Artikel/Sosok Yosep Anggi Noen dan Vakansi yang Janggal

Yosep Anggi Noen saat pemutaran khususDari Yogyakarta ke Locarno. Begitulah perjalanan Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya, film panjang pertama Yosep Anggi Noen. Film yang diproduksi oleh Limaenam Films dan Tembi Rumah Budaya ini terpilih masuk seksi kompetisi Festival Film Locarno, Swiss, bulan Agustus silam. Locarno sendiri merupakan festival film tertua ketiga di dunia setelah Cannes dan Venice.

Vakansi bercerita tentang perselingkuhan. Ning (Christy Manahani) merasa tak diperhatikan Jarot (Joned Suryatmoko), suaminya yang pengangguran. Kerjaannya di rumah hanyalah menonton televisi. Haus akan kasih sayang, Ning menemukan penghiburan dari Mur (Muhammad Abe Baasyin), teman kerjanya di toko mebel, dalam sebuah perjalanan mengantar sofa dari Yogyakarta ke Temanggung.

Film pendek

Sebelum memproduksi Vakansi,Yosep Anggi dikenal sebagai salah satu pegiat film pendek di Yogyakarta. Kisah perjalanan mengantar sofa dalam Vakansi sudah difilmkan Yosep Anggi terlebih dahulu di  Hujan Tak Jadi Datang, film pendeknya tahun 2009. “Begini urutannya. Saya menulis Vakansi terlebih dahulu sekitar tahun 2008. Saya sudah membayangkan film panjang terlebih dahulu,” jelas pria kelahiran Moyudan ini, “Nah, saya mengambil sekuens hotel dalam cerita itu dan baru saya filmkan jadi Hujan Tak Jadi Datang.”

Yosep mengaku tak ada alasan khusus kenapa dia memilih membuat film pendeknya terlebih dahulu. “Mungkin kalau mau dicari alasannya, saya kebetulan sudah lama tidak membuat film. Kebetulan juga saya ketemu teman lama saya, yang katanya punya hotel melati di Magelang sana,” tutur lulusan Ilmu Komunikasi UGM ini, ”Jadilah saya tulis ulang satu bagian itu dari naskah Vakansi. Seminggu kemudian saya syuting film pendek dengan teman-teman yang nantinya ikut bikin Vakansi.

Syuting Vakansi total menghabiskan waktu sepuluh hari. Namun, ada jarak dua bulan antara hari kedelapan dan hari-hari sisanya. “Pemeran Ning mendadak kena cacar,” jelas Yosep, “Kalau diingat-ingat, kejadiannya agak aneh juga. Waktu itu kami mau ambil gambar adegan Ning dan Mur. Di naskah, dialog mereka tadinya tentang surat izin mengemudi. Saya ubah isi dialognya jadi tentang cacar. Sore ambil gambar, besok pagi Ning malah kena cacar.”

Membiayai Vakansi

Awalnya Yosep mengincar dana dari Hubert Bals Fund untuk membiayai produksi Vakansi. Sayangnya, proposal yang ia ajukan ditolak. Maka Yosep mendatangi Rumah Budaya Tembi. “Waktu itu posisinya begini, Tembi ingin belajar cara membuat film. Sebelumnya, mereka pernah produksi sinetron. Judulnya My Friends, My Dreams. Ifa [Isfansyah] sutradara, saya asisten sutradara,” ujar Yosep, “Saya pun datang dengan usulan kalau saya bisa buat Vakansi dengan murah. Mereka setuju. Turunlah dana 80 juta.”

Menurut perhitungan Yosep, dana dari Tembi sebenarnya cukup untuk produksi Vakansi, dengan catatan para kru tidak dibayar. “Produksi Vakansi memang bareng teman-teman, tapi saya tidak mau begitu. Stereotip di komunitas film independen adalah cuma sutradara yang bisa naik. Saya mau mencoba melawan itu,” jelas Yosep, “Saya mau teman-teman yang lain juga punya kesempatan untuk menikmati karyanya dinikmati orang lain, untuk belajar dari forum dan workshop festival-festival film luar. Proses belajar dulu saya begitu dan saya mau hal yang sama bisa dinikmati teman-teman.”

Jadilah, Yosep menghubungi Departemen Pendidikan Nasional untuk mencari tahu soal Program Beasiswa Unggulan untuk Seniman. “Saya buat proposal beasiswa untuk delapan orang, kru inti Vakansi. Saya mau masing-masing orang dapat sepuluh juta. Jadi kalau misalnya nanti Vakansi diterima di festival luar, uang ini akan dipakai membiayai perjalanan sekaligus program belajar mereka di sana,” tutur Yosep. Proposal tersebut disetujui Departemen Pendidikan, walau jumlah beasiswanya turun jadi delapan juta per orang.

Seusai syuting Vakansi, terhitung produksi menghabiskan 92 juta Rupiah. Sebagian kecil dari uang beasiswa Departemen Pendidikan terpaksa dilibatkan juga untuk produksi. Masalah berikutnya, pasca produksi. “Ternyata post-production jauh lebih mahal. Saya syuting serba minimalis. Ambil gambar pakai kamera (fotografi) Canon 5D. Rekam suara pakai laptop, tapi beberapa ada yang dubbing,” cerita Yosep, “Di waktu yang sama, Hubert Bals ada pembukaan lagi. Saya coba apply lagi. Kali ini dapat. Dua puluh ribu Euro untuk post-production.”

Kemungkinan masuk bioskop

Pada tanggal 18 September 2012, Vakansi didaftarkan pada Lembaga Sensor Film untuk diproses. Yosep mengaku ada niatan memasukkan filmnya ke jaringan bioskop nasional. “Film ini harus masuk bioskop, karena akan menjadi statement tersendiri. Kami bisa buat film murah, dengan pengerjaan yang tidak sembarangan, dan bisa dinikmati banyak orang. Kami sudah fight sebegitu banyak untuk menyelesaikan Vakansi. Kami tak ingin film ini berakhir tanpa gaung.”

Penyelesaian Vakansi memang tak mudah. Total ada tiga draft editing sampai akhirnya Yosep menentukan versi finalnya. “Karena komputer kami daya kerjanya tak begitu bagus, kami simulasi dulu dengan menempel kertas-kertas catatandi tembok. Di setiap kertas tertulis kejadian dalam cerita. Nanti tinggal disesuaikan pas editing filmnya di komputer. Setiap ganti versi, kami cari dinding yang masih kosong dan bikin rangkaian baru. Kalau kamu main ke kantor Limaenam waktu itu, tidak ada tembok yang kosong.”

“Di draft kedua, Vakansi bertuturnya linear. Nah, habis draft yang itu, saya terlibat dialog penuh filsafat dengan BW Purbanegara [editor Vakansi].Dia mengusulkan kalau ikon-ikon dalam film harus saling menyambung. Misalkan: memukul  kasur dengan memukul perut, shampo Ning dengan shampo Jarot, botol bensin dengan botol Coca-cola, televisi, dan sebagainya. Saya merasa tercerahkan. Jadilah, saya selesaikan Vakansi dengan cara itu,” ujar Yosep sambil tertawa.

“Saya beruntung bekerja dengan teman-teman saya. Ini film panjang pertama kami semua setelah dulu hanya buat film pendek. Semangat mereka malah lebih besar daripada saya. Bukannya saya tak bersemangat ya, tapi jadinya tidak ada yang pasif dalam tim. Kami tinggal menjaga satu sama lain.”