Sudah 29 tahun lalu Mathias Muchus bermain sebagai Pranacitra dalam film pertamanya: Roro Mendut. Sudah tiga dekade Muchus dikenal sebagai aktor. Tahun ini ia memulai debutnya sebagai sutradara dalam film Rindu Purnama. FI menemui Muchus pada 7 Februari 2010 di Jakarta, tepat sebelum film debutan-nya beredar.
Ketika ditanya kenapa mulai menyutradarai, ia mengemukakan beberapa alasan. Pertama keputusan ini dipicu oleh kegelisahan yang pelan-pelan menumpuk. “Kadang, ketika bekerja dengan sutradara, kita sebagai pemain itu berpikir, kenapa begitu sih bikinnya? Kenapa nggak begini sih? Kumpulan-kumpulan pertanyaan seperti itu akhirnya memuncak,” tuturnya.
Alasan selanjutnya: dengan menjadi sutradara ia memiliki ruang lebih besar dan langsung untuk berbicara. “Aktor itu berada di dalam framing, sudah ada batasannya, seperti margin kiri dan kanan, sedangkan seorang sutradara menentukan sendiri pengadeganan, sehingga bisa ‘ngomong’ langsung, apa yang dia mau. Jadi lebih punya kekuasaan si director ini daripada si pemain, terutama untuk menyampaikan content,” ungkapnya.
Pada tahun 2010 rumah produksi Mizan mengajaknya untuk menyutradarai film. Ia melihat beberapa produser di sana sudah mengenalnya mulai awal karir sampai sekarang. Untuk menyalurkan kegelisahan, maka ia pun setuju untuk menyutradarai.
Selain itu, ide cerita yang dibawa oleh produser juga sesuai karena memiliki persoalan yang bisa disampaikan ke masyarakat lewat film. Apabila ide cerita yang datang ber-genre horor ataupun action, bisa jadi tidak sekarang ia menyutradari film.
Kegelisahan lain yang dialaminya adalah hilangnya nilai moral di kota besar. “Aku punya kewajiban moral, setidaknya menyumbang gagasan dengan media film, jadi itulah caraku untuk mengangkat harkat hidup orang banyak. Itulah bahasaku. Orang-orang semacam kita, orang-orang seni, budaya, sastrawan, pers yang harus terus-menerus mengingatkan. Kalau tidak, masyarakat tidak punya balance, tidak punya orang-orang yang mengontrol mereka,” begitu pendiriannya.
Setelah produser datang dengan ide cerita, Muchus pun memulai persiapan. Bersama dengan Ifa Isfansyah, ia mengembangkan skenario. Ketika ditanya apakah latar belakang Ifa yang besar di Yogyakarta menjadi kendala karena latar cerita berada di Jakarta, ia menjawab tak ada masalah, karena di bagian itu Muchus bisa mengisi. Skenario Rindu Purnama digodok sekitar tiga bulan, diperbaiki sampai 11 draft. “Cukup intens, karena memang saya mengharapkan roh kota besar bisa terasa. Roh Jakarta yang saya gambarkan, seperti api dalam sekam, kelihatannya bagus, tetapi didalamnya ruwet,” katanya.
Komposisi pemain Rindu Purnama menurut Muchus terdiri dari separuh anak-anak jalanan dan separuh lagi pemain-pemain yang sudah ‘jadi’. “Film ini menuntut akting yang natural, karena aku mengejar realitas. Aku ingin ada atmosfir yang benar-benar riil. Air mata yang keluar itu benar-benar air mata jalanan,” tuturnya.
Pemeran anak-anak jalanan itu dicari dari beberapa sudut Jakarta seperti Penjaringan, Kebon Pala, Ancol, Tanjung Priok, dan Kalimalang. Setelah itu mereka dilatih. Muchus takjub akan hasil pencarian dan pelatihan mereka. Ia bercerita: “Ada satu tokoh, Akbar namanya, aku kasih peran yang sangat penting, dan dia mainkan dengan... Astagfirullah! Mengagetkan! Kru juga respect sama dia, karena dia itu bermain sangat natural, sangat mengharu biru. Aku juga surprised. Walaupun aku mengadakan pelatihan sebelumnya, dengan dihadapan kamera dan ratusan kru, jelas tidak gampang, tetapi dia bisa mempertahankan kualitas mainnya, jadi bakat anak ini luar biasa.”
Selain Salma Paramitha yang sebelumnya sudah pernah berakting di layar kaca, beberapa pemain profesional dalam Rindu Purnama antara lain Titi Sjuman, Teuku Edwin, Jody Sumantri, Ririn Ekawati dan alm. Pietrajaya Burnama. Mengenai nama yang belakangan ini Muchus memiliki kenangan khusus, “Dulu aku pernah di-direct dia, di film Kemesraan, bersama Nurul Arifin dan sekarang balik aku yang direct dia. Sayangnya dia sudah pergi, tetapi aku bahagia karena setidaknya kerjasama aku dengan pemain senior seperti dia ada hasilnya.”
Muchus mengaku, dia sendiri yang memilih kru intinya. Karena ini merupakan karya pertamanya sebagai sutradara dan ia tidak ingin mendengar kekecewaan dari penonton, ia memilih untuk merekrut kru papan atas. Hampir semua kru yang ia ajak kerjasama, merupakan wajah-wajah familiar untuk dirinya sendiri, mengingat pernah bekerjasama sebelumnya, ketika Muchus menjadi pemain. Konsekuensi membayar agak mahal pun disetujui oleh pihak perusahaan produksi.
Perjalanan Muchus selama 30 tahun sebagai aktor film banyak membantunya sekarang. Ia lebih peka untuk mendeteksi apabila ada kesalahan dalam setiap proses yang ia kerjakan. Ia sendiri mengakui bahwa ia mengkultuskan proses yang benar. Menjalani setiap tahapan dengan baik dan rutin melakukan cek juga kroscek, dengan sendirinya akan mengurangi kesalahan sehingga masalah tidak akan timbul di belakang. Disiplin dan dedikasi terhadap jalannya produksi inilah yang membuatnya tidak memiliki kendala dengan pihak perusahaan produksi. “Mereka support aku banget, mereka menaruh kepercayaan. Aku bertanggung jawab dengan profesi ini. Aku bukan spekulan. Dan aku sambut itu dengan baik, kemudian aku tata dengan baik, dan itulah balasan aku kepada mereka,” katanya.
Rindu Purnama pada awalnya dijadwalkan memiliki 37 hari syuting, namun dengan berpikir ekstra, ia dapat menjalaninya dengan 35 hari syuting. “Tapi menariknya, walaupun kita selalu tepat waktu syutingnya di pagi hari, kita tidak pernah selesai syuting lebih dari jam 11 malam. Kita kerja tapi sehat. Tidur, istirahat itu harus cukup, karena aku butuh konsentrasi kru dan pemain,” begitu alasannya. Salah satu kuncinya menurut Muchus adalah kepemimpinan yang baik dari seorang sutradara. “Karena seperti sebuah kapal, kapten nggak boleh membuat suasana kapal itu menjadi stres, itu berbahaya karena perjalanan mereka cukup lama, jadi kondisi psikologis yang harus aku maintain.”
Tahapan pascaproduksi digambarkan Muchus sebagai energi terakhir yang harus ditumpahkan secara maksimal. Dari situlah nantinya akan terlihat polesan-polesan teknis. Hal ini menurutnya seringkali tidak dilakukan orang, padahal sebenarnya di situ integritas seorang sutradara diuji sebagai individu.
Film ini yang awalnya berdurasi dua jam harus diedit kembali untuk kepentingan pemutaran di bioskop. Menurutnya itu positif saja. “Film ideal itu, ya sebagai karya individu, ya sebagai karya bersama. Aku sendiri nggak tahu, sikap ini karena faktor usiaku, atau kematangan perjalanan karirku sendiri,” ungkapnya. Proses edit ulang akhirnya mengurangi 20 menit dari durasi awal.
Muchus amat menomorsatukan proses karena tidak mau ada rasa sesal kemudian. Untuknya setiap proses kuncinya adalah maksimalkan setiap kesempatan yang ada. Muchus sendiri heran dengan beberapa pertanyaan yang beberapa kali diajukan kepadanya mengenai proses panjang film ini. “Apakah sudah puas dengan hasilnya?” katanya sambil menirukan gaya wartawan yang menodongkan perekam suara. “Bila menjawab ‘belum puas’, itu klise sekali, kemana aja lu waktu proses? Kenapa lu yang bikin karya tapi lu nggak puas? Apa yang dilakukan ketika proses? Itu kan karena kesalahan-kesalahan yang lu lakukan, sehingga lu nggak puas,” katanya. Untuknya ketika konsep yang disusun kemudian dilakoni 100%, maka hasil akan maksimal, sesuai dengan konsepnya.
Komitmen menurutnya merupakan sikap yang harus ada dalam membuat setiap pilihan hidup. Ia menjelaskan, “Misalnya motor itu hobi saya, kenikmatan saya, juga sebagai wadah untuk olahraga, itu komitmen saya. Tidak ada excuse lagi. Jangan karena olahraga lantas terikat pada weekend, sementara olahraga itu idealnya tiga kali seminggu, ya lakoni dong.” Komitmen ini juga yang membuatnya menjalani profesinya dengan penuh kenikmatan, sehingga bisa intens dan menghasilkan karya yang baik. Ia merasa bahwa masalah dengan beberapa aktor adalah absennya komitmen dalam berkarya, “Nggak ada tanggung jawab, kalau menurut saya. Kalau kamu mau profesi ini menjadi profesi hidup kamu, ya kamu di dalam dong, jangan awalnya muncul, lalu tenggelam, lalu muncul dan maki-maki profesi lu, orang lu nggak ada di dalam, ngapain juga?”.
Setelah Rindu Purnama, Muchus kembali akan masuk ke syuting sinetron stripping, sambil persiapan skenario untuk film selanjutnya. “Semuanya harus disiapkan, masalah nanti akan ada yang nyambut atau nggak itu persoalan lain. Tapi persiapan itu harus. Maka aku menyiapkan secara mental, arah mana yang harus kubicarakan. Segala sesuatunya memang harus dipikirkan. Kematangan berpikir dan merasakan itu akan menghasilkan visual yang baik. Itu tidak bisa dibohongi,” begitu ia mengakhiri wawancara.