Tinjauan Ruang Alternatif Bagi Islam Orang Biasa

6/10 Hikmat Darmawan 15-08-2013

Film ini tak punya ambisi tinggi. Tak punya hasrat artistik, atau kehendak mencapai puncak capaian bentuk, apa pun. Jadi, sudahlah. Tak perlu menilai film ini seolah sebuah karya yang punya makna penting dari segi artistik.

Film ini bukannya jelek –dalam arti teknis maupun dalam arti sebagai hiburan. Film ini cukup lancar bertutur. Dialognya tak bodoh-bodoh amat, walau tentu tak cemerlang. Humor yang terasa kurang sebagai unsur hiburan, cukup terganti dengan lokasi-lokasi di Jepang yang terasa manis di mata. Yah, penonton tak perlu tahu bahwa di dunia nyata, lokasi Kyoto-Osaka-Kobe itu sangat berjauhan. Yang penting, adegan-adegan mengalir lancar di layar.

Seni pemeranan para pemainnya juga lumayan lah. Ario Bayu sebagai Hasan, Atiqah Hasiholan sebagai Viona, dan terutama Joe Taslim sebagai Yamada, tampak cukup masuk ke dalam karakter. Memang, naskah La Tahzan juga lumayan berhasil mencipta karakter-karakter unik—khususnya karakter pembantu, seperti teman sekamar Viona dan kepala sekolah bahasa Jepang Viona.

Karakter-karakter unik itu memberi ruang pemeranan yang dimanfaatkan cukup layak oleh para pemeran film ini. Joe Taslim dengan baik masuk ke dalam karakter sebagai seorang keturunan Jepang-Indonesia. Atiqah dan Ario Bayu agak pas-pasan mainnya, tapi Atiqah cukup terselamatkan oleh karakter yang ia perankan. Walau belum sampai hilang Atiqah-nya, minimal kita melihat Atiqah yang lainlah di film ini.

Bolong cerita dan teknis film ini banyak. Tapi, sudahlah. Kalau established shot bunga sakura yang sedang mekar berkali-kali terasa mengganggu (apalagi jika kita mafhum musim Sakura di sebuah kota Jepang biasanya hanya merentang dua minggu saja), maklumi saja. Kalau kamera terasa biasa saja gerak dan kompoisi gambarnya, maafkan saja. Kalau struktur plot terasa goyah, karena alasan Hasan menyembunyikan persoalannya dari Viona terasa lemah, apa boleh buat. Ini bukan film yang dirancang untuk mendapat piala festival, agaknya.

Semua ini penilaian yang tak terlalu perlu untuk film ini. Lebih menarik, kita melampaui penilaian "bagus" atau "jelek", atau "menghibur" atau "menyebalkan", dan mengulik saja isi film ini, berdasarkan pertanyaan mendasar: apa yang sebetulnya ditawarkan film ini?

Dakwah? Religiusitas? Wah, segera akan ada yang protes: religiusitas dalam film ini hanya tempelan! Kenapa?

Karena sejak awal hingga bagian terbesar film, tak ada suasana religius dibangun—tak ada ayat-ayat suci, tak ada khutbah ustadz, ataupun kata-kata Arab yang seolah stempel sahnya sebuah "film Islami". Eh, tahu-tahu, di sepertiga akhir, persoalan yang mencuat adalah bagaimana Yamada harus masuk Islam karena akan menikahi Viona.

Tapi, kesan tempelan bagi isu religiusitas di film ini justru menarik. Tak ada ahli agama dalam film ini, kecuali sekilas adegan imam masjid Kobe yang meng-Islamkan seorang mualaf Jepang—itu pun tanpa dialog. Ajaran moral Islam hanya dua kali disebut di awal, itu pun dari mulut orang tua tokoh utama. Ibu Hasan yang berpesan agar Hasan jangan meninggalkan shalat ketika Hasan akan ke Jepang, dan Ayah Viona yang berpesan "yang penting asal jangan haram!"

Artinya, inilah film tentang kaum muslim Indonesia yang awam dan biasa. Bukankah dalam praktik, kebanyakan muslim Indonesia memang baru menonjolkan identitas keagamaan mereka hanya pada saat-saat ini saja: kelahiran, menikah, dan meninggal? Selebihnya, panduan umum yang popular untuk menerapkan Islam adalah persis itu: shalat (tentu juga berpuasa Ramadhan dan naik haji jika mampu), dan jangan makan benda atau hal-hal haram.

Isu menikah menjadi sangat penting bagi muslim kebanyakan di Indonesia—khususnya jika terantuk pada soal pernikahan beda agama. Tapi, lebih sering, itu pun diselesaikan dengan negosiasi yang cukup damai.

Ada yang memilih tak bisa menikah lain agama, sehingga pilihan mereka hanyalah: yang non-muslim pindah ke agama Islam jika ingin menikah; atau mereka berpisah. Sebagian lain memilih untuk menikah saja, walau masing-masing bertahan dalam agama mereka.

Umumnya, dalam dunia nyata, proses pilihan hidup tersebut tak menjadi drama penuh tangis dan teriakan seperti yang digambarkan dalam Cinta Tapi Beda (Sutradara: Hanung Bramantyo, 2012). Lebih sering, konflik dan prosesnya lebih bersifat negosiasi, seperti tergambar dalam sinetron  seri Si Doel Anak Sekolahan (Sutradara: Rano Karno), atau Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta (Sutradara: Benni Setiawan, 2010).

Sedikit catatan: Dalam versi awal 1990-an, sinetron Si Doel Anak Sekolahan mengambil sikap yang relatif kontroversial untuk isu pernikahan beda agama: Si Doel akhirnya memilih menikahi Sarah yang beragama Kristen, dan keluarga Betawi tradisionalnya tampak menerima pilihan itu. Adalah kredit tersendiri bagi Rano Karno yang bisa membuat pilihan yang bisa jadi polemik itu ternyata diterima juga dengan legowo oleh penonton.

Tapi, pada ramadhan 2012, terjadi pergeseran menarik: Rano Karno membuat lagi sinetron Si Doel Anak Sekolahan, kali ini mengisahkan apa yang terjadi setelah pernikahan Si Doel dan Sarah. Dan dalam versi terkini, Si Doel digambarkan ditinggal oleh Sarah ke Belanda, dan Doel akhirnya menikahi Zainab, dan menyatakan bahwa pilihannya dengan Sarah dulu adalah sebuah kesalahan.

Apa yang terjadi pada isu pernikahan beda agama ini? Apa yang terjadi pada Rano Karno? Mungkinkah fakta bahwa ia telah jadi wakil gubernur Banten, di bawah gubernur Ratu Atut Chosiyah yang "berjualan" isu identitas Islam dalam kepolitikan mereka, memengaruhi pandangan Rano Karno dalam isu ini? Dan kita bisa menangkap bahwa isu nikah beda agama semakin disikapi secara keras oleh sebagian orang di media maupun di kota-kota besar Indonesia.

Demikianlah maka film Cinta Tapi Beda dari Hanung tahun lalu pun menuai polemik keras. Tokoh masyarakat macam "Uni" Fahira Idris dengan lantang bilang bahwa film itu menghina Islam dan Padang. Secara sekilas, kita melihat bahwa isu-isu agama seperti "pernikahan beda agama", "hubungan antaragama", sampai ke persoalan "halal dan haram" di media-sphere Indonesia sepanjang 2000-an terasa semakin menegangkan. Percakapan tentang isu-isu tersebut jadi sensitif, dan mudah berubah jadi perseteruan keras.

Ditilik dari sudut itu, La Tahzan jadi sesuatu yang terasa ringan, enteng, dan nyaman. Pilihan sikapnya pun aman-aman saja: tak ada konflik ketika Yamada sepakat saja akan pindah agama. Konflik dramatis yang disodorkan (walau gagal) lebih pada persoalan cinta antara Viona dan Hasan. Kegagalan untuk menjadi dramatis dalam isu agama ini malah menjadi penghiburan yang mungkin tak sengaja bagi segala ketegangan isu agama di tanah air kita belakangan.

Film ini, sekali lagi mungkin secara tak sengaja, menjadi ruang alternatif bagi kehadiran Islam-nya orang Indonesia biasa. Islam dalam film La Tahzan adalah sebuah konstruksi budaya, bukan konstruksi etika/filosofis, apalagi konstruksi ideologi.

***

Mari kita letakkan film kecil dan biasa-biasa saja ini dalam pencandraan lebih luas wacana "film Islam"—walau ini pun sekadar sketsa saja, karena ruang ulasan ini sangat terbatas. Kita pakai saja bingkai tiga jenis konstruksi Islam di atas.

Dalam film-film yang menempatkan Islam sebagai konstruksi filosofis, Islam diperlakukan sebagai sebuah sistem gagasan dan sistem etis. Film jenis ini kemudian berfungsi sebagai sebuah morality play, tempat berbagai gagasan tentang hidup, manusia, kemanusiaan, dan sebagainya, dipertarungkan.

Salah satu contoh terbaik jenis ini adalah film Atheis/Kafir (1974) karya Sjumandjaja, berdasarkan novel klasik Atheis karya Achdiat K. Mihardja yang terbit 1949. Dalam film itu, tokoh Hasan (Deddy Sutomo) mewakili kegamangan seorang muslim berhadapan dengan nilai-nilai kemodernan. Ia tertarik pada Rukmini (Christine Hakim) yang mewakili nilai-nilai Islam yang serupa dirinya, tapi lebih taat. Tapi ia juga tertarik pada Kartini (Emmy Salim) yang mencerminkan nilai lebih liberal dari kemodernan.

Hasan pun terlibat politik bersama kawannya, Rusli (Kusno Sudjarwadi), yang mewakili sosialisme-komunisme. Dan selalu terbimbangkan oleh Anwar (Farouk Afero) yang mewakili filsafat nihilisme.

Jelas bahwa film Atheis, yang mengalami kesulitan dengan sensor negara waktu beredar, menempatkan Islam sebagai sistem gagasan yang harus menghadapi gempuran gagasan lain. Tokohnya mengalami akhir tragis sebagai penegasan akan pentingnya konsisten dalam pertempuran gagasan tersebut.

Morality Play serupa juga muncul dalam Al Kautsar (Chaerul Umam, dengan naskah Asrul Sani) dan Titian Serambut Dibelah Tujuh (Chaerul Umam, dengan naskah Asrul Sani). Dalam dua film yang boleh dibilang klasik tersebut, Islam ditempatkan sebagai sebuah gagasan tentang hidup, manusia, dan kebenaran, yang dipertarungkan dengan nilai-nilai lain yang digambarkan menggerogoti kemanusiaan. Tapi, isu yang dikedepankan dalam kedua film itu bukan sekadar pertarungan moral susila.

Dalam kedua film itu, gagasan Islam diwujudkan dalam tokoh-tokoh yang harus berjuang melawan sistem yang tak adil dalam sebuah masyarakat. Isu dan medan perangnya adalah persoalan kekuasaan rezim yang tak adil secara ekonomi dan sosial—walau cakupan kedua film itu hanyalah kampung.

Transisi dari konstruksi filosofis Islam dalam karya Chaerul Umam-Asrul Sani menuju konstruksi ideologis terjadi dalam film Nada dan Dakwah. Dalam film yang dibintangi KH Zainuddin MZ dan Rhoma Irama, isu yang dikembangkan adalah politik tanah—lagi-lagi perlawanan terhadap rezim tak adil. Tapi, gagasan Islam dalam film ini digambarkan telah dikonstruksi sedemikian rupa menjadi sebuah sistem ide yang siap pakai. Dengan kata lain: telah jadi ideologi.

Adegan paling gamblang dari konstruksi ideologis itu adalah saat tokoh kyai menerangkan soal sistem tarbiyah dalam Islam—itu merupakan adaptasi dari ideologi dakwah yang pada saat itu (1990-an) sedang mencuat di kampus-kampus dan sekolah-sekolah umum kota-kota besar di Indonesia: ideologi yang kadang disebut "tarbiyah" atau harakah Islamiyah  (gerakan Islam).

Ideologi harakah Islamiyah itu kurang lebih mengangggap bahwa segala penderitaan manusia, khususnya umat Islam, di dunia modern adalah akibat kegagalan umat Islam menegakkan syariah atau hukum Islam dalam kehidupan individu, masyarakat, maupun negara, hingga dunia internasional. Gerakan Islam dalam konstruksi ideologi ini lantas dirancang untuk secara sistematis menegakkan kembali "kekhalifahan Islam" di segala aspek kehidupan muslim.

Konstruksi ideologis yang jelas sangat politis ini, mengalami mutasi yang boleh dibilang ganjil dalam fenomena novel-novel laris Habiburrahman El-Shirazy. Ganjil, karena konstruksi ideologis yang jelas sangat politis itu lantas dimaujudkan dalam kisah-kisah drama percintaan—atau lebih tepat drama mencari jodoh istri "sholihah", seperti terlihat di Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.   

Film Ayat-ayat Cinta menjadi transisi lebih lanjut jenis film yang menjadikan Islam sebagai konstruksi ideologis. Sebagai kolaborasi sekuler dengan produser India, sutradara "umum", dan penulis skenario yang jelas bukan anggota gerakan Islam apa pun, film Ayat-ayat Cinta masih terasa hibrid dibandingkan novelnya.

Tapi ciri-ciri sebagai anak dari rahim ideologi Islam telah tampak nyata dalam film Ayat-ayat Cinta: ajaran Islam yang dikonstruksi sebagai paket nilai dan ide yang telah jadi dan disampaikan secara verbal, misalnya; atau idealisasi berlebihan karakter-karakternya sebagai wujud kampanye "nilai-nilai Islami".

Sejak Ayat-ayat Cinta, film-film "dakwah" dalam pengertian ideologis itu bermunculan, kadang terasa sebagai latah. Tapi, pada saat yang sama, muncul pula Laskar Pelangi. Dengan latar sebuah sekolah Muhammadiyah yang reot, dan bertokoh guru Muhammadiyah yang kental mengajarkan Islam, tak bisa ditampik bahwa film karya Riri Riza ini bisa dibaca sebagai sejenis "film Islam".

Tapi, jelas Laskar Pelangi juga adalah banyak hal: "film pendidikan", juga "film inspirasi". Tapi jika kita memandangnya sebagai sejenis film Islam, konstruksi Islam di situ bukan ideologis, walau mungkin sedikit filosofis. Tapi, yang menonjol di situ, hemat saya, adalah Islam sebagai konstruksi kultural. Islam jadi sebuah bagian yang given atau dari sananya, nilai-nilai yang menjadi dasar berperilaku tanpa dipersoalkan lagi. Tapi, Islam di situ lebur dalam kehidupan para tokohnya, bersama banyak nilai lain –terutama nilai-nilai lokal masyarakat di film itu.

Dalam Laskar Pelangi, tak jadi soal jika si Ikal naksir gadis Cina yang agamanya kemungkinan besar bukan Islam. Tak jadi soal pula jika anak-anak Muhammadiyah itu menang festival dengan menari tarian suku pedalaman, yang sama sekali tidak "Islami". Islam di situ tak lebih dari elemen kebudayaan.

Dalam alur itulah, kita bisa memandang konstruksi Islam dalam La Tahzan. Film ini, lebih jauh membawa konstruksi Islam itu ke wilayah budaya: ia tak dimunculkan sekali pun dalam bentuk khutbah.

Film ini diadaptasi dari sebuah cerita berjudul "Pelajar Setengah TKI" karya Ellnovianty Nine dalam kumpulan La Tahzan for Students. Seri La Tahzan adalah semacam versi Chicken Soup For The Soul untuk muslim. Bermula dari karya sangat laris Aidh bin Abdullah al-Qarny. Saat diadaptasi ke film ini, judul awalnya adalah Orenji.

"Orenji"—jeruk, dalam bahasa slank Jepang—jadi metafora inti nilai dalam film ini. Sangat sederhana: bahwa yang kelihatan manis dari kulitnya, bisa jadi asam di dalamnya. Nilai ini sangat samar identitas ke-Islam-annya. Sesamar dan sahaja masalah keislaman film ini. Ada semacam sikap yang rileks terhadap isu agama dalam kesahajaan itu.

Jika Anda menganggap film ini bukan film yang berhasil, setidaknya kita bisa menghargai tawaran film ini untuk menjadi ruang alternatif bagi sebuah Islam bagi orang-orang biasa saja.