Artikel/Wawancara Ide, Ruang dan Persoalan dalam Perfilman Indonesia

Wawancara dengan Ravi Bharwani (Sutradara Impian Kemarau) dan Faozan Rizal (Sutradara Yasujiro Journey).

Dua sutradara muda Indonesia, Ravi Bharwani (Impian Kemarau, 2004) dan Faozan Rizal (Yasujiro Journey, 2004) bicara tentang liku-liku proses produksi film mereka dan tentang pendapat mereka mengenai perfilman Indonesia dan Asia. Impian Kemarau bercerita tentang kerinduan pada hujan yang dinyatakan dalam cara yang berbeda oleh seorang meteorolog dan masyarakat suatu desa yang mengalami kemarau berkepanjangan. Usaha menghadirkan hujan menjadi sebuah proyek politik pemerintah karena kemarau kebetulan berdekatan jaraknya dengan waktu kampanye pemilihan umum. Sementara Yasujiro Journey adalah cerita tentang cucu seorang pilot pasukan tentara Jepang dalam Perang Dunia Kedua yang diduga hilang di Indonesia. Si cucu pada akhirnya menempuh nasib yang sama dengan kakeknya, hilang tak tentu rimbanya. Kedua film tersebut akan menjalani pemutaran perdananya di Indonesia dalam Jiffest 2004.

Tanya:Bagaimana proses pengembangan cerita film Anda?

Ravi Bharwani. Sumber: ECCO Films IndonesiaRavi Bharwani (RB) : Mulanya dari ide-ide abstrak, hal-hal apa saja yang ingin kita bicarakan. Mungkin cara berpikirnya tidak dimulai dari “Ah, gue mau bikin cerita ini.” Kalau balik lagi mungkin dimulai dengan rasa yang abstrak, susah dijelaskan. Dari rasa itu ada bayangan potongan-potongan imaji yang lalu dikembangkan menjadi gambar. Ini proses awal penulisan skenario yang dikerjakan oleh satu tim penulis selama kurang lebih satu tahun. Tiba-tiba tanpa direncanakan bentuknya ketemu di Jawa ini. Bentuknya ya, tanah yang kering. Sebetulnya yang gue cari bukan Gunung Kidul sebagai lokasi, tapi mencari lokasi yang bisa mengekspresikan mood ide-nya. Kalau ditanya kenapa harus ke Jawa dan kenapa gambaran Jawa yang muncul sangat beda dengan citranya sebagai tempat dengan penduduk mayoritas Muslim, mungkin karena gue sendiri kan Hindu. Jadi warna putih, penggunaan sapi dan kedekatan kultur Jawa dengan Hinduisme. Mungkin karena itu [cerita film ini terbangun].

Faozan RizalFaozan Rizal (FR): Waktu saya masih kecil, kakek saya selalu bercerita tentang seorang tentara Jepang, sahabatnya yang ia temui di penjara. Setelah kemerdekaan mereka tak pernah bertemu lagi. Cerita itu sepertinya tertanam dalam pikiran saya. Lama setelah mendengar cerita itu saya menemukan sepotong kecil artikel dari koran Amerika tentang Jiro Sentoki, seorang serdadu Jepang yang menolak dikirim ke Pearl Harbor dan kemudian menghilang. Saya rasa dia jatuh di Indonesia dan dari situlah awalnya cerita film ini. Cerita ini lalu saya bicarakan dengan pengembang naskah (script developer) yang kemudian membuatnya dalam bentuk outline. Dia memang tidak pernah mau membuat script [tertawa]. Berdasarkan outline yang dibuat itulah pengambilan gambar berlangsung.

Masalah biaya produksi?

RB: Biaya produksi sih murah. Tapi mungkin karena lama jadi gue nggak tau mesti ngitungnya dari mana. Gue sudah sempat pindah empat tempat editing dan tiap kali harus pindah harus reloading. Tapi untungnya gue punya editor yang cukup sabar ya, Sastha Sunu. Kita coba ajukan permintaan kepada Hubert Bals Foundation untuk post production dan tanggapannya positif. Tapi waktu prosesnya cukup lama dan kalau ditunggu film ini tidak akan selesai untuk diputar di Pusan Film Festival. Akhirnya saya memutuskan untuk pinjam uang dari saudara dan teman yang nantinya sebagian akan dibayar dengan dana yang didapat dari Hubert Bals. Untungnya mereka di Hubert Bals setuju dan memberi dana sebesar 15.000 euro, selain juga mengajukan tawaran untuk mendistribusikan film ini di Belanda, Belgia dan Luxemburg dengan pembagian keuntungan 50 persen. Film ini kalau dihitung-hitung mungkin menghabiskan biaya sekitar 700 juta rupiah.

FR: Sebelum dibuat DVD biaya produksi film ini kira-kira 35 juta rupiah, dan setelah diproduksi dalam DVD jadi kira-kira 40 juta. Untuk shooting waktu itu saya pakai stok film yang ada, baik milik sendiri yang saya simpan selama bekerja untuk sektor komersial juga bantuan dari Institut Kesenian Jakarta, tempat saya mengajar. Untuk pasca produksi hampir tidak ada biaya yang dikeluarkan karena saya dapat fasilitas keringanan harga dari tempat pemrosesan di Singapura karena film ini termasuk produksi independen. Saya sudah punya hubungan dengan mereka karena selalu proses kerja-kerja komersial di sana. Dari total 8-9 jam kerja yang harus saya bayar hanya 1 jam dan itu sekitar 3 juta rupiah.

Kesulitan utama apa yang dihadapi selama pembuatan film?

RB: Yang paling susah adalah menemukan lokasi. Waktu mencari lokasi kami datang saat bukan musim kemarau dan menurut masyarakat sekitar, pemandangan musim kemarau akan kering sekali dan mereka sampai tidak dapat air berbulan-bulan. Waktu itu saya membayangkan semuanya akan berwarna coklat dan kering. Tapi waktu kita datang lagi pada musim kemarau, ternyata pandangan mereka tentang kekeringan dan bayangan saya jauh berbeda. Saya membayangkan warna coklat seperti yang kita lihat dalam gambar-gambar tentang Afrika, sementara di lokasi waktu itu masih terlihat tanaman hijau di mana-mana. Jadi kami harus memilih angle dan tebing-tebing kapur yang putih untuk menimbulkan kesan kering. Tapi kami hanya punya sedikit sekali angle dan harus pandai-pandai memanfaatkan lokasi yang terbatas.

Bagaimana rencana untuk mendistribusikan film Anda?

FR: [tertawa] Saya hanya menggandakannya jadi 1.000 keping DVD, dan sekarang saya masih punya 800 kopi. Setiap kali ketemu orang saya kasih saja, tanpa berpikir tentang hak pemutaran dan sebagainya. Ini sinema untuk rakyat.

RB: Sebetulnya menjadi produser film dan memikirkan tentang pemasarannya adalah hal baru untuk saya. Setelah Festival Pusan saya bicara dengan Mira [Lesmana], Arya [Kusuma]Dewa dan M. Abduh Azis tentang rencana pemasaran film ini. Saya tidak mengharapkan film ini akan mendatangkan banyak penonton di Indonesia. Saya bahkan nggak tahu apakah saya bisa mengumpulkan cukup uang untuk membiayai pemutaran film di Indonesia. Mungkin lebih baik kalau saya membawanya berkeliling ke kampus-kampus. Sekarang kita dalam tahap merancang strategi pemasaran film ini.

Apakah Anda kesulitan menemukan ruang untuk memutar film Anda?

FR: Ya, kita tak punya banyak ruang untuk memutar film dengan cara yang benar. Hanya ada beberapa ruang berukuran kecil yang sebetulnya tidak cocok untuk presentasi film. Karena itu film saya disebar dalam bentuk DVD agar mudah diputar di mana-mana.

RB: Saya pikir secara strategis mungkin bagus juga memutar film di bioskop, bukan cuma untuk menggaet penonton tapi paling tidak untuk mendapatkan liputan yang cukup. Jadi waktu film ini dibawa ke kampus-kampus, penonton sudah cukup mengenalnya.

Selain itu menurut Anda apa persoalan perfilman Indonesia?

RB: Biaya. Kita lihat sebetulnya ada banyak potensi, tapi akhirnya orang terpaksa memilih membuat film untuk televisi walaupun sebenarnya mereka tidak begitu puas.

Bagaimana dengan kualitas film Indonesia sekarang?

RB: Sebelum soal kualitas sebaiknya kita bicara kuantitas. Saya rasa makin banyak jumlah film yang diproduksi di Indonesia dan itu merupakan sebuah harapan baru. Dari sana akan bermunculan orang-orang yang filmnya mendapat tanggapan secara internasional dan itu akan menjadi inspirasi buat pembuat film lainnya. Masalah yang cukup berat adalah naskah. Kita tidak punya banyak penulis naskah yang baik, mungkin yang ada bisa dihitung dengan jari.

Bagaimana dengan masa depan film Indonesia?

RB: Dengan jumlah film yang diproduksi sekarang kelihatannya ada peningkatan. Saat ini sinema Asia menjadi sangat kuat dan mendapat banyak perhatian karena banyak elemen kejutan yang baru dan tidak berpola, tiap film menawarkan hal yang berbeda. Setelah perkembangan film Jepang, Cina, Bollywood, sekarang perfilman Korea menguat secara internasional. Saya menduga setelah ini film Malaysia akan mendapat banyak tanggapan internasional. Saya harap sesudah Malaysia orang melirik film Indonesia.

Apakah film-film seni punya kemungkinan untuk diterima di sini? Bagaimana sebaiknya menarik perhatian penonton pada jenis film ini?

FR: Saya tertarik dengan apa yang terjadi di Perancis. Ada keseimbangan antara film-film komersial dan film seni. Kalau kita lihat di [bioskop] 21 di sini, hanya ada film komersial. Mungkin film-film yang kita buat sebetulnya adalah antitesis untuk film-film yang dipasarkan 21.

RB: Saya rasa kaitannya erat dengan pendidikan. Penonton harus dididik dengan cara lain supaya bisa memahami film dan kita sendiri juga harus menerjemahkan pikiran-pikiran kita dalam film dengan cara yang lebih komunikatif.

Terbit di KOMPAS, Desember 2004