dengan penyatuan manajemen satu atap ini diharapkan bargaining position (?) pihak Indonesia semakin menguat.

Walhasil dengan penyatuan satu-atap ini PT Suptan praktis menguasai secara fisik seluruh film impor yang selanjutnya dapat digunakan sebagai senjata ampuh mendikte kehendaknya kepada para pemilik bioskop di Indonesia. Mengingat kehidupan bioskop-bioskop di Indonesia masih tergantung pada pemasukan film impor sebagai roda penggerak ekonomi perbioskopan. Terutama bagi bioskop-bioskop kelas menengah-atas yang sangat bergantung mati hidupnya pada film impor (Eropa-Amerika). Sehingga dengan demikian praktis sistem yang diberlakukan menciptakan ketergantungan pihak gedung bioskop kepada ‘kemurahan-hati’ PT Suptan sebagai penguasa tunggal film impor di Indonesia.

Melalui ketergantungan inilah kemudian PT Suptan melakukan manuver-manuvernya mempermainkan suplai film (impor). Oleh karenanya, PT Suptan memperlebar sayapnya di bidang perbioskopan dengan mendirikan cineplex-cineplex dan selanjutnya menunjuk distributor-distributor tunggal daerah yang dijadikan sebagai pelaksana policy dagang Suptan.

Dengan semakin menguatnya kedudukan Suptan sebagai penentu perekonomian perbioskopan di Indonesia melalui kedudukannya sebagai penguasa tunggal film-film impor, kepada bioskop-bioskop yang tidak tunduk (bandel) menentang kehendak Suptan, kepada mereka dikenakan ’hukuman’ diperlambat pasokan film dan harus mau menerima film-film impor yang lemah. Dengan diberlakukannya strategi-strategi semacam ini, satu-persatu bioskop-bioskop di Indonesia berjatuhan ke tangan Suptan menyerahkan diri bergabung di bawah bendera Group 21. Sehingga tidaklah mengherankan bila dalam waktu sekejap bioskop-bioskop dengan logo 21 (Twenty-One) bertebaran di seluruh tanah air. Sebagai catatan, di Jakarta sendiri hampir seluruh bioskop-bioskop kelas Super sekarang ini telah bernaung di bawah panji-panji kebesaran Group 21.

Sistem Pembelian Film Impor

Dalam melakukan seluruh impor film yang tahun ini (1991, red) berjumlah 160 buah (45 bh Mandarin, 35 bh Non-Mandarin, 80 bh Amerika-Eropa) sebenarnya dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Untuk pembelian keseluruhan film yang layak dan tidak layak ditonton oleh 180 juta rakyat Indonesia, pada prakteknya ditentukan oleh hanya 2 orang penentu inti. Untuk wilayah pembelian film Eropa-Amerika dikomandani oleh Jiwat KK, sedangkan untuk film Mandarin dikomandani oleh Benny Suherman. Sebagai catatan, kedua nama pertama adalah direktur PT Nusantara Film dan PT Bola Dunia Film, WNI keturunan India. Sedangkan Benny Suherman adalah ”boss” dan otak dagang PT Suptan Film, WNI keturunan Cina. Hal mana menarik untuk dicatat, karena ketiga orang inilah yang diberi kewenangan untuk menentukan arah pengembangan etika, estetika dan logika dari 180 juta masyarakat sebagai penonton, melalui film-film hasil pilihan mereka. Sehingga tidaklah mengherankan, para pecinta film impor yang mengharapkan film-film berbobot dalam kaitan film yang mengembangkan wawasan budaya sering kecele karena mayoritas film impor yang masuk ke Indonesia bermuatan visi dan misi dagang yang berlebihan dimana rumusan sex dan violence menjadi dominan. Hal mana tidak mungkin terjadi, bila para budayawan dan mereka yang memahami peran film sebagai sarana pembentukan nation dan character-building, dilibatkan pada saat menentukan pilihan film-film impor jenis dan semacam apa yang layak diimpor dan beredar di sebuah negara yang memegang teguh falsafah hidup Pancasila.

Sisi lain dari jual beli film impor ini yang menarik adalah, bagaimana cara PT Suptan Film melakukan sistem penjualan yang menjadi beban wajib bagi para distributor daerah, untuk menanggung dana pembelian plus keuntungan PT Suptan. Karena pada umumnya, harga pembelian di luar negeri yang dilakukan oleh PT Suptan tidak wajib diketahui oleh para distributor daerah. Sebagaimana kebiasaan yang diberlakukan, para distributor yang terbagi dalam 7 wilayah edar inti, Jakarta, Jatim, Jabar, Jateng dan DI Yogyakarta, Kalimantan, Sumatera dan Indonesia bagian Timur, berkewajiban membayar film yang dipasokkan kepada mereka berdasarkan prosentase yang diproyeksikan dari kekuatan pasar wilayah edar. Dalam hal ini, para dstributor daerah pulau Jawa merupakan modal dasar utama yang menjadi tulang punggung penyetoran. Sebagai contoh, bila PT Suptan membeli di pasaran luar negeri, dengan harga Rp 100,00 maka setelah Rp 100,00 ditambah X (keuntungan PT Suptan), maka jumlah Rp 100,00 plus X ini dibebankan kepada tujuh distributor untuk memenuhi target yang diminta.

Berdasarkan sistem ini, tidaklah mengherankan bila para distributor daerah sangat berkepentingan untuk memenangkan screen kuota bagi film-film impor yang menjadi tanggungannya. Oleh karenanya timbul semacam ’kewajiban’ para pemilik bioskop seluruh wilayah Indonesia untuk mau tidak mau memutar 12 sampai 14 judul film impor setiap bulan di Gedung mereka.

Berdasarkan kenyataan inilah, maka pendirian cineplex untuk menunjang bertambahnya screen kuota untuk film-film impor menjadi kebutuhan yang mendasar. Mengingat adanya SKB 3 Menteri yang mengharuskan setiap gedung memutar film Indonesia minimal 2 judul dalam satu bulannya dengan minimum play-date 2 hari setiap judul. Bila bioskop masih dalam bentuk konvensional, maka pelaksanaan SKB 3 Menteri jelas mempengaruhi jumlah screen kuota bagi film impor yang tentunya harus berbagi dengan film Nasional. Sedangkan dengan didirikannya cineplex, maka bioskop dapat melaksanakan SKB 3 Menteri (walau dengan separuh hati) karena dari 4 layar yang dimilikinya, yang terkena wajib putar hanyalah satu layar dari 4 layar yang tersedia. Dengan demikian, maka SKB 3 Menteri-pun tersiasati dengan sempurna. Karena toh dalam SKB 3 Menteri yang dikenakan wajib putar, hanyalah setiap satu gedung dan bukan setiap layar yang terdapat dalam gedung tersebut. Mengingat SKB 3 Menteri ini lahir jauh sebelum pembangunan cineplex sendiri dikembangbiakkan.

Dalam manuver selanjutnya, untuk lebih melancarkan ekspansi dari dominasi film impor, maka dilahirkanlah kesepakatan Cipayung yang pada dasarnya langkah ini merupakan pengguguran terhadap Pasal yang terdapat dalam SKB 3 Menteri Tahun 1975, Pasal IV ayat 3a yang berbunyi: Hari pertunjukan minimal (minimum play date) 2 hari; b. dan seterusnya. Karena dalam kesepakatan Cipayung ini, lahir keputusan yang memberi batasan jumlah minimal penonton film Indonesia di hari pertama (Turnover Figure/TOF) dan jumlah minimal penonton film Indonesia di hari-hari berikutnya (Holdover Figure/HOF). Hal mana mengesahkan para penguasa bioskop, yang notabene sudah di bawah komando Suptan, mencopot film Nasional walau baru sehari diputar bila ternyata jumlah penonton minimal sebagaimana yang ditentukan oleh kesepakatan Cipayung (TOF) tidak terpenuhi. Begitu juga di hari-hari kedua dan selanjutnya (HOF).

Memang peraturan semacam ini menjadi sulit untuk dicerna akal sehat bila dinyatakan bahwa kehadiran kesepakatan Cipayung ini dalam rangka menunjang perfilman nasional. Karena peraturan kesepakatan Cipayung ini ternyata tidak diberlakukan bagi film impor. Sehingga film impor terbebaskan dari ancaman turun satu hari, maupun di hari-hari berikut dan seterusnya.

Dilema Peredaran Film Nasional

Mengedarkan film nasional di negeri ini, tidak semudah sebagaimana yang dibayangkan. Sangat berbeda dengan fasilitas dan kemudahan yang dimiliki oleh film impor.

Bagi film nasional, pada saat lepas dari badan sensor setiap film diwajibkan mendaftarkan judul film tersebut kepada PT Perfin untuk masuk dalam jadwal kalender peredaran yang ditata setiap triwulan sekali. Sehingga setiap gedung bioskop sudah dapat mengantisipasi judul-judul film apa dalam 3 bulan yang akan datang dakan menjalankan masa edarnya. Berbeda dengan film impor, setiap judul setelah mengalami penyensoran tidaklah diketahui, judul-judul apa yang akan beredar. Karena tidak ada semacam wajib penjadwalan sebagaimana penjadwalan 3 bulan sekali yang harus dilakukan oleh pihak pemilik film Indonesia. Bahkan, yang lebih mengenaskan lagi untuk film Indonesia bioskop-bioskop yang ada (Contoh: Jakarta) dibagi menjadi jalur A, B, dan C. Setiap film nasional dikenakan ketentuan untuk hanya diputar pada salah satu jalur A, B, atau C. Sedangkan bagi film impor, pembagian 3 jalur ini tidak diberlakukan, sehingga film impor dapat main di mana dan kapan saja, terserah kehendak penguasa film impor dan penguasa bioskop yang tak lain hampir secara keseluruhan di bawah komando PT Suptan Film. Di samping itu, umumnya untuk pemasukan film nasional pembayaran hasil penjualan karcis tidak segera diterimakan kepada pemilik film. Sudah beruntung bila pemasukan penjualan karcis dapat diterima dalam waktu 2 minggu sampai 1 bulan. Karena pada prakteknya para pemilik film Indonesia terutama di daerah-daerah harus bersabar menanti sampai berbulan-bulan untuk mendapatkan hasil penjualan karcis yang diterima secara langsung oleh pemilik bioskop dari masyarakat penonton. Belum lagi hasil pendapatan bagi film Indonesia sejumlah 5% dari hasil tersebut dipotong oleh PT Perfin atas jasanya sebagai pengedar film Indonesia yang notabene tak ubahnya bagai sleeping-partner alias tidak aktif. Berbeda halnya dengan nasib film impor. Dikarenakan kepatuhannya terhadap Suptan sebagai penguasa tanpa tandingan ini, maka kelompok 21 menikmati langsung hasil penjualan karcis yang dengan demikian perputaran uang tunai (cash-flow) yang dimilikinya berjalan dengan sempurna tanpa hambatan. Dalam hal ini PT Perfin tidak berkewenangan menerima 5% sebagaimana yang diberlakukannya terhadap film Indonesia. Di samping itu pihak gedung bioskop pun pada saat memutar film impor menanggung beban iklan film impor tersebut. Sedangkan bagi film nasional, beban iklan tersebut masih juga dibebankan pada pemilik film Indonesia.

Dengan gambaran sekilas ini, dapatlah terbayangkan betapa nasib film nasional telah dibuntukan oleh sistem yang katanya bertekad menjadikan film nasional sebagai tuan di negerinya sendiri.

Liku-liku Memproduksi Film Nasional

Menanggapi banyaknya keluhan terhadap mutu film nasional yang pada intinya film nasional dianggap miskin tema dan miskin segalanya, agaknya perlu disampaikan beberapa fakta dan data dari kondisi objektif dunia produksi film di Indonesia.

Mungkin sekali masyarakat membayangkan seolah-olah membuat sebuah film di negeri ini dapat dilakukan begitu saja sebagaimana lazimnya produksi sebuah film di negara-negara maju (Barat) atau sebagian negara Asia (India, Hongkong dan Taiwan).

Pemahaman semacam ini dapatlah dimengerti dikarenakan minimnya informasi yang tersosialisasi secara luas di kalangan masyarakat. Padalah, bila kita telaah kembali pada dasarnya memproduksi film di negara-negara tersebut, hambatan yang paling besar hanya terletak pada masalah sensor ekonomi yang dilakukan oleh para produser.

Sangat berbeda keadannya di negeri ini, disamping sensor ekonomi para sineas kita masih menghadapi sensor politik (Badan Sensor Film/BSF), sensor sosial budaya (Badan Sensor Daerah/Bapfida), sensor teknologi, dalam pengertian kurangnya sarana dan prasarana teknologi produksi film yang berakibat terbatasnya pengembangan teknik pembuatan sebuah film.

Sensor politik yang secara berlebihan menekankan kepada stabilitas sosial politik, telah berakibat para penulis skenario, maupun para produser bersikap was-was dan hilang keberaniannya untuk memproduksi sebuah film yang memunculkan cerita berdasarkan realita kehidupan sehari-hari. Karena pada dasarnya terlalu banyak hal yang ditabukan untuk tidak dijadikan sebuah tema film. Sehingga pilihanpun menjadi menyempit dan yang mengakibatkan para produser mengambil jalan pintas yang ’aman’, dimana pada akhirnya film-film yang lahir hanyalah berkisar pada cinta, air mata, komedi bego, legenda-legenda yang mengumbar paha dan dada. Karena rumusan produksi semacam inilah yang dianggap paling aman dan paling memungkinkan mendatangkan hasil secara ekonomi. Apalagi sejak awal, untuk mendapatkan ijin produksi, sebuah skenario baru akan diluluskan untuk dibuat sebuah film pada saat telah lolos sensor awal yang dilakukan oleh pihak Deppen. Padahal pada saat film selesai diproduksi ia masih harus menjalani sensor akhir yang dilakukan oleh pihak BSF (Deppen).

Kesimpulan dan Usulan

Mempelajari peta kondisi objektif perfilman kita dewasa ini, maka dapatlah disimpulkan bahwa:

1. Selama sistem impor, distribusi peredaran film impor maupun film nasional masih dipengaruhi oleh kepentingan penguasa ekonomi perfilman yang dengan leluasa dapat melakukan praktek-praktek monopoli, nasib perfilman nasional akan selalu ditutupi awan kelabu;

2. Selama keinginan menjadikan film nasional tuan di negeri sendiri tidak ditunjang oleh kemauan politik dan kebijakan politik yang nyata-nyata memenangkan pertumbuhan dan perkembangan film Indonesia, selama itu pula film impor akan selalu menjadi ancaman besar bagi kewibawaan film Indonesia yang sehat dan berbudaya;

3. Peninjauan dan penataan kembali terhadap pelaksanaan kebijakan perfilman secara menyeluruh bersifat mendesak;

4. Sikap pemerintah yang menyatakan bahwa film bukan semata-mata barang dagangan dan merupakan produk budaya, hendaknya dijabarkan lebih nyata dalam bentuk-bentuk operasional secara serius, intens dan konsisten;

5. Menegakkan demokrasi ekonomi dalam perfilman nasional haruslah menjadi pijakan bagi usaha pengembangan ekonomi perfilman Indonesia. Dengan demikian praktek-praktek monopoli yang secara de-facto ada, harus segera ditiadakan;

6. Salah satu usaha yang paling penting adalah melahirkan undang-undang perfilman yang tidak memberi hak hidup bagi kelompok maupun melakukan praktek monopoli, baik secara terbuka maupun secara terselubung. Dalam hal ini, perlunya diberlakukan undang-undang yang melarang penumpukan jenis usaha di bidang perfilman ke dalam satu tangan.

Baca juga:

- Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh (2011)

- Pajak Film Hollywood Membantu Film Nasional? (2011)