Artikel/Kajian Sesudah Soegija

Nirwan Dewanto dan Cor van der Kruk dalam Soegija. (Foto: SET Films)

Malam ini, selepas nonton film Soegija, dada saya tidak sesak, tetapi kepala pening mengurai tanda-tanda. Kalau ada yang bilang ini adalah film Garin yang ceritanya paling mudah dipahami, itu bohong. Kalau ada yang bilang kalau film ini gampang dinikmati, dia bohong, atau pura-pura tidak tahu atau sopan santun normatif. Pertama karena film ini erat terkait dengan agama tertentu (Katolik) publik kebanyakan jadi rikuh mengritiknya (apalagi kalau komentatornya juga Katolik yang santun); kedua, karena Garin telanjur terlalu besar untuk dipertanyakan. Tetapi sudahlah, saya hanya ingin membuat catatan pendek dan sederhana tentang film ini.

***

Saya keluar dari studio dengan perasaan campur aduk, yang pertama-tama adalah semacam umpatan, betapa Garin dan teman-teman tidak mau memuaskan saya dengan nafsu-nafsu sentimentil apapun. Saya tidak diizinkan marah, saya tidak diizinkan menangis. Tidak ada yang dibiarkan klimaks. Ya, setiap emosi mulai agak naik segera dihabisi dengan adegan demi adegan yang lain. Sangat kejam, sejenis disiplin dingin yang lahir dari pemahaman misterius mentor yang terlatih. Apakah ini ciri khas Katolik, ala tawasuth teman-teman NU, atau dinginnya Garin sebagai mahaguru persilatan audiovisual saya tidak tahu. Maka kalau ada yang sedikit kecewa setelah melihat film ini, itu wajar. Karena film ini tidak memanjakan penonton dengan alur emosional dan narasi yang rapi tertata, tidak juga dengan kisah-kisah besar yang mudah dilekatmanjai oleh kesadaran penonton. Film ini juga bukan realitas selapis yang mudah dikupas, Kita berhadapan dengan lapisan-lapisan simbolik yang tak bisa terurai tanpa pisau tajam analisa. Ini adalah sebuah film yang menuntut dan menantang, yang tidak akan membiarkan penonton pulang tanpa tanda tanya yang harus dijawab dan diolahnya sendiri. Yang jelas, seakan niat menghibur teman-teman lintas iman yang nonton bersama pun sepertinya tidak kesampaian, saya lebih merasa diajak ikut latihan silat, lengkap dengan kutipan-kutipan misteriusnya.

Film ini Katolik tetapi juga tidak Katolik: ada begitu banyak simbol Katolik dipergunakan, tetapi ia tidak bermakna apa-apa dalam kisahnya. Film ini berjudul biografi seseorang, tetapi kita tidak menemukan kisahnya. Film ini tentang masa lalu tetapi ia lebih banyak berbicara tentang kekinian. Film ini tentang tokoh utama yang berwajah sangat serius, tetapi sebagian kemunculannya justru tidak pernah serius. Ini film tentang peperangan tetapi hemat darah dan dipenuhi anak-anak yang penuh canda. Jadi Mas Garin, ini film tentang apa? Kecurigaan saya, memang sangat disengaja-terencana-sistematis kepada kita dilemparkan sebuah tanda tanya. Semuanya sengaja tidak dibiarkan tuntas.

Maka mengolah gelisah, saya dan sobat saya berdiskusi di teras rumah di remang malam di sudut selatan kota. Berbincang mencoba mengurai lapisan demi lapisan, yang disembunyikan Mas Garin dan teman-teman atau juga lapisan yang tak sengaja tercipta lantaran dinamika kisah, emosi, suara, dan rupa yang berguliran sepanjang film.

Saya lupa menghitung berapa jumlah lagu Katolik dipergunakan di dalamnya. Tetapi lagu Ndherek Dewi Mariyah jelas tidak terlupa. Tetapi entah mengapa nuansa Katolik tidak sedemikian terasa di dalamnya, saya justru merasakan aroma kerumitan semiotika. Maka tuduhan miring bahwa ini film Katolik yang bertujuan kristenisasi itu jelas keliru, jangankan mereka yang bukan Katolik, saya yang merasa diri agak Katolik dan berharap bisa menjadi lebih Katolik setelah menonton film ini pun ternyata tidak kesampaian. Bukan, sama sekali bukan, ini bukan film Katolik. Ini film tentang kemanusiaan, bukan dari kacamata romantis-sentimental, tetapi kemanusiaan sebagai filosofi kehidupan.

Film ini berjudul Soegija, seorang uskup pribumi pertama, tetapi kita menemukan sang tokoh utama hanya menjadi bingkai dari dinamika batin beberapa kisah kecil yang terajut di dalamnya. Soegija adalah bingkai pokok kepemimpinan moral dan politis, dirajut dalam narasi historis oleh penyiar RRI (Mas Margono, penyiar Jawa favorit saya). Di dalamnya, di dalam skenario Soegija (sebagai film) kita menemukan sosok-sosok kecil yang mengisi Soegija sebagai ideal moral. Dengan jenius, Garin menyalin dan menulis rakyat jelata yang ada di hati Soegija-historis melalui sosok-sosok tokoh rekaan dalam Soegija-film. Jadilah kita bertemu Mariyem, Ling Ling, remaja kampung pejuang, Robert sang komandan tentara Belanda, Hendrick wartawan Belanda, pejuang kampung yang lugu dan anak kuncung yang terdidik, tentara Jepang, dan lain-lain. Pada level ini, tidak ada yang protagonis, tidak ada yang antagonis. Semua adalah peziarah pergulatan hidupnya masing-masing. Meniru kata-kata Soegija: di rumah sakit ini, semua adalah pasien.

Film ini berjudul nama seseorang, tetapi kita tidak menemukan kisahnya. Bagi teman bincang saya malam ini, seorang pemikir muda Muslim, pertanyaan-pertanyan besar tentang biografi Soegija itu tidak terjawab. Teman saya datang membawa pertanyaan-pertanyaan besar, tetapi Garin menyediakan jawaban-jawaban kecil. Bagaimana Romo Kanjeng berdiplomasi dengan Vatikan, kesibukan menulis surat-surat, diplomasi, dan sebagainya. Bagaimana Bapa Uskup intensif berkirim surat ke negeri Belanda, khususnya ke Partai Katolik Belanda untuk menekan pemerintah RI atau menulis ke media AS untuk meraih dukungan publik dalam negeri AS. Teman saya jelas juga tidak sempat bertemu dengan pemuda Moenajat yang mewakili Romo Kanjeng dalam perundingan Konferensi Meja Bundar atau bagaimana Romo Kanjeng berkelana dari desa ke desa dengan dokarnya. Ini adalah sebuah film, yang judulnya jelas biografis dan tentu juga historis, tetapi isinya lebih banyak berbicara biografi batin sang tokoh dan sejarah tercecer orang-orang di dalamnya. Ini adalah sebuah film, yang tidak mengumbar informasi historis sang tokoh, tetapi sarat informasi moral sang tokoh utama Soegija (juga tentu penulis naskahnya) melalui tokoh-tokoh di dalamnya.

Film ini tentang masa lalu tetapi ia lebih banyak berbicara tentang kekinian. Masa lalu di dalam film ini bukanlah masa lalu. Ia adalah masa kini yang diproyeksikan ke kelampauan. Maka film ini dipadati dengan isu-isu kekinian : keberagaman lewat pengisahan lintas bangsa, karakter penguasa politik, dan seterusnya. Inilah yang sesungguhnya terjadi, kita – bangsa ini – memang sedang sibuk mencari dengan penuh kerinduan dan kepedihan jejak-jejak keutuhan dan kebajikan dari masa lalu.

Mariyem dengan latar belakang pengungsi dan konvoi tentara Belanda. (Foto: SET Films)

Film ini ada pada kolom jawaban, jawaban dari pertanyaan dan kerinduan-kerinduan besar negeri ini akan sosok pahlawan dan nilai-nilai agung kehidupan: Laskar Pelangi, Sang Pencerah, Tanda Tanya, dan lain-lain. Film ini menawarkan pahlawan besar, seorang uskup pribumi pertama negeri ini, tetapi ia justru lebih banyak berbicara melalui pahlawan-pahlawan kecil (dan inilah kehebatannya!): seorang Mariyem (dengan kata-kata favorit saya sepanjang film: ”Saya Maria dan saya ibu semua orang yang ada di sini”), penjual jamu gandring yang mengajar lelucon mengejek penjajah pada kanak-kanak yang gegojegan, bocah kuncung yang membawa kecendekiaan (bukan manusia sempurna gagah perkasa tetapi si bocah kuncung yang punya takut dan masih asyik bermain-main di tengah peperangan), ibu-ibu sepuh yang menjadi tulang punggung revolusi dan mengurai konflik-konflik kecil peperangan, perawat-perawat yang tak dikenal, dan lain-lain. Kalau film ini berbicara tentang harapan, harapan itu ada pada pahlawan-pahlawan kecil negeri ini lewat pengisahan lintas bangsa, karakter penguasa politik, dan seterusnya. Inilah yang sesungguhnya terjadi, kita – bangsa ini – memang sedang sibuk mencari dengan penuh kerinduan dan kepedihan jejak-jejak keutuhan dan kebajikan dari masa lalu.

Politik? Ya, film ini sangat verbal dalam politik. Bagi saya, setelah semua kontrol alur yang sangat terkendali dari awal hingga menjelang akhir, film ini akhirnya meledak dalam sebuah orasi politik Soegija di penghujung film. Dengan tanpa sopan santun estetika (agar lebih nyeni) Soegija berbicara kepada para penguasa jaman ini: ”jadi politisi harus memiliki mental politik, kalau tidak ia hanya akan menjadi benalu bagi bangsa ini”.

Hal yang paling ajaib sekaligus paling saya sukai, film ini adalah tentang tokoh utama yang berwajah sangat serius, tetapi sebagian kemunculannya justru tidak serius. Ini film tentang masa perang tetapi hemat darah dan dipenuhi anak-anak yang penuh canda. Ini adalah film serius yang jenaka. Berapa banyak tokoh utama Soegija muncul tanpa mengundang tawa? Mulai dari jubah pentahbisan yang dikatakan mirip baju barongsai, komentar tentang nyanyian koster, obrolan perjodohan koster, dan lain-lain.

Daripada sibuk merajut alur, pesan-pesan justru lebih banyak terasa masuk melalui senggakan (selingan dalam musik Jawa) adegan yang jenaka. Bagi saya inilah ciri khas dramaturgi nusantara yang dipahami betul Garin dan teman-teman: masyarakat bernyanyi, masyarakat bergembira, masyarakat bercanda. Bahkan di tengah-tengah peperangan dan lemah terbaring para korban, alunan musik dan tetembangan tak pernah putus dilantunkan. Bagi masyarakat nusantara kegembiraan adalah doa, setiap duka memiliki nyanyian dan tariannya sendiri.

Adegan-adegan parodi disiapkan: rapat persiapan Serangan Umum 1 Maret yang disela oleh antusiasme dan pertanyaan nakal gadis muda dan anak muda pejuang di dalamnya, ada gaya orasi yang nyleneh dan menyusupnya seorang pemuda lugu menghentikan pidato, ada operasi perjuangan kemerdekaan ala anak-anak, dan begitu banyak kenakalan lain. Bagi para penonton yang terlanjur tumbuh dalam nalar urban yang serius, menatap keusilan demi keusilan semacam ini mungkin menjadi sebuah siksaan. Terlebih lagi, bagi mereka yang tak terbiasa bertemu dengan kultur komedi Jawa, mungkin akan sedikit tersedak-sedak mengunyahnya. Bagaimanapun juga film ini penuh dengan “senggakan”.

Benar Tugimin (Butet Kertaradjasa) memang dipasangkan menjadi panakawan Soegija, tetapi kita semua menjadi lebih pana (mengerti) ketika kita bertemu seorang remaja yang sangat bersemangat revolusi tetapi lugu, bodoh, dan buta huruf. Kekuatan dramatiknya tak kalah dahsyat dengan sosok Mariyem dalam kisah ini: ia adalah metafor batin rakyat kebanyakan yang terusik, tidak selalu mengerti apa yang terjadi, tetapi memiliki niat tulus untuk memerdekakan dirinya. Dahsyatnya, ia dipasangkan dengan seorang anak berkuncung yang sudah terdidik: intelektualitas yang tampil gembira, lincah, nakal, tulus, dan sederhana. Merekalah panakawan sejati bagi kita para penonton yang terombang-ambing di arus jaman.

Operasi-operasi visual dibuat, adegan-adegan puitis disisipkan, kalau film Garin sering disebut sebagai puisi, kali ini dia menulis prosa liris yang sangat terkendali. Prosa liris dalam dramaturgi tradisional pekat yang—sebagaimana harmoni musik Jawa—menolak memberi puncak demi terpeliharanya terus pencarian. Ini bukan film yang mudah. Film ini adalah sebuah kaca patri di atas altar sejarah, wajah Soegija terpampang di sana, terpotong-potong membiaskan warna-warni cahaya. Dibingkai sejarah dunia dan catatan harian Sang Tokoh.

Film ini adalah sebuah kontainer, kontainer yang sangat nakal, cerdas, dan jenaka. Ia suka memberi tanda-tanda, sebagai kontainer ia akan bermakna – dan hanya bermakna – ketika menemukan konteksnya. Terimakasih atas suguhan yang kaya nuansa, cerdas, jenaka, dan nakal. Pesan berikutnya adalah: tontonlah dua-tiga kali untuk bisa menangkap lapisan demi lapisannya, mencerna setiap makna, mengolah setiap adegan, menemukan keasyikan-keasyikan cerdas di dalamnya. Film ini tidak boleh ditonton secara serius, juga tidak boleh memaksa diri untuk menangis, marah, atau terbawa suasana. Ini bukan film semacam itu. Anda harus menyimaknya. Tidak terbebani apapun, dan tidak mengharap apapun. Setiap harapan akan menjerat kita pada posisi tertentu yang membuat kita gagal menikmati.

Film ini adalah sebuah tanda tanya. Apa yang anda harapkan tidak selalu akan kita temukan, tetapi ia siap memberikan kejutan-kejutan nakal yang mengusik. Film ini adalah sebuah tanda tanya. Ada apa sesudah tanda tanya: kerinduan memahami lebih jauh sejarah kebangsaan, kerinduan membongkar sejarah Gereja Katolik Indonesia, kebutuhan membaca profil Soegija yang sejati, kerinduan akan sosok pahlawan, dan seterusnya. Ya, dalam diri setiap penonton lahirlah pertanyaan demi pertanyaan.

***

Oncek-oncek di teras rumah dengan seorang sahabat pun berakhir tepat tengah malam. Kami menutup dengan obrolan mendalam tentang Gereja Katolik Indonesia. Ibu yang misterius itu.

Di balik perubahan Mariyem menjadi Maria, ada rasa cinta kepada sang wartawan di sana, ada semangat kemartiran terinspirasi sang Bunda, juga ada narasi halus tentang leburnya yang Katolik dan yang Indonesia. Mariyem bukan hanya personifikasi heroisme Soegija, ia adalah personifikasi Gereja Katolik Indonesia yang bercita-cita tumbuh dewasa memberi makna, tetapi keburu ditinggal mati sang kakak tercinta: semangat kebangsaan Indonesia.

Entah mengapa dalam diri Mariyem saya menemukan Gereja Katolik Indonesia, kelembutan, ketegasan, dan kelincahan, yang kehadirannya terus-menerus menjadi sebuah kerinduan bagi saya.

Terimakasih atas gugatan yang indah atas nafsu kenyamanan saya, pertanyaan saya kepada teman-teman semua: pertanyaan apa yang kau miliki sesudah Soegija?

Yogyakarta, 8 Juni 2012

Versi pertama tulisan ini terbit di Kompasiana 9 Juni 2012