Tinjauan Tarung, Antara Gambar dan Cerita

4/10 Edna C Pattisina 15-09-2011

Sebuah film adalah suatu bentuk ekspresi yang terdiri dari unsur-unsur sinema yang berhubungan secara kompleks. Tarung – City of Darkness menjadi contoh menarik karena ketidakberimbangan dari unsur-unsur pokok yang ada di dalamnya. Kuatnya sinematografi hasil dari gerak kamera di satu sisi bersanding dengan akting yang minim, cerita yang berantakan, dan dialog yang seadanya menjurus ke klise.

Sutradara Nayato Fio Nuala merangkap sebagai penata kamera dalam film ini. Hasilnya, sebuah sekuens dari frame-frame adegan yang artistik. Pengambilan gambar yang menggunakan low angle, framing, disertai dengan efek-efek gerak cepat dan pembekuan adegan membawa film laga ke dalam bentuk tampilan yang lebih kontemporer. Hal ini masih ditambah tata cahaya yang membawa kesan suram dan kumuh jadi terlihat artistik dalam kesuramananya. Efek hand-held sejak awal sudah membuat gambar jadi dinamis.

Tarung dibuka dengan hubungan persahabatan dua orang pemuda, Galang (Guntur Triyoga) dan Coki (Khrisna Putra). Tinggal di rumah kecil di pinggir rel kereta api, kedua orang ini akrab dengan kerasnya dunia jalanan. Coki digambarkan cuek dan kerap bertindak tanpa perhitungan. Sementara, Galang gampang naik darah dan jago berkelahi.

Dari foto hitam putih yang ada di kamar Galang, tampak bahwa mereka masih punya dua kawan lagi yaitu Reno (Volland Humanggio) yang sebentar lagi keluar penjara dan Daud (Daud Radex) yang berbisnis bengkel mobil. Ada dua foto yang dipasang, satu foto saat masih kanak-kanak dan satu lagi saat sudah remaja.

Rupanya, ada kepala penjahat yang menaruh dendam pada Reno. Akibatnya, sejak hari pertama Reno keluar penjara, kelompok itu terus mencari untuk membalas dendam. Masalah semakin rumit ketika Coki berurusan dengan kelompok pengedar narkoba. Sementara, Galang bermasalah dengan mucikari dari Astrid (Cinta Dewi), kekasihnya yang bekerja sebagai penari bar.

 

Gambar Sebagai Raja 

Salah satu kekuatan dari film ini adalah sudut pengambilannya yang tidak konvensional. Tata artistik dan sinematografi menjadi penekanan dalam karya Nayato yang menurut pengakuannya dibuat dengan biaya sangat rendah. Hal ini merupakan catatan penting, apalagi kalau sesuai pengakuannya, pengambilan gambar film ini dilakukan dengan kamera DSLR.

Dalam beberapa adegan sederhana, seperti orang keluar dari angkot yang diambil dengan sudut low angle, atau perdebatan antara Coki dan Galang, diambil dengan memanfaatkan bingkai dari interior kamar, seperti tirai manik-manik membawa kekumuhan dari situasi rumah menjadi artistik.

Ditambah dengan pendekatan film laga yang hadir dengan tampilan gambar-gambar cepat dan tiba-tiba beku, serta aksi di lokasi-lokasi yang tidak umum seperti tambang kapur. Bahkan, salah satu adegan yang perlu dicatat adalah perkelahian di dalam angkot. Belum lagi kamera yang habis-habisan mengeksploitasi gang-gang sempit tempat orang berjualan dengan lampu-lampu temaram yang kemudian dikontraskan dengan hingar bingar klab malam yang suram juga.

Namun, kekuatan gambar dari film ini menjadikan kelemahan yang lain nampak mencolok. Tarung tidak lebih dari sekuens atau urut-urutan gambar-gambar indah tanpa cerita dan karakter manusia yang berwarna. Padahal, premis utama dalam film ini adalah cerita tentang manusia, tokoh-tokoh yang bergulat di jalanan. Tentang hal ini, Nayato berkilah kalau filmnya tidak lebih dari hiburan laga semata.

Sibuk dengan gambar, justru cerita tentang manusia dalam film ini terbengkalai dan tidak tergarap utuh. Bahkan masing-masing tokoh utama tidak memiliki latar yang jelas, kecuali kalau empat sekawan itu pernah tinggal bersama di Panti Asuhan. Namun, identitas mereka bahkan alasan-alasan peristiwa dalam film ini tidak disentuh seperti alasan kenapa Reno diincar raja penjahat tidak dijelaskan, padahal jalinan cerita berkisah seputar pembalasan raja penjahat pada Reno.

Jangankan karakter, penjelasan dasar tentang sosok Reno juga tidak digambarkan. Singkatnya, ia hanya muncul pada saat keluar penjara, dikejar penjahat, lalu sembunyi lama, berkelahi, dan selesai. Bahkan dua tokoh utama lain seperti Galang yang tidak jelas pekerjaannya. Ia disebut sebagai kepala preman, tapi hanya digambarkan mondar-mandir dengan mobilnya atau pacaran dengan Astrid.

Hal ini diperparah dengan dialog-dialog klise yang ditampilkan dengan akting yang datar. Dari keseluruhan aktor dan aktris dalam film ini yang bisa disebut berakting di depan kamera hanya Galang. Sementara yang lain, hadir dengan alasan yang klise, tanpa pergulatan, dan tanpa ekspresi. Film Tarung menggampangkan sosok seorang manusia dengan menggambarkan tokoh-tokohnya dengan membenarkan prototipe yang ada. Astrid misalnya, terjebak jadi pelacur karena ditipu temannya akan dijanjikan pekerjaan sementara ibu dan adiknya membutuhkan biaya di desa.

Nayato dalam Tarung kembali sebagai pembuat film yang kuat dalam dalam segi teknis pengambilan gambar. Bila dibandingkan dengan The Soul (2003), eksplorasi gambarnya tidak saja semakin kuat ciri khasnya, namun juga semakin liar yang menunjukkan bahwa ia telah piawai mengurusi seluk-beluk kamera dan tata cahaya.

Namun, ia juga tetap konsisten dalam menampilkan sebuah film tanpa cerita yang meyakinkan. Banyak adegan-adegan yang mengorbankan cerita demi kepentingan gambar seperti Astrid yang usai ditampar wajahnya oleh mucikarinya entah kenapa membuka baju terlebih dahulu sebelum menangis. Belum lagi pertemuan Daud dan Galang yang susah payah dilakukan sembunyi-sembunyi hanya untuk beberapa kalimat tentang ada penjahat yang mencari Reno.

Sutradara yang mengaku membuat Tarung selama setahun di sela-sela membuat 15 film lainnya ini, selalu berkilah bahwa ia membuat film hiburan. Dan ia sepertinya percaya dan tidak mau keluar dari resep yang ada selama ini dalam membuat filmnya. Masalahnya, sebuah hiburan entah horor, komedi, atau laga sekalipun membutuhkan konsep, cerita, akting yang kuat agar penonton bisa benar-benar terhibur. Dan kepiawaian seorang sutradara bukanlah hanya kepiawaian teknis di belakang kamera, akan tetapi bagaimana di dalam kepalanya ia memadukan semua komponen film dalam resep-resep yang bervariasi, untuk tujuan hiburan atau apapun itu.