Artikel/Wawancara Nia Dinata: Penonton Indonesia Sekarang Sangat Cerdas

Wawancara 13-05-2008

Nia Dinata. Sumber: Kalyana Shira FilmsPada Desember 2007, Mirwan Andan dari redaksi Katalog Film Indonesia menemui produser/sutradara Nia Dinata untuk mengetahui pendapatnya mengenai produksi dan penonton film Indonesia

Apa pertimbangan paling penting dalam memilih proyek film?

Cerita dan skenario, kalau ide cerita dan skenarionya kuat dan mewakili apa yang saya anggap penting untuk disampaikan ke masyarakat, biasanya itu menjadi tolak ukur utama.  Paling penting memang cerita dan script sebagai backbone sebuah project film. Jika melihat jumlah film Indonesia yang begitu meningkat, tahun 2007 peningkatannya sudah lebih 200% dari tahun sebelumnya dan saya melihat banyak orang tertarik bikin film karena bisnisnya. Jumlah bioskop juga bertambah di tahun 2007 dibanding tahun 2006, meskipun jumlahnya belum signifikan dan kelihatan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai menyukai film Indonesia. Mungkin kecuali Harry Potter, Spiderman dan Pirates Of The Carribean, orang Indonesia lebih banyak menonton film Indonesia sendiri ketimbang menonton film-film Hollywood atau film-film luar.

Menurut saya, dari sudut pandang pebisnis, ini jadi opportunity. Nah kami (Kalyana Shira) justru menggarap film jika hanya cocok dengan cerita dan script-nya. Kami biasanya mengelaborasi cerita selama minimal setahun untuk sebuah film. Dari ide, skenario trus abis skenario draft satu sudah jadi, biasanya kami melakukan script conference, saat script conference diadakan table reading dengan membacakan skenario itu dengan suara keras lalu dibicarakan. Setelah itu baru kelihatan kelemahan-kelemahan script tersebut dan setelah itu direvisi lagi sampai draft berikutnya sampai semuanya merasa sreg untuk melakukan produksinya.

Apa alasannya bereksperimen dengan berbagai genre?

Saya justru merasa belum cukup bereksperimen sampai sekarang karena saya baru mengerjakan tiga genre yaitu historical epic, drama dan komedi dan itu saya anggap kurang dikarenakan keterbatasan waktu, saya baru mulai tahun 2000 setelah reformasi. Terus juga karena keterbatasan teknis, misalnya ingin membuat film thriller, action, science fiction yang membutuhkan efek visual akhirnya tidak bisa karena keterbatasan waktu, teknis dan ujung-ujungnya keterbatasan dana. Nah, karena itu semua saya merasa belum bereksperimen secara maksimal, tapi lompatan dari genre historical epic ke drama terus ke komedi, saya merasa senang-senang saja melakukannya karena saya tidak mau terpaku pada satu genre dan akhirnya bisa merasakan nikmatnya membuat film-film yang berbeda. Terasa juga dari para kru yang bekerja. Tidak terlalu banyak kru-kru baru, dari dulu saya selalu pakai orang-orang yang sama, jadi mereka juga merasa excitement-nya beda-beda dalam mengerjakan film A, B, C dan seterusnya. Jika ada kesempatan dan waktu yang masih mengizinkan, saya ingin sekali bereksperimen thriller yang secara teknis bisa dipertanggung jawabkan, secara acting dan story pun kuat. Belum pernah saya sentuh genre tersebut.

Dan saya juga kepingin bikin film yang jagoannya perempuan, film action figure seperti Kill Bill, kan di situ Uma Thurman jagoannya dan dia perempuan. Kepingin sekali saya bikin yang seperti itu. Tapi kan sekarang fighting coach-nya di sini belum terlalu canggih seperti di Hong Kong dan film martial art belum jadi budaya kita juga. Terus [genre] itu memerlukan efek-efek yang ekstra canggih kemudian juga pemainnya harus dilatih secara fisik yang cukup lama. Untuk Kill Bill misalnya, Uma Thurman dilatih selama enam bulan oleh kungfu master. Nah, yang kayak gitu kita belum punya sumber daya manusianya dan dananya saya rasa sulit sekali. Saya ingin bikin film action dengan tokoh heroik perempuan dalam artian heroik secara fisik. Tokoh-tokoh perempuan heroik secara emosional, itu sudah saya lakukan di Berbagi Suami, mereka heroik dengan segala pengorbanan mereka. Nah saya mau bikin tokoh heroik perempuan secara fisik, jadi perempuan yang bisa lompat, bisa jalan di atas air dan sebagainya [tertawa].

Bagaimana Produser seperti Anda menyumbang pada perkembangan keragaman produk film Indonesia?

Sebenarnya saya merasa bahwa ketika kami—Kalyanashira—bikin film yang berbeda saat orang-orang lagi film dengan genre A, kami bikin genre Z, maka itu adalah sumbangan bagi penonton, jadi kita memberikan alternatif tontonan. Selain itu saya merasa bahwa di film-film tertentu yang saya bikin, saat roadshow, diselingi dengan diskusi film yang bisa melebar ke hal lain, tidak hanya membahas film itu sendiri, contohnya tentang kajian perempuan, permasalahan psikologi sosial sebuah bangsa dan kita tidak hanya melibatkan aktivis pekerja film tapi juga melibatkan para aktivis perempuan, sosiolog dan menurut saya itu adalah kontribusi saya terhadap masyarakat agar melek dengan film dan pada saat yang sama paham dengan kondisi sosial juga. Saat roadshow Berbagi Suami di Makassar, Bandung, Jogja dan Jakarta , kami mengadakan diskusi yang menghadirkan sosiolog, aktivis perempuan dan sebagainya.

Apa hambatan paling utama dalam berproduksi di Indonesia?

Dana, selalu dana. Saya adalah orang yang realistis, saya melihat jumlah bioskop di seluruh Indonesia yang ada sekarang belum mencapai seratus. Yang saya maksud adalah bioskop yang layak, yang tidak ada tikusnya di mana-mana. Kita tidak berbicara jumlah layar, karena mau jumlah layar empat atau enam, toh satu film hanya bisa diputar di satu layar. Kecuali kemarin Quickie Express sempat di dua layar di Plaza Senayan dan itu jarang sekali terjadi. Jadi jika film saya diputar cuma di satu layar di sekitar 90-an bioskop, kita juga nggak mungkin bikin kopi film itu lebih dari 90 karena duitnya nggak ada. Bikin kopi film satu biji saja sebesar 12 juta, jadi butuh sekitar 1 milyaran rupiah untuk mengisi 90-an bioskop itu secara serentak. Wah, bagi saya mending buat biaya produksi saja dengan duit sebesar itu, jadi paling banyak saya hanya bisa bikin 35 kopi film dan itu realitanya.

Dengan 35 kopi film, paling banyak jumlah penonton yang bisa saya raih, kalaupun film itu cukup populer, hanya 1,5 juta penonton. Jadi hitungan kasarnya keuntungan per tiket, katakanlah Rp 6000 dikalikan 1,5 juta jadi cuma 9 milyar rupiah jadinya, berarti kita mesti bikin film yang di bawah jumlah 9 Milyar itu, supaya kita bisa kembali modal, bisa ada untung dan yang paling penting bisa bikin film lagi. Jadi tidak bisa bikin film dengan biaya lebih dari 5 Milyar, itu adalah hitung-hitungan produser seperti saya yang walaupun saya tidak memikirkan market, terserah market maunya film apa, yang jelas saya berani mengeluarkan film yang beda, tapi saya kan kepingin bikin film lagi dan nggak kepingin ini kantor tutup, amit-amit, jadi saya pikir saya harus realistis. Dengan biaya film yang 5 Milyar itu, itu tidak sampai $ 1 juta sementara ukuran film indie di Amerika itu minimal $ 1-2 juta. Jadi saya bisa bikin film dengan biaya Rp 5 Milyar itu berarti sekitar $ 500 ribu, karena misalnya kalau bikin di atas biaya seperti itu, saya tidak tahu bagaimana mempertanggungjawabkan supaya bisa bikin film lagi, akhirnya mentok di dana makanya film yang bisa kita bikin hanya dengan 3 genre tadi itu karena keterbatasan dana.

Mungkin untuk sementara saya tidak bisa bikin film seperti Ca Bau Kan, karena kalau tahun sekarang ini di mana semua serba mahal, berapa biaya Ca Bau Kan yang dulunya cuma Rp 5 Milyar, bisa tiga kali lipatnya kalau sekarang, dari mana saya dapat dana seperti itu dan berapa jumlah penonton yang harus saya targetkan. Jadi akhirnya saya pikir, memang untuk saat ini saya realistis tapi bukan berarti saya merasa terbatas. Justru saya harus lebih kreatif lagi untuk bisa mencari cerita drama atau komedi. Kayaknya saya nggak akan bikin historical biopic dulu selama masih ekonomi susah begini—tapi selalu menelurkan sesuatu ide yang baru. Itu tantangannya.

Selain dana, dukungan pemerintah yang juga kurang. Pemerintah bisa bikin festival film yang sangat-sangat mewah menurut ukuran saya. Tepatnya mewah dan absurd. Live, dengan panggung yang mewah, mendatangkan artis-artis yang heboh, pakai pawai segala macam, tapi untuk produksi film sendiri kita tidak pernah didukung. Saya tidak perlu dukungan dana deh, karena nanti ribet lagi, nanti dikira ada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme-nya lah. Yang penting dukungan moril, yaitu ketika pemerintah menujukkan kesadarannya bahwa film itu penting—contohnya saat kita shooting, kita didatangi polisi daerah sekitar [ditanya], “Ada apa nih rame-rame, kok gak minta izin sama kita?” Terus kita jawab, “Udah Pak, udah ada izinnya.” Terus polisinya bilang lagi, “Saya yang jaga hari ini, izin yang kamu punya itu dari polisi yang jaga kemarin.” Terus kita dikenakan pungutan liar.

Kemudian, saat kita mau memakai fasilitas publik seperti airport, pelabuhan, kereta api, taman atau jalanan, itu sangat susah sekali koordinasinya dengan pihak yang berwenang, karena belum ada kesadaran dari top to bottom bahwa filmmaker Indonesia harus ditolong, didukung. Banyak sekali biaya-biaya yang tidak masuk akal menurut saya. Selain biaya-biaya tidak masuk akal itu, peraturan-peraturannya ribet, kita toh akan bertanggung jawab, misalnya: akan membersihkan tempat yang telah dipakai shooting dan nama-nama tempat itu juga akan ditulis di ending tittle, sehingga masyarakat jadi tahu yang belum datang ke tempat tersebut, itu kan sebuah promosi, baik di dalam negeri sendiri maupun keluar negeri kalau filmnya ke festival di luar negeri. Tidak ada kesadaran seperti itu, masih sebatas lip-service semua.

Dan saya melihat, bahwa yang sangat membatasi ruang gerak kita adalah sensor, menurut saya film itu adalah ide atau hak cipta yang utuh yang jika disensor sebelum dilempar ke publik, itu menjadi tidak utuh lagi, baik filmnya, dialognya, acting pemainnya maupun musiknya dan satu kesatuan jadi tidak utuh lagi, logikanya terpotong. Saya rasa sampai pemerintah memiliki kesadaran dari top to bottom untuk tidak mensensor film tapi mengklasifikasikannya.

Pemerintah [harusnya] sadar bahwa uang untuk FFI itu [sebaiknya] disumbangkan saja ke IKJ atau dibikin fakultas-fakultas film UI dan UGM. Masak kita tidak punya fakultas film, agak memalukan menurut saya karena kalau kita lihat di Malaysia saja Universitas di Penang, punya faculty of film. FFI [sebaiknya] tetap jalan tapi dengan cukup sederhana. Film-film  yang masuk nominasi diputar dan gratis buat rakyat, lalu dana sumbangan dari pihak swasta yang merupakan bagian CSR (corporate social responsibility-Red) tidak dihabiskan hanya untuk pesta itu, tapi juga disalurkan setiap tahunnya ke pendidikan film, ke arsip film dan lain sebagainya. Jadi saya rasa bagaimana kita mau melangkah lebih maju karena anggota kru saya yang 99% kuliah di IKJ, setahun yang lulus paling berapa orang, jadi susah. Dan tidak semua orang punya kesempatan untuk sekolah film di luar negeri. Itu perlu banget ditulis karena saya pikir kalau kesadarannya cuman sebatas "Wah, sekarang kita udah ada lagi FFI!", itu kesadaran yang semu.

Apa pendapat anda tentang penonton Indonesia?

Penonton Indonesia sekarang sudah sangat cerdas. Mereka tidak hanya yang di Jakarta atau kota-kota besar tapi yang di pelosok-pelosok pun mereka udah punya DVD player, mereka sudah mengakses DVD bajakan yang memang mau diapain lagi, film-film dari Eropa tidak ada film aslinya. Mereka bisa mengakses film-film Eropa, Asia (selain Indonesia), sehingga mereka sudah punya standar kualitas dari segi produksinya, dari acting-nya, udah punya standar dari cerita. Jadi kalau misalnya kita menyuguhkan sesuatu yang mereka bisa nonton di sinetron, mereka udah bisa menulis di blog-nya masing-masing.

Jadi saya rasa dengan bertambah cerdasnya penonton Indonesia, nomor satu, filmmaker juga harus mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberikan sesuatu yang cerdas juga. Dan kalau diperhatikan, 70% film di 2007 sajalah kita lihat, jangan ngomong ceritanya dulu deh, kualitas teknisnya aja dulu, sama aja kayak sinetron, FTV atau acara-acara kriminal di TV lalu dipindahkan ke bioskop, terus orang disuruh bayar untuk menontonnya, padahal kalau nonton di TV kan gratis. Jadi saya rasa banyak filmmaker kita belum memberikan sesuatu yang cerdas ke masyarakat, dan itu challenge-nya, gimana tidak begitu karena standar teknis mereka juga terbatas, sekolah film, training film atau dan lain sebagainya, tidak ada beasiswanya. Kenapa misalnya pemerintah ngasih saja duit ke orang-orang dari luar Jakarta untuk sekolah film di IKJ sampai selesai? Nah, tidak ada kesadaran ke situ. Mereka hanya memikirkan sesuatu yang kelihatan megah dari luarnya.

Kenapa film harus diperhatikan, karena ia adalah produk budaya. Banyak maestro-maestro film yang bilang bahwa film itu adalah cerminan dari keadaan sosial sesuatu bangsa. Film yang dikeluarkan oleh suatu negara adalah cerminan keadaan sosial dari sebuah bangsa, jadi itu artinya film adalah produk budaya. Tapi ada faktor ekonomisnya juga yaitu orang bayar tiket untuk mengalami film dalam bioskop. Itu bisa mendatangkan uang dan bisa membuka lapangan pekerjaan. Jadi, selain produk budaya, ada keuntungan ekonominya pula, dan bisa lebih terjangkau.

Saya pencinta lukisan tapi kalau kita tidak datang ke galeri atau kita tidak punya uang untuk membeli lukisan tersebut untuk dinikmati, susah jadinya. Tapi coba lihat film, baik film para sineas maestro, baik dia film pure art atau komedi atau apalah, orang tinggal mengeluarkan sedikit dari uang jajannya untuk datang ke bioskop, jadi ia mass art for the people, itu yang perlu disadari dan karena itu kita perlu dukungan dari otoritas-otoritas di negara ini kalau kita—Kalyana Shira—sih nggak ada masalah, saya termasuk orang yang mencintai pekerjaannya, jadi mau banyak hambatan, mau banyak keterbatasan tetap saja mencari celah, tapi kan tidak semua orang seperti saya yang bisa bertahan di tengah keadaan yang tidak kondusif seperti ini, sehingga yang oportunis juga banyak yang akhirnya menelorkan film-film yang sebenarnya bisa ditonton di TV saja di rumah.

Wawancara ini telah disunting oleh Redaksi dengan sedapat mungkin mempertahankan ketepatan isi/gagasannya.