Tinjauan Dengan Menyebut Nama Allah

8/10 Gayatri Nadya 12-05-2011

Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo adalah biografi tokoh pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Diramaikan oleh banyak aktor papan atas, seperti Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Zaskia Adya Mecca, Ikranagara, sampai Sujiwo Tejo. Film ini mengisahkan upaya Dahlan yang berusaha mendalami dan memisahkan ajaran Islam yang diyakini dengan tradisi kejawen.

Dahlan (Lukman Sardi) hidup dalam lingkungan pesantren yang taat, sejak kecil ia menjalankan segala kewajiban agama Islam dan terakhir ia menunaikan rukun Islam terakhir, yaitu menunaikan ibadah haji. Bagi warga Kauman, ketika salah satu santri terbaiknya sudah kembali dari tanah suci Mekkah, maka ia dianggap bisa berbagi ilmu agama pada santri-santri lainnya. Sayangnya, semakin banyak yang Dahlan dapatkan di tanah suci, semakin banyak hal bertentangan yang ia rasa sudah dilakukan oleh warga Kauman dalam menjalankan Islam. Banyak perang batin yang terjadi dalam diri Dahlan, mulai dari arah kiblat yang tidak sesuai menghadap Ka'bah, pengapdosian cara belajar di sekolah yang dianggap seperti orang kafir (pendusta agama Islam) sampai anggapan bahwa ajaran kyai tetua tidak terbantahkan.

Tidak ingin membiarkan warga Kauman terjebak dalam ajaran yang salah, Dahlan pun  berusaha mengajak warga Kauman untuk mengkaji lagi ajaran Islam bersama-sama tetapi hasilnya ia justru mendapat cacian dan cercaan yang meletakkannya di posisi tersudut. Demi cintanya pada masyarakat dan juga pada Tuhan, Dahlan tidak menyerah. Dibantu kelima santrinya (Mario Irwinsyah, Dennis Adhiswara, Giring Nidji, Ricky Perdana, dan Abdurrahman Arif) Dahlan bergerilya membenahi ajaran Islam yang dipahaminya bahkan mempertaruhkan keluarga dan nyawanya sendiri.

Gambaran kisah hidup Dahlan sepertinya direkaulang dalam kehidupan beragama masa kini. Jangankan bicara kebebasan antar agama, kisah Dahlan mungkin banyak terjadi dalam Islam masa kini. Mereka yang seharusnya bisa bebas menentukan agama dan kepercayaan yang dianut ternyata masih harus berbentrokan, secara fisik dan pemikiran soal ajaran mana yang paling benar. Dalam film ini, Dahlan harus berhadapan dengan tetua yang menganggapnya kafir dan juga orang-orang yang pendapatnya bersebrangan. Dahlan mencoba melakukan diskusi, lalu ketika pendapatnya langsung ditolak tanpa sempat ia mengemukakan alasannya, akhirnya ia melakukan caranya sendiri.

Dahlan yang menganggap arah kiblat melenceng dari arah Ka'bah yang sebenarnya, akhirnya langsung mengubah posisi sajadah yang posisi awalnya lurus menjadi sedikit miring. Tentu saja jamaah masjid tersebut kebingungan tetapi tidak sedikit yang akhirnya mengikuti kiblat baru yang dijelaskan Dahlan posisinya harus tepat dalam ukuran derajat menghadap Ka'bah. Tindakan yang diambil Dahlan itu menunjukkan pemberontakan tanpa anarki. Dahlan tidak mencoba mengambil tindakan yang menjurus  kepada kekerasan ketika sesorang tidak sepaham dengan ajaran yang dianutnya. Dahlan membebaskan sikap apa yang mau diambil, mengikutinya atau meninggalkannya.

Sang Pencerah mencoba menggabungkan kisah sejarah dan perjuangan menegakkan ajaran Islam dengan berbagai kasus yang juga banyak ditemui masyarakat Indonesia saat ini. Perdebatan tentang arah kiblat atau pemahaman ajaran Islam yang tidak melulu dimaknai secara harfiah dijabarkan dalam adegan-adegan yang seperti mencoba menyentil umat muslim yang hidup di zaman bebas mengungkapkan pendapat ini. Film ini menceritakan saat Dahlan mengubah proses belajar para santri dengan berada di kelas lengkap dengan meja dan kursinya, inovasi ini kemudian dicap kafir oleh kyai tetua hanya karena dianggap mengubah tradisi belajar yang selama ini dijalani dan mengadopsi cara belajar ala Barat. 

Pendobrakan yang dilakukan Dahlan juga dianggap mengganggu oleh para kyai penghulu karena ajaran Islam yang mereka tahu sudah begitu mendarahdaging layaknya tradisi. Kemarahan para kyai penghulu memuncak karena warga Kauman satu persatu mengikuti 'ajaran Islam' yang disiarkan Dahlan. Tidak hanya itu, para kyai penghulu pun merasa malu, sebagai tetua tidak semestinya Dahlan melangkahi kewenangan kyai penghulu dalam pengambilan keputusan seputar ajaran Islam.

Adegan-adegan tersebut mengingatkan kita pada beberapa bentrokan yang terjadi mengatasnamakan agama tertentu. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI juga masih menyisakan ketidaksepahaman antar kelompok dan lebih jauh lagi bentrok massa antar sesama umat Islam. Masing-masing seperti menganut kepercayaannya dan berusaha membuat yang lain sepakat dengan ajaran tersebut. Tidak jarang, terselip aksi kekerasan yang dianggap wajar karena aksi tersebut didasari atas nama Tuhan.

Sejarah yang pernah terjadi di masa lalu mencoba mengingatkan kita lewat karya Bramantyo ini, kekerasan tidak akan menyelesaikan segalanya. Di awal film muncul pertanyaan murid Dahlan, "Apa itu agama?" Dahlan tidak menjawab, justru ia memainkan biolanya dan bertanya balik pada santrinya, "Apa yang ia rasakan?", si santri menjawab, "Damai, Tenang, Seperti bermimpi". Dahlan menjawab, ”Itulah agama. Ketika tidak memiliki pemahaman tentangnya, maka jadinya berantakan. Itulah seharusnya agama Islam, damai, tenang dan tidak berantakan.” Ketika hal itu belum terjadi, jangan atas namakan agama sebagai tonggak untuk pembenaran atas segala tindakan anarki yang menentang nilai kemanusiaan. Belajar dari Ahmad Dahlan, tidak perlulah nama Tuhan dijadikan alasan atas sikap yang masih berantakan memahami agama.