“Bukankah setiap orang punya seorang ‘ayah Pakistan’
yang gagal mencapai cita-citanya untuk menjadi penulis?”
(Hanif Kureishi, penulis Inggris keturunan Pakistan)
1: Keluarga
Jika ada orang yang beranggapan bahwa keluarga adalah sumber kebahagiaan, maka bagi Edwin keluarga adalah sumber kutukan. Hingga kini ia relatif konsisten dengan mind-map bahwa asosiasi bagi istilah keluarga adalah kesedihan, keputusasaan, pengabaian, kesendirian, perasaan ditinggalkan, atau ketidakberdayaan yang kronis. Sebagaimana dalam film-film pendeknya yang pernah saya bahas di situs Rumah Film (Katalog Keluarga Milik Edwin, red), Edwin tak percaya bahwa dalam keluarga bisa berlangsung komunikasi yang wajar.
Film panjang pertama Edwin, Babi Buta Yang Ingin Terbang, kembali berpusat pada keluarga disfungsional. Tak ada komunikasi antara ayah dan ibu. Yang ada adalah pernyataan sepihak dari sang ayah, Halim (Pong Hardjatmo) kepada sang ibu, Verawati (Elisabeth Maria Christina) tentang keputusan-keputusan yang diambilnya (masuk Islam dan menikah lagi).
Dalam pandangan Edwin mereka menjadi seperti itu karena mereka adalah pribadi-pribadi yang tercabik-cabik. Jika pada film-film pendeknya, Edwin relatif mengabaikan penjelasan soal penyebabnya, pada Babi Buta, Edwin memperlihatkan bahwa persoalan identitas menjadi sumber yang menggerakkan persoalan para anggota keluarga itu. Halim malu pada identitas dirinya sebagai seorang Cina dan berusaha mengoperasi matanya sendiri agar tak sipit lagi. Karena operasi itu gagal, ia pun memakai kacamata hitam terus menerus. Apakah ia buta? Entah, tapi yang jelas ia adalah wakil dari orang yang tak mau ditatap dan menatap mata lawan bicara. Sebuah wakil dari ketidaknyamanan yang akut dan perasaan ingin lari dari sesuatu.
Sedangkan Verawati adalah sebuah wakil dari sikap melankolis—atau rapuh dalam istilah Edwin. Verawati, pebulutangkis nasional, tak bisa menerima celetukan “yang Cina yang mana sih?” dalam sebuah pertandingan internasional melawan pebulutangkis asal Republik Rakyat Cina. Padahal mungkin itu adalah celetukan anak kecil yang polos. Tapi justru itu: tak ada yang polos ketika soalnya menyangkut identitas. Dan Verawati pun berhenti bermain bulutangkis sambil tetap memelihara simbol nasionalismenya dengan cara terus memakai seragam yang dipakainya bertanding, seraya melarikan diri dengan membuat siomay tiap saat dan menonton khotbah Kristen di TV yang terus bicara mengenai persaudaraan dan kesetaraan.
Kakek dalam keluarga itu sama saja. Tik Gwan adalah wakil dari ketidakbersikapan dan keterombang-ambingan. Ia berkali-kali mengganti nama dan merasa bahwa ia sudah menjalani hidup yang semestinya. Padahal itu hanya berguna bagi pencarian identitas diri yang panjang; semacam pubertas yang tak kunjung selesai, yang tak menolong bagi siapapun. Juga bagi dirinya sendiri. Hal paling berguna yang bisa ia lakukan mungkin adalah ketika ia memberi nasehat kepada cucunya, Linda kecil (Clarine Baharizki), bahwa petasan bisa mengusir setan. Berdasar keyakinan itu, Linda pun kemudian menjadi seorang pemakan petasan.
2: Peta Identitas
Kemampuan Linda (ketika besar diperankan Ladya Cheryl) makan petasan ini kemudian mempertemukannya kembali dengan Cahyono, teman masa kecilnya. Cahyono bermata sipit sekalipun bukan Cina, bukan pula Jepang, melainkan seorang Menado. Nama yang aneh untuk seorang Menado, sebenarnya. Karena sesungguhnya Edwin sedang bicara tentang dislokasi sosial yang luas di negara bernama Indonesia ini, yaitu ketika orang-orang dengan nama yang tak sesuai akar budayanya berkeinginan menjadi orang-orang dari negara lain—atau etnis lain—entah untuk alasan apa.
Padahal Cahyono tak perlu menolak identitas Cina karena ia memang bukan Cina. Inilah wakil dari penolakan liyan imajinatif Cahyono sendiri lantaran ia memiliki ciri fisik seorang Cina. Liyan selalu berposisi tersingkirkan dan terabaikan. Cahyono bukan seorang liyan, tapi ia mengklaim posisi liyan itu. Inilah peta bagaimana identitas beroperasi dalam pandangan Edwin. Identitas sebenarnya digunakan untuk menggambarkan tarik-menarik antara ikatan-ikatan tribal primordial dalam sejarah nasional, yang kerap berakibat pada individu-individu di dalamnya. Akibat pada individu bernama Cahyono itu merupakan sesuatu yang kongkret. Ia ditimpuki atau dipukuli ketika berjalan bersama Linda sepulang sekolah semata-mata karena dianggap Cina. Perlakuan itu menyakiti hatinya. Maka keluarlah pernyataan bahwa tak masalah baginya untuk menjadi apa saja, ‘asal bukan Cina’. Di sini Edwin sedang menyampaikan refleksi akan empati ‘orang luar’ melalui tokoh Cahyono. Namun apakah hal itu harus dilakukan melalui absurditas penolakan identitas seperti yang dilakukan Cahyono itu?
Tak perlu sebenarnya, tapi Edwin tampaknya cemas, karena sepanjang hidupnya ia merasa tak bisa berbagi pertanyaan besar tentang identitasnya sebagai etnis Cina. Kecemasan itu berbuah pada permainan persepsi seperti ini: Edwin sedang mempersepsi persepsi orang lain. Apakah ini membantu saling pemahaman? Bukan itu tujuan Edwin karena ia hanya ingin menyalurkan kecemasannya saja.
3: Mengganggu
Maka Edwin pun mengganggu penonton, ketimbang bercerita. Ia mengubah elemen-elemen pembentuk cerita dan plot menjadi gangguan. Motif yang muncul dari penggunaan elemen secara berulang—seperti babi, kacamata hitam, khotbah di TV, dan lagu I Just Called to Say I Love You—bukan ditujukan guna mendukung plot, melainkan menyampaikan perasaan bahwa ia sangat terganggu oleh fakta-fakta yang disajikannya dalam bentuk serpihan-serpihan ini.
Lagu Stevie Wonder ini digunakan sama sekali berbeda dengan penggunaan ilustrasi musik dan lagu sebagaimana umumnya. Sebagai source music, lagu biasanya menjelaskan narasi yang menjadi bagian dari dunia diegetic (semesta yang ada dalam plot film). Namun sekalipun lagu itu dinyanyikan oleh Halim (dan Linda) ataupun dimainkan di radio, dalam beberapa adegan, tidak ada kaitan lagu itu dengan plot yang sedang berjalan. Penggunaan lagu itu sebagai ilustrasi juga tidak bersifat menegaskan mood yang mendukung ataupun bertentangan (contrapuntal) terhadap suasana cerita. Lagu dalam film ini—dan musik dalam film ini secara keseluruhan—adalah elemen pengganggu itu sendiri.
Plot yang ada dalam film ini juga disusun Edwin sebagai gangguan. Progresi plot tetap terjadi tetapi tidak untuk mengungkapkan drama karena struktur diabaikan. Edwin tetap menyusun adegan sehingga membentuk kesatuan spatio-temporal pada adegan-adegan tertentu, tetapi tidak untuk keseluruhan film. Secara keseluruhan, film ini seperti mengungkapkan gumpalan demi gumpalan pikiran yang terlontar keluar secara tiba-tiba dan cepat tanpa introduksi. Mirip racauan seorang gagap. Tampak Edwin gagap karena terganggu. Oleh apa?
Edwin tampak sekali terganggu oleh figur ayah dalam keluarganya. Sang ayah dalam film ini adalah simbol dari sikap tak mau tahu dan berusaha lari dari kenyataan yang dihadapi alih-alih menghadapi kenyataan—apalagi memimpin keluarga. Ayah adalah semacam sumber malapetaka: sang babi yang buta, tapi berkeras ingin bisa terbang. Sang ayah yang tak realistis itulah yang menjadi sumber persoalan keluarga. Dan sebagaimana kutipan Hanif Kureishi di atas: bukankah di setiap keluarga ada seorang ayah yang tak realistis semacam itu—terutama bagi anak laki-lakinya?
Jika mau melihat soal ini lewat psikoanalisa, maka kita bisa menyatakan: persoalan pribadi Edwin ini pun menjadi cermin persoalan kolektif kita. Berangkat dari keluarga, kita pun bertanya: kecemasan apa yang sedang kita pelihara, terutama berkaitan dengan identitas kita? Mungkin tak semua kita berbagi kecemasan serupa, mungkin sebagian kita punya kecemasan sejenis sekalipun berbeda sama sekali bentuknya. Tapi kecemasan Edwin itu tetap kecemasan yang lamat-lamat bisa kita rasakan (atau kita tolak) juga. Cobalah tanyakan: sampai dimana kita bisa bertanya tentang perbedaan ras, etnis, agama, pendirian politik atau orientasi sex dalam keluarga? Sampai dimana ketidakmampuan bertanya itu menyebabkan kecemasan yang berpuluh tahun kita pelihara? Sebagai bangsa kita pernah menolak kecemasan macam itu dan akhirnya meledak menghasilkan reformasi di tahun 1998. Inilah signifikansi Edwin: apa yang tampak secara kolektif itu sesungguhnya selalu bertolak dari sesuatu yang personal. Dan itu terjadi di lokus yang tak terhindarkan oleh setiap individu, yaitu keluarga. Maka menonton Babi Buta bagai sebuah ajakan: mari kita cari babi cemas dalam diri kita masing-masing.