Artikel/Wawancara Syamsul Lussa: Jangankan 2014, Setahun Saja Bisa, Kok!

Wawancara 05-09-2011

Drs. Syamsul Lussa, MA ketika diwawancara FI di Jakarta, Agustus 2011 (Foto: FI)Setelah menjabat Direktur Pengembangan Pasar Ditjen Pemasaran Kementerian Budaya dan Pariwisata, Drs. Syamsul Lussa, MA mengisi posisi Direktur Perfilman Kementerian Budaya dan Pariwisata pada Januari 2011 lalu. Kini ia bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis kegiatan perfilman termasuk realisasi UU Perfilman No. 33 Tahun 2009 serta menggiatkan industri film nasional. FI mewawancarainya mengenai rencana-rencana kerjanya, tentang rencana aturan pemerintah turunan dari UU Perfilman yang baru dan tentang pembentukan Badan Perfilman Indonesia.

filmindonesia.or.id (FI): Apa program kerja dari Direktorat Perfilman yang sekarang sedang dikejar untuk diselesaikan?

Drs. Syamsul Lussa, MA (SL): Semua aspek mencakup produksi, pasar, distribusi dan marketing. Kita akan garap secara keseluruhan. Mungkin yang lebih banyak disinggung sekarang ini adalah ekonomi perfilman. Sistem harus kita lihat secara utuh, ada yang untuk dalam negeri dan luar negeri. Misalnya marketing. Marketing-nya itu bisa berbentuk apresiasi, festival... macam-macam, juga berpartisipasi dalam film market. Yang terakhir kita hadir di Cannes.

FI: Nilai penjualannya berapa?

SL: Data itu yang tidak terkumpul.

FI: Mengapa tidak terkumpul?

SL: Karena transaksinya tidak langsung selesai. Jadi tidak bisa ditakar. Kalau mereka mau mengemukakan, pasti keluar. Tapi contohnya begini, ada yang ketika di sana, laku lima film dengan pembeli dari lima negara. Kemudian, dua atau tiga minggu setelah tiba di Jakarta, ada lagi yang menawarkan untuk membeli filmnya. Jadi, transaksi terus berlangsung. Mengenai jumlah transaksi ini tiap tahun akan kita kumpulkan datanya.

FI: Kapan pengumpulan data akan dimulai?

SL: Sekarang saya sedang bekerja sama dengan statistik. Data tahun pertama akan ada pada Januari 2012. Mudah-mudahan, ya.

FI: Kembali ke soal booth seperti di Cannes, apakah mereka dibantu pemerintah untuk bikin booth itu?

SL: Booth-nya kita yang siapkan. 100 persen kita yang dirikan. Kita yang dekorasi. Mereka tinggal datang, duduk.

FI: Total anggarannya setiap tahunnya berapa untuk di filmmarket seperti itu?

SL: Bervariasi, tidak ada patokan setiap tahunnya berapa. Kita juga lihat kekuatan dana pemerintah, ya. Kalau saya sih maunya dibagi, biasanya 50%-50%. Masa 100 persen semuanya pemerintah? Kalau dapat untung mereka nggak bagi juga ke kita, kan?

FI: Kalau sampai sekarang 100 persen dibiayai pemerintah, apa ada cara memeriksa kebijakannya sukses atau tidak?

SL: Harus. Kalau saya bilang itu harus. Saya sudah dilakukan di marketing dan itu bisa. Itu kan pertanggungjawaban sosial. Itu kan menggunakan dana APBN. Jadi, masyarakat harus mengetahui uang itu untuk apa. Jadi, jangan dikira kami ke sana itu pergi jalan-jalan.

FI: Bagaimana supaya film memiliki dampak ekonomi yang lebih luas lagi di dalam negeri?

SL: Kita bicara produksi dulu. Ini terkait dengan kemampuan, ada skill, ada expertise yang tergantung dari dari mutu pendidikan orang-orang film. Kemudian, produksi ditentukan oleh yang tidak kelihatan, yaitu peraturan. Peraturan ini sangat menentukan peran penting untuk memacu produksi. Kita lihat, produksi dalam negeri, itu aturannya sudah ada dalam UU No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Akan ada turunannya yang sudah kami bahas dari tahun lalu sampai sekarang. Ada rencana Peraturan Pemerintah tentang sensor dan sanksi-sanksi, juga rencana Peraturan Menteri tentang tata edar.

Kemudian produksi dipengaruhi juga oleh peralatan dan bahan baku. Semua bahan baku, yang diimpor dalam rangka penggunaan untuk produksi dalam negeri bea masuknya nol. Kita sudah perjuangkan, dari range-nya dari 15-40 persen, langsung kita minta nol. Tahun ini juga, sudah dikeluarkan peraturan Menteri Keuangan. Jadi, industrinya saya tantang: masih ada nggak yang diminta? Saya pernah tanya ke para operator, perusahaan-perusahaan, jasa teknik, ”Mana list-nya?” Dalam dua hari saya tunggu. Sampai sekarang nggak ada. Pokoknya, semua bahan baku dan bahan jadi yang tidak diproduksi di Indonesia, kita minta nol persen bea masuknya untuk membantu produksi dalam negeri.

 

Distribusi

FI: Apa rencana Bapak tentang distribusi film atau kebijakan tata edar, terutama untuk film lokal?

SL: Di Indonesia ini, kita memang pernah punya 2600-an layar. Sekarang 676 layar. Dari 171 bioskop yang tersebar di 55 kota kabupaten dari 442 kota kabupaten. Itu artinya, baru ada 11% lebih sedikit atau 12% lah dari total kapasitas yang dibutuhkan dan penyebarannya. Jadi, exposure untuk film memang masih sangat potensial untuk bidang usaha bioskop. Masih ada 89%. Pak Menteri (Jero Wacik, Menteri Budaya dan Pariwisata - Red) bilang, pokoknya sampai selesai masa jabatan beliau tahun 2014, harus ada seribu layar. Artinya dari 676 ditambah 324, jadilah 1000 layar semuanya. Saya bilang: ”Jangankan 2014, setahun saja bisa, kok!”

FI: Caranya?

SL: 442 kota kabupaten yang belum punya bioskop, bikin dong. Langsung. Setahun penuh.

FI: Rencana-rencana Bapak banyak yang menempatkan inisiatif di pihak pemerintah...

SL: Nggak juga. Kalau studi boleh saja. Tapi kan saya juga tidak sendiri. Kami diskusi dengan para sineas dan para pengusaha tentang apa yang ingin kita bangun.

FI: Kalau semua jadi inisiatif pemerintah berarti beban pemerintah mahal sekali…

SL: Memang mahal. Namun, ada tahap, ini kan kita himbau, seperti yang Budpar lakukan. Kayak sekarang, kan orang akhirnya ramai-ramai jadi importir. Nanti juga mereka ramai-ramai bikin bioskop, ramai-ramai bikin film.

FI: Dulu kan pernah ada lembaga seperti Perfin yang mengelola tata edar, nantinya juga akan dibuat seperti itu?

SL: Nah, sekarang distribusi. Pembahasan internal pemerintah dengan melibatkan beberapa instansi (PPFI, GPBSI, importir) sudah dilakukan. Seperti amanat undang-undang, bioskop harus memutar film nasional 60%. Sisanya berarti non-nasional. Rencana kami, peraturan itu akan kami pilah. Jadi, peredaran, produksi nasional, tata edar, film asing itu akan kita pisahkan. Peraturannya jangan disatukan.

FI: Apakah logika patokan persentase 60-40 % bisa jalan, sedangkan produksi film nasional kita masih sedikit?

SL: Kita mainkan di varian nanti, jangan takut. UU itu harus diatur, tidak bisa kaku.

BPI

FI: Bagaimana progres pembentukan BPI (Badan Perfilman Indonesia)?

SL: Sekarang perencanaannya sudah memasuki rapat yang kelima untuk memilih pengurus BPI yang pertama. Kita harapkan sudah bisa terbentuk bulan Oktober. Di BPI itu ada tiga struktur utama. Satu bagian pendanaan, dua di bagian festival, tiga di bagian komisi. Nanti ada ketuanya, ada direktur pendanaan (funding), festival, dan komisi. Komisi perfilman ini memfasilitasi untuk infrastruktur, untuk produksi. Kalau festival, bisa di dalam negeri dan luar negeri, terkait eksibisi atau marketing-nya perfilman.

FI: Peran pemerintah di dalam BPI seperti apa? Apa ada bedanya dengan BP2N atau lembaga sebelumnya?

SL: Pasti beda. BPI ini mandiri. Pemerintah hanya memberikan fasilitas dan tahap pertama kita akan berikan hibah untuk menjalankan BPI. Hibah ini hanya satu kali. Pokoknya itu sebagai trigger saja supaya jalan. Ibaratnya seperti bayi mau berjalan. Sesudah itu, ya mungkin kerja sama. Akan dirumuskan nanti. Misalnya festival, nanti FFI yang menyelenggarakan itu mereka, pemerintah terlibat apa? Kita melihat, seandainya ada yang kurang, kami memberikan masukan, boleh saja. Pokoknya, pemerintah tidak intervensi, jadi mereka sendiri yang jalan.

FI: Harapan Bapak terhadap BPI?

SL: Pertama, bahwa ini adalah amanat dari UU. UU ini bukan hanya dialamatkan ke Menteri, tetapi juga ke masyarakat, masyarakat film, yang juga terkena UU ini. Artinya, masyarakat film akan menyambutnya dengan baik. Saya melihat responnya juga baik, keinginan dari para sineas untuk membentuk sesegera mungkin. Di beberapa pertemuan, sekarang yang bekerja masih tim kecil, ada tokoh-tokoh film, tapi yang muda-muda semua. Menteri juga mintanya seperti itu. Sudah lebih progresif, ya. Harapan kita, BPI terbentuk dan sudah bisa jalan pada 2012.