Artikel/Sosok Sheila Timothy: Membuat Film Bukan untuk Propaganda

Sosok Gayatri Nadya 17-04-2012


Sheila Timothy ketika diwawancara FI, Jakarta, Maret 2012 (Foto: FI)Sheila Timothy
, produser dari Lifelike Pictures mungkin identik dengan film-film sutradara Joko Anwar. Lala, begitu ia dipanggil, masuk ke industri film Indonesia sejak menjadi produser Pintu Terlarang. Debutnya ini menjadi kebanggaan tersendiri di Festival Film Rotterdam dan Puchon Intenational Fantastic Film Festival tahun 2009 lalu. Film terbarunya, Modus Anomali masih diusung bersama Joko Anwar. Film thriller ini sudah lebih dulu menghadap penonton internasional di SXSW (South by Southwest) Festival, Texas 12 Maret lalu. Di film keduanya ini, Lala kembali berperan sebagai produser dan lewat hype yang dibangun sejak pemutaran perdananya di SXSW . Lala bukan sekadar menghadapi penonton internasional tetapi juga calon penonton lokal Modus Anomali.

Lala mengaku bukan tujuannya untuk terus-menerus membuat film bergenre horor thriller. Belajar dari ayahnya yang seorang produser musik, ia tidak boleh menganakemaskan salah satu jenis film apapun. "Aku sejujurnya penakut, takut nonton film horor. Tapi melihat cerita yang diajukan ke aku, banyak sekali skrip horor thriller yang bagus dan layak buat dijadikan film." Lala merasa publik Indonesia perlu diperkenalkan lagi jenis film yang berbeda dari horor yang selama ini mereka kenal. "Mengenalkan sesuatu yang baru ke penonton Indonesia sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang bagus atau justru bumerang sendiri. Penonton Indonesia masih belum siap dengan sesuatu yang baru," ungkapnya. Ia sendiri mengaku terpesona dengan film horor Indonesia lawas seperti Pengabdi Setan yang diakui sukses membuatnya ketakutan setengah mati.

Kolaborasi Lala dengan Joko sejak awal terletak di persamaan visi dalam membuat film. "Saya dan Joko mau bikin film buat menghibur. Bukan untuk propaganda." Untuk Lala, perlu perjuangan untuk menggerakkan penonton datang ke bioskop dan duduk sampai film selesai. Penonton punya kemauan dan usaha sendiri yang harus dihargai dengan kemasan film yang layak. Lala menilai, Joko merupakan sosok sutradara yang kontroversial namun hal itu jadi keuntungan sendiri. "Joko punya penggemar sendiri, mereka mengikuti ke mana (film-film) Joko." Media sosial diakui Lala juga sebagai medium promosi yang paling diutamakan untuk menyebarkan informasi tentang film-filmnya. "Sejak pencarian tokoh-tokoh untuk film, kita menyebarkannya lewat social media. Dengan buzz yang terus-menerus disebarkan, saya harap calon penonton bisa merasa lebih dekat dengan filmnya. Joko kan followers-nya (Twitter) juga banyak sekali itu bisa kita manfaatkan," katanya sambil tertawa.

Kolaborasi keduanya ternyata mencuri perhatian tersendiri selama Modus Anomali diputar di SXSW. Antusiasme penonton di SXSW begitu beragam. Film ini menuai banyak pujian sekaligus kritik. Lala sempat terkejut dengan antusiasme penonton. Mereka yang datang ke SXSW memang tidak sepenuhnya movie buff dan komentar-komentar setelah menonton filmnya agak tidak terduga. "Film itu layaknya anak bagi saya, jadi apapun komentar yang muncul saya akan membela film saya." SXSW sendiri memberikan pengalaman berbeda karena penonton yang hadir begitu beragam, bukan hanya pecinta film tetapi juga musik dan media interaktif.

Menjadi produser di saat geliat film Indonesia sedang marak-maraknya, membuat Lala harus mengejar ketinggalannya itu. Pasca pemutaran Modus Anomali di SXSW, Lala melanjutkan perjalanan ke Los Angeles untuk bertemu dengan produser dan agen-agen film Hollywood, termasuk agen film Bourne Ultimatum. "Saya belajar cara-cara supaya film itu tembus ke pasar Amerika atau setidaknya ada ilmu yang saya serap dan coba saya terapkan ke Indonesia." Dengan pendanaan yang didapat sebagian dari Network of Asian Film Festival dan investor lokal, Lala berusaha memanfaatkan 100% dana untuk produksi supaya hasil yang dicapai maksimal. Langkah berikutnya adalah menjadikan festival film sebagai etalase 'jualan' untuk film-filmnya.

Saat ini, Modus Anomali sudah mendapat agen penjualan untuk wilayah Amerika Utara (XYZ Films) jauh sebelum diputar di SXSW Maret lalu. Untuk pendanaan filmnya, Lala terbuka dengan segala macam cara, mulai dari pendanaan lembaga internasional, investor lokal, mencari ko-produser atau mencoba ikuti sistem di Amerika dengan menjual saham. Saat ini cara mendanai film makin kreatif dan Lala berharap industri film Indonesia bisa menguntungkan semua pihak. Ia menilai, industri film Indonesia masih belum begitu menguntungkan apalagi layar bioskop masih hanya dikuasai oleh dua nama besar. "Film Indonesia seperti diputar tanpa disaring, jangka waktunya pun bisa cepat sekali. Kadang ada film yang cepat turun layar bukan karena jelek, tapi pangsa pasarnya beda dan tidak ada segmen-segmennya."

Ambisi Lala saat ini tidak terlalu muluk-muluk, ingin terus membuat film. Proyek-proyek berikutnya sudah menanti dan tidak melulu bergenre thriller. Rencananya ada proyek non-thriller setelah Modus Anomali sebelum merangkak maju untuk proyek thriller yang masih dalam tahap pengembangan, Impetigore.