Tinjauan Ini Kisah Pelampiasan, Bukan Hati yang Berlabuh

5/10 Angga Rulianto 05-10-2012

Setelah tersendat-sendat menciptakan hubungan emosi dengan para protagonisnya pada film bagian pertama, pembuat film Perahu Kertas tentu menyadari bahwa ada yang dipertaruhkan ketika memecah film ini jadi dua bagian. Pertaruhan yang paling besar adalah menjaga ekspektasi penonton tidak kendur agar tetap menanti dan menikmati film bagian keduanya. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah konsistensi dramatika cerita dan emosi para karakternya dalam kedua film.

Konsistensi ini sempat mengemuka di awal cerita film bagian kedua ini. Pembuat film tampak percaya diri dengan modal cerita yang sudah mereka bangun dalam film bagian pertama. Jadi, tak perlu ada lagi pengenalan karakter dan latar belakang kisah. Tanpa perlu basa-basi lagi, Hanung Bramantyo langsung tancap gas memasukkan kisah Perahu Kertas bagian kedua ke sekuens yang dramatik dan berhawa sentimentil.

Kumparan Rasa Sayang

Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan (Adipati Dolken) dipertemukan kembali di acara pernikahan Noni (Sylvia Fully R) dan Eko (Fauzan Smith). Dari situ, kemudian mereka cepat-cepat dilemparkan lagi ke masa lalu. Berjalan-jalan dan berkemahlah mereka di Pantai Rancabuaya. Setelah itu, mereka menyambangi lagi sekolah alit, tempat pelarian Kugy dulu—yang ironisnya benar-benar sudah jadi kenangan dan berakhir tragis. Sekolah alit kini sudah tergusur dan Pilik, si murid kesayangan sekaligus sumber inspirasi dongeng karangan Kugy, telah meninggal dunia.

Gara-gara momen itu, Kugy bertekad kembali untuk mewujudkan mimpinya: jadi pendongeng. Keenan pun secara sukarela mengajukan diri sebagai sang ilustrator. Sejak itu, dimulailah penelusuran kumparan rasa sayang yang masih terpendam di hati mereka. Laju penelusuran itu tentu tak mulus, sebab kini sudah ada Luhde (Elyzia Mulachela) dan Remi (Reza Rahadian), kekasih Keenan dan Kugy. Dewi Lestari, penulis skenario Perahu Kertas, percaya bahwa keberadaan segala sesuatu di dunia ini selalu punya alasan. Alhasil, baik Luhde maupun Remi sejatinya adalah bagian dari jalan memutar dalam penelusuran rasa sayang Keenan dan Kugy.

Di penghujung kisah, Luhde dan Remi pun menjelma jadi orang-orang yang punya hati lapang untuk berikhlas. Dari adegan perpisahan Remi dengan Kugy pula, makin kentara bahwa akting Reza Rahadian berandil besar dalam menyalakan drama dalam Perahu Kertas. Ia bak gulungan ombak kecil yang mampu menghanyutkan dan menerpa secara konstan laju perahu kertas Kugy. Tak pelak, Kugy pun jadi kerap goyah, sehingga sampai harus men(y)epi sejenak di rumah kakaknya, Karel (Ben Kasyafani).

Pedang Tidak Tajam

Selain kisah hubungan Kugy-Remi dan Keenan-Luhde, ada subplot lain yang menyelip dalam acara reuni hati Keenan dan Kugy ini. Pertama, Adri (August Melasz), ayah Keenan, yang memahami jalan pilihan anaknya. Kedua, terkuaknya jalinan perasaan lawas antara Pak Wayan (Tio Pakusadewo) dengan Lena (Ira Wibowo). Dari sini terintip penyebab sikap anti Adri terhadap seni lukis. Ketiga, perihal rasa cemburu Sisca (Sharena) terhadap hubungan Kugy dengan Remi.

Kehadiran subplot ini memang dapat menyemarakkan latar problem dalam kisah percintaan Kugy dan Keenan. Tapi, adanya subplot ini sebetulnya juga bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi ia berpeluang membuat kaya bangunan kisah, karena konflik personalnya (persahabatan, keluarga, dan kekasih) makin menebal. Di sisi lain, jika berbagai subplot ini tidak dijahit dengan rapi, risiko yang muncul adalah kegagalan pemain untuk masuk ke lapisan-lapisan karakter sampai sisi terdalam, di mana diri dan konflik timbul akibat pikiran, tubuh, dan emosi.

Nah, pada Perahu Kertas bagian kedua ini, pedangnya masih bermata satu, tapi tidak tajam. Kupasannya pun jadi tidak sempurna dan setengah-setengah. Konflik-konflik personal itu malah direndengkan secara ambisius, karena tampak ingin memeriahkan plot utamanya. Padahal, meskipun masih memiliki relevansi dengan plot utama, kehadiran subplotnya ada yang tak dibekali modal awal yang cukup. Lihat saja pada konflik antara Pak Wayan dan Lena, atau Sisca dengan Remi, yang akhirnya malah terasa dipaksakan. Akibat pedang yang tidak tajam pula, akting Adipati maupun Maudy pun jadi tidak lancar dalam mengantarkan kita masuk ke pedalaman mereka.

 

Konsistensi yang Buyar

Konsistensi dramatika cerita dan emosi para karakter dalam kedua bagian Perahu Kertas lalu menjadi tidak terjaga. Sayang beribu sayang konsistensi tersebut akhirnya buyar di penghujung cerita bagian kedua film ini. Biang keladinya tetap terletak pada sikap ambisius pembuat film dalam menuturkan kisah Perahu Kertas. Untungnya, kerja kamera arahan Faozan Rizal tidak ikutan ambisius. Bahkan yang menarik, Faozan lagi-lagi menorehkan tanda tangan khasnya di film ini, yakni pemanfaatan sifat reflektif cermin di set syuting.

Sikap ambisius pembuat film mencuat jelas dari pemecahan film Perahu Kertas jadi dua bagian tanpa direncanakan sejak awal, sehingga mau tidak mau mengorbankan struktur naratif dalam skenario. Sikap ambisius ini juga tercium dari akhir kisah film yang ingin membahagiakan semua pihak. Tidak salah memang dengan akhir bahagia, asalkan dikreasikan secara terukur dan tidak seperti dibuat-buat.

Masalahnya, saat muncul akhir bahagia untuk Remi (atau untuk Sisca?) misalnya, impresi Remi sebagai pria gentleman pun hancur berantakan. Sulit ditampik jika kemudian terbentuk pesan yang berbunyi bahwa ketika hati kita gagal  dipilih oleh orang yang tersayang, maka segeralah memilih hati lainnya yang tersia-sia. Kalau sudah begini, film ini seolah-olah bukan tentang hati yang berlabuh, seperti yang digadang-gadang pembuat film, melainkan tentang pelampiasan hati.