Artikel/Kajian Jumlah Bioskop dan Film Bertambah, Jumlah Penonton Turun

Kajian Deden Ramadani 26-05-2014

Jumlah film Indonesia yang beredar sejak tahun 2013 semakin bertambah banyak. Pada tahun 2012, film Indonesia yang beredar setiap minggunya hanya berkisar satu sampai dua film. Sejak 2013 hingga saat ini, film Indonesia yang baru beredar bisa mencapai tiga film setiap minggunya.

Tidak hanya pertambahan jumlah film saja, tahun 2013 hingga Mei 2014 juga diramaikan dengan pertambahan jumlah bioskop di berbagai kota. Pertambahan bioskop yang biasanya berada di kota-kota besar mulai meluas ke wilayah yang belum memiliki bioskop. Salah satunya adalah Papua yang kini sudah memiliki akses ke bioskop dengan hadirnya Jayapura XXI.

Dengan logika pasar sederhana, dukungan infrastruktur seperti bertambahnya jumlah bioskop dan jumlah film Indonesia yang diproduksi, akan sejalan dengan pertambahan jumlah penonton. Ternyata hal itu belum berlaku untuk industri film tanah air. Tren penurunan jumlah data penonton masih terus terjadi hingga hari ini.

Untuk mengurai permasalahan tersebut, nampaknya kita perlu mengkaji aspek produksi, ekshibisi (pertunjukan) dan apresiasi (penonton).

Berlomba-lomba Menambah Bioskop

Pertambahan bioskop dari waktu ke waktu selain bertambah banyak, juga semakin pendek rentang waktunya. Jika kita melihat grafik di atas, dalam waktu 1,5 tahun, pertambahan bioskop di jaringan grup 21 dari bulan Agustus 2012 – Desember 2013 sekitar 10 persen. Pada Agustus 2012, jumlah bioskop pada Grup 21 berjumlah 145 bioskop dengan 609 layar. Kemudian sampai dengan Desember 2013, Grup 21 menambah 17 bioskop sehingga berjumlah 162 Bioskop dengan 686 layar. Pada rentang waktu yang sama, kondisi serupa juga terjadi pada Jaringan Grup Blitmegaplex yang mengalami pertambahan pada kisaran 22 persen. Pada Agustus 2012, Grup Blitzmegaplex memiliki tujuh bioskop dengan 66 layar. Kemudian pada Desember 2013, Grup Blitzmegaplex menambah dua bioskop sehingga berjumlah sembilan bioskop dengan 78 layar.

Pada kurun waktu Desember 2013 – Mei 2014 atau sekitar lima bulan saja, presentase pertambahan bioskop pada Grup 21 sudah mencapai 7 persen. Jaringan Grup 21 telah menambah 13 Bioskop dengan 54 layar menjadi 175 bioskop dengan 740 layar. Sedangkan Grup Blitzmegaplex mengalami penambahan 18 persen. Rinciannya: tambah dua bioskop dengan delapan layar, sehingga menjadi 11 bioskop dengan 86 layar.  Apabila diakumulasikan, maka sampai dengan 25 Mei 2014, jumlah bioskop dari dua jaringan bioskop terbesar saat ini (Grup 21 dan Blitzmegaplex) berjumlah 186 bioskop dengan 826 layar, dengan proporsi 94 persen bioskop dikuasai grup 21 dan sisanya sebesar enam persen bioskop dikuasai Grup Blitzmegaplex.

Apabila membaca grafik atas, dua jaringan besar bioskop di Indonesia saat ini nampaknya sedang berlomba-lomba untuk menambah jumlah bioskopnya di Indonesia. Perlombaan pertambahan bioskop ini akan semakin seru dengan adanya tanda-tanda kehadiran pemain baru. Dikutip dari "CANNES: Cinemaxx Seeks New Exhibition Order In Indonesia" yang terbitkan oleh–variety.com, pemain baru bernama “Cinemaxx” yang dimotori oleh Grup Lippo akan hadir pada tahun ini dengan menyediakan 22 bioskop dengan 160 layar. Grup Lippo bahkan menargetkan, dalam waktu 5 tahun Cinemaxx akan mencapai 1.000 layar yang membuatnya menjadi jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Bahkan grup ini juga berniat menjadi distributor film seperti yang selama ini dilakukan oleh Grup 21 dan sedikit oleh Blitzmegaplex.

Untuk diketahui, Grup Lippo adalah sebuah korporasi bisnis yang bergerak di berbagai sektor, salah satunya adalah sektor properti pada pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia. Andaikan mereka memanfaatkan pusat perbelanjaan yang dimilikinya sebagai tempat ekshibisi (yang selama ini didominasi oleh Grup 21), maka target 1.000 layar dalam kurun waktu lima tahun mungkin tercapai. Tentu saja, jaringan bioskop yang selama ini berkuasa di pusat-pusat perbelanjaan milik Grup Lippo harus bersiap-siap “diganti” jaringan bioskop ini.

Sebagai tambahan, sejak tahun 2013 filmindonesia.or.id juga mulai melakukan pendataan terhadap bioskop di luar jaringan Grup 21 dan Blitzmegaplex yang ada di Indonesia. Kalangan industri film mengkategorikan bioskop ini sebagai bioskop Independen. Bioskop ini beberapa berdiri sendiri dan beberapa sudah membentuk jaringan bioskop kecil dengan jumlah 3 – 5 bioskop. Mekanisme pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan kontak langsung dengan pemilik bioskop, mengumpulkan informasi di Internet, dan melalui sumber-sumber terkait.

Setelah dihimpun, sampai dengan Desember 2013, website filmindonesia.or.id telah mencatat 24 bioskop independen dengan 73 layar yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Apabila diakumulasikan, maka jumlah seluruh bioskop di Indonesia sampai dengan Mei 2014 adalah 211 Bioskop dengan 904 layar. Suplai film untuk bioskop independen ini tampaknya dilakukan oleh Grup 21, kalau melihat judul-judul film yang ditayangkan, meski tidak tertutup kemungkinan pihak bioskop bisa memilih judul film yang akan ditayangkannya.

Tren munculnya bioskop independen di berbagai pelosok di Indonesia menjadi catatan menarik. Awalnya, asumsi yang bermunculan adalah semakin banyak bioskop independen yang cepat atau lambat akan mati. Hal ini karena mereka tidak mampu beradaptasi dengan kehadiran teknologi digital yang dipelopori oleh Grup 21, pemilik jaringan terbesar bioskop di Indonesia sekaligus distributor. Perubahan teknologi pada Grup 21 dengan kehadiran proyektor digital mengubah distribusi film. Kondisi ini dianggap berdampak pada tutupnya bioskop-bioskop independen karena hilangnya pasokan film sebagai akibat perubahan medium distribusi film tersebutnya. Tingginya biaya investasi apabila harus melakukan digitalisasi menjadi salah satu faktor penyebab tutupnya bioskop-bioskop independen di Indonesia. Tulisan tentang tutupnya bioskop-bioskop di Jawa tengah “Bioskop Jawa Tengah, Riwayatmu Kini” pada tahun 2011 menjadi catatan tersendiri.

Tetapi, hal ini nampaknya mulai berubah. Beberapa bioskop masih bertahan dan mampu beradaptasi. Bahkan bermunculan bioskop-bioskop independen baru. Sebut saja jaringan bioskop New Star Cineplex. Awalnya jaringan bioskop ini hanya terdapat di Jember. Kemudian, jaringan ini terus bertambah hingga Pasuruan, Kudus, Madiun, dan Sidoarjo. Berdasarkan beberapa sumber yang diwawancarai, strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha bioskop independen terhadap perubahan teknologi digital adalah dengan membeli proyektor-proyektor digital “bekas”. Strategi ini nampaknya menunjukan tanda-tanda keberhasilan. Melihat strategi yang dilakukan Bioskop Independen, ada harapan semakin meluasnya akses masyarakat ke bioskop di pelosok-pelosok wilayah Indonesia melalui jaringan bioskop-bioskop independen seperti yang dilakukan oleh New Star Cineplex.

Kuota

Jumlah bioskop dan layar yang semakin bertambah banyak otomatis juga menambah jumlah jam pertunjukkan yang dimliliki oleh masing-masing grup bioskop. Jam pertunjukan ini, seperti diketahui, diatur oleh Pasal 32 UU No. 33 tahun 2009 tentang perfilman. Pasal ini mengatur tentang kewajiban pelaku usaha pertunjukan film untuk mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukkan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut.

Untuk melihat pelaksanaan undang-undang itu, kita dapat melakukan hitung-hitungan sederhana. Untuk mempermudah perhitungan sesuai rentang waktu enam bulan yang diatur undang-undang, kita dapat menghitung jumlah jam pertunjukkan dengan mengacu pada jumlah bioskop dan layar sampai dengan Desember 2013 (195 Bioskop dengan 837 layar).

Kalau setiap layar menyediakan lima jam pertunjukan film per hari, maka total jam pertunjukan yang tersedia untuk seluruh film, baik film Indonesia maupun film asing, adalah 4.185 jam pertunjukan per hari. Apabila bioskop adalah pasar, maka 4.185 jam per hari atau 125.550 jam per bulan, adalah ukuran pasar yang tersedia untuk semua film dapat bertanding mendapatkan penonton.

Tabel Perbandingan Jam Pertunjukan Tahun 2013

Dari tabel di atas, kita dapat mengetahui jumlah jam pertunjukan yang tersedia di masing-masing jaringan bioskop dan total jam pertunjukan yang harus disediakan oleh pihak ekshibitor apabila mengikuti undang-undang menyediakan minimal 60 persen film Indonesia. Berdasarkan angka kuota minimal di atas, kemudian kita dapat bandingkan dengan realita empiris berdasarkan jadwal tayang film indonesia yang dicatat oleh filmindonesia.or.id setiap hari sepanjang tahun 2013.

Berdasarkan grafik di atas, nampaknya ekshibitor masih belum menjalankan apa yang berlaku dan diatur dalam undang-undang. Grup 21, sebagai pemilik mayoritas bioskop di Indonesia dengan presentase mencapai 83 persen dari keseluruhan bioskop nasional, hanya mampu menyediakan sekitar 22 – 27 persen dari total seluruh jam pertunjukan yang dimilikinya untuk film Indonesia.  Begitu pula dengan Grup Blitzmegaplex yang menguasai lima persen pangsa pasar bioskop nasional. Mereka hanya mampu menyediakan sekitar 10 persen dari total seluruh pertunjukan yang dimilikinya untuk film Indonesia. Bioskop independen nampaknya juga tidak terlalu berbeda jauh dengan dua jaringan bioskop sebelumnya. Dengan catatan: bioskop independen kita asumsikan sebagai satu grup tersendiri untuk mempermudah kalkulasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, ekshibitor nampaknya masih belum bisa memenuhi regulasi yang telah diterapkan pemerintah terkait kuota minimal 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya untuk film Indonesia. Jangankan 60 persen, separuhnya saja masih belum tercapai. Negara sebagai regulator nampaknya juga belum peduli akan hal tersebut. Hal ini terlihat dari belum adanya mekanisme kontrol ataupun sanksi terhadap grup bioskop yang tidak memenuhi kuota minimal jam pertunjukkan film Indonesia tersebut.

Penjabaran di atas terkait kondisi tata edar film di bioskop yang nampaknya bisa menjadi salah satu penjelasan mengapa meskipun jumlah film bertambah, bioskopnya bertambah, tetapi jumlah penonton film indonesia malah menunjukan tren menurun.

Jumlah Film Bertambah

Sepanjang tahun 2013 kita dikejutkan dengan besarnya jumlah film yang beredar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Rinciannya sebagai berikut; Pada tahun 2010, jumlah film yang beredar adalah 82 film. Jumlah ini meningkat 2 persen menjadi 84 film pada tahun 2011. Pada tahun 2012 tidak ada pertambahan jumlah film karena jumlah film tahun 2012 sama dengan jumlah film tahun 2011 yaitu 84 film. Pertambahan baru terjadi tahun 2013 yang mencapai 15 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Film yang beredar pada tahun 2013 berjumlah 99 film. Tahun 2014 ini sepertinya juga akan terus mengalami pertambahan. Hal ini terlihat jumlah film yang beredar sampai dengan 25 Mei 2014 atau rentang waktu 5 bulan yang sudah mencapai 44 film. Apabila kita melihat pertambahan ini sebagai pertanda semakin bergairahnya industri film Indonesia, boleh kita mengatakan ini kabar baik.

Sepanjang tahun 2013, jenis film yang ditawarkan juga banyak ragamnya. Dari 99 film yang beredar pada tahun 2013, terdapat 3 besar jenis film yang mendominasi peredaran film yaitu Drama, Horor, dan Komedi. Sebagai catatan, film dengan kategori thriller, drama thriller, dimasukan dalam kategori horor dan film dengan kategori drama komedi, horor komedi dimasukan dalam kategori komedi. Apabila dirinci, hasilnya adalah sebagai berikut : Drama menguasai sekitar  52 persen, Horor dengan presentase 20 persen serta Komedi dengan 16 persen dari total film yang beredar. Sisanya, diisi oleh film Laga yang menguasai 5 persen film yang beredar, dan film berkategori anak-anak, animasi, dokumenter, kompilasi, dan musikal yang mengisi 1-3 persen peredaran film.

Tren yang terjadi pada rentang Januari – Mei 2014 tidak banyak perubahan. Dari 44 film yang beredar sampai dengan 25 Mei 2014, jenis film drama, horor, dan komedi masih mendominasi layar bioskop Indonesia. Tiga jenis film ini secara historis memang mendominasi peredaran film Indonesia dari tahun ke tahun. Untuk rinciannya sebagai berikut : Drama menguasai 41 persen dari total peredaran film.  Film kategori horor presentasenya mengalami peningkatan sebesar lima persen menjadi 25 persen pada kurun waktu Januari – Mei 2014. Kategori Komedi juga mengalami peningkatan sebesar 3 persen menjadi 16 persen pada rentang Januari – Mei 2014. Film berjenis laga mengalami peningkatan sebesar 6 persen, yaitu dari 5 persen pada tahun 2013 menjadi 11 persen pada tahun 2014. Dari Januari – Mei 2014, belum ada film berkategori kompilasi maupun musikal. Meskipun masih ada waktu sekitar tujuh bulan lagi, dengan melihat film-film yang akan tayang maupun sedang diproduksi, nampaknya tidak akan ada perubahan yang signifikan terkait jenis-jenis film yang ditawarkan oleh pembuat film Indonesia selain kategori di atas untuk tahun 2014.

Akan tetapi, seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini, pertambahan jumlah film dan bertambahnya bioskop ternyata tidak sejalan dengan jumlah penonton film yang malah terus menunjukan tren menurun. Hal ini dapat kita amati melalui grafik berikut:

Jika kita membaca grafik di atas, sebenarnya tren menurunnya jumlah penonton sudah terlihat dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Sebagai catatan khusus, melonjaknya jumlah penonton pada tahun 2012 disebabkan oleh tingginya jumlah penonton film Habibie & Ainun jelang akhir tahun yang mencapai 4,4 juta penonton. Tanpa film tersebut, praktis jumlah penonton film Indonesia tahun 2012 berkisar 14 juta penonton. Jumlah ini jelas lebih sedikit dari tahun sebelumnya. Hal ini juga sudah terlihat dari rata-rata penonton dalam kurun waktu tahun 2010 – 2012 yang berkisar antara 170 ribu – 190 ribu penonton. Kondisi terburuk dicapai pada tahun 2013 dengan jumlah rata-rata sebesar 129 ribu penonton. 

Pada tahun 2014, ada gejala jumlah penonton semakin memburuk. Jumlah penonton tahun 2014 sampai dengan 25 Mei 2014 atau rentang waktu lima bulan sekitar 6.303.104 penonton. Apabila dibagi dengan jumlah film yang telah beredar, rata-rata jumlah penonton memang mencapai 143.252 penonton. Akan tetapi perlu diingat, bahwa distribusi jumlah penonton pada tahun 2014 sangat berbeda-beda, bahkan cenderung timpang. Ada dua judul yang mencapai di atas satu juta penonton seperti Comic 8 dan The Raid 2 : Berandal, tetapi ada banyak pula film yang hanya mengantongi lima ribu penonton. Perbedaan yang timpang ini tentu mempengaruhi besaran rata-rata jumlah penonton. Andaikan kita menganggap perolehan penonton Comic 8 dan The Raid 2 sebagai anomali dan tidak memasukannya dalam perhitungan jumlah penonton dan rata-rata, maka rata-rata jumlah penonton dari 42 film (tanpa Comic 8 dan The Raid 2) berjumlah 81.414 penonton.

Jumlah rata-rata penonton pada tahun 2014 di atas dapat kita gunakan untuk memperhitungkan besaran pendapatan kotor untuk setiap film Indonesia yang tayang. Acuan harga tiket untuk setiap penonton adalah Rp 30.000. Angka ini didapat dari rata-rata harga tiket bioskop dari seluruh grup bioskop sepanjang tahun 2013. Setelah itu, kita dapat menghitung pendapatan bersih bagi produser film dengan cara menghitung 50% dari besaran rata-rata harga tiket setelah dikurangi pajak tontonan. Maka, angka yang didapat untuk pendapatan bersih adalah sebesar Rp 13.500.

Itu berarti rata-rata jumlah penonton sebesar 81.414 penonton untuk setiap filmnya, akan mendatangkan pendapatan bersih bagi produser film sekitar 1,1 milyar rupiah. Jika kita mengacu pada beberapa sumber dari kalangan produser film yang mengatakan bahwa biaya produksi setiap filmnya berada pada rentang 1,5 – 2 milyar, maka angka 1,1 milyar sebenarnya belum balik modal, bahkan cenderung merugi. Kondisi merugi ini akan cenderung semakin terlihat jelas apabila jumlah film semakin banyak dan jumlah penontonnya tetap atau malah semakin turun.

Yang sukar untuk dihitung adalah apakah jumlah film yang beredar ini sepadan dengan besaran pasar yang tersedia. Sebagai contoh, pada bulan April lalu tidak kurang dari 19 judul film Indonesia beredar bersamaan baik yang baru beredar maupun yang merupakan lanjutan dari bulan Maret. Bulan Mei ini 17 judul beredar bersamaan. Kita hanya bisa menduga bahwa jumlah itu rasanya juga menyumbang pada penurunan jumlah penonton, karena praktis persaingan yang terjadi bukan hanya dengan film impor, tapi juga sesama film Indonesia. Sayang, kita tidak memiliki data penonton film impor, hingga sukar untuk membuat perbandingan.

Harga tiket

Tren menurunnya jumlah penonton ini tidak serta merta kita dapat tarik kesimpulan bahwa kualitas film Indonesia itu buruk. Tingginya harga tiket bioskop mungkin saja menjadi salah satu alasan mengapa calon penonton film Indonesia menjadi sangat rasional dalam memilih tontonan film.

Berdasarkan catatan filmindonesia.or.id, sepanjang tahun 2013 harga tiket bioskop cenderung mengalami kenaikan. Pada bulan Agustus 2012, rata-rata harga tiket jaringan Grup 21 sekitar Rp 34.257. Sedangkan pada bulan Desember 2013, rata-rata harga tiket Grup 21 mengalami kenaikan sebesar 19 persen hingga mencapai sekitar Rp 42.130. Sampai dengan Mei 2014, harga tiket di Grup 21 sudah mengalami kenaikan sebesar tiket dari Desember 2013 hingga mencapai sekitar Rp 43.604. Jaringan Grup Blitzmegaplex juga mengalami kenaikan harga tiket. Pada bulan Agustus tahun 2012 harga rata-rata tiket berkisar Rp 26.429. Rata-rata harga tiket ini mengalami kenaikan hingga 11 persen pada bulan Desember 2013 mencapai Rp 29.762. Sampai dengan Mei 2014 harga tiket pada Grup Blitzmegaplex cenderung stagnan pada kisaran Rp 29.643.

Jumlah bioskop mungkin saja memiliki pengaruh terhadap meluasnya pasar yang akan diraih oleh ekshibitor. Tetapi patut diingat juga, bahwa bertambahnya jumlah dan akses ke bioskop tidak menjamin akan mendatangkan penonton lebih banyak. Hal ini karena karena aksebilitas orang-orang pada segmentasi kelas sosial tertentu sudah dibatasi ruang geraknya oleh tingginya harga tiket bioskop.

Anggaplah pada tahun 2012, Calon penonton dengan kocek Rp 35.000 sudah dapat menonton film pada hari biasa maupun akhir pekan di Grup 21, maka dengan rata-rata harga tiket mencapai Rp 43.000 pada Mei 2014, calon penonton tersebut kehilangan kesempatan untuk menikmati tayangan film lagi di Bioskop Grup 21.

Tingginya harga tiket ini, mungkin saja menjadi salah satu faktor pendukung para calon penonton menjadi sangat rasional dalam memilih tontonan film di bioskop. Pada konteks ini, bukan kualitas film yang memiliki peran utama, melainkan daya tarik film.

Daya tarik

Daya tarik film dimaknai sebagai sesuatu yang mendorong orang untuk datang ke bioskop dan menonton film. Banyak faktor yang membuat sebuah film memiliki daya tarik bagi penonton. Misalnya saja efek visualisasi, promosi film, pemeran film, isu yang diangkat dalam film, waktu peredaran film, bahkan hingga siapa pembuat filmnya.

Ambil contoh film The Raid pada tahun 2012. Film ini berhasil mendatangkan sekitar 1,7 juta penonton. Film ini mungkin bisa dikatakan berhasil berkat promosi filmnya yang berbeda dari film-film indonesia lainnya. Film ini mempromosikan dirinya melalui media asing yang memberitakan tentang film The Raid telah populer di berbagai festival film di dunia. Mungkin saja, hal ini menjadi daya tarik film tersebut bagi penonton. Lain The Raid, Lain pula film Marmut Merah Jambu. Sampai dengan 25 Mei 2014, film ini berhasil mendatangkan 557.532 penonton.  Pada konteks ini, daya tarik film mungkin berada pada gaya guyonan Raditya Dika. Raditya Dika adalah sosok yang cukup populer di kalangan remaja, baik para pembaca novelnya maupun pengguna media sosial seperti Twitter. Angka tujuh juta followers di twitter nampaknya menjadi potensi yang cukup besar bagi Raditya Dika untuk mempromosikan dirinya maupun film yang diproduksinya.

Meskipun begitu, faktor-faktor di atas dan banyak faktor lainnya masih sulit terpetakan dan sangat kontekstual. Harap ingat pada Cinta Brontosaurus (2013) yang meraih 892.915 penonton, sementara ketika kualitas filmnya “diperbaiki” pada Cinta dalam Kardus (2013), raihan penontonnya turun menjadi 213.014. Mungkin juga penurunan ini bukan karena perbaikan kualitas, tapi disebabkan oleh tanggal edar Cinta dalam Kardus yang hanya berselang sebulan sesudah Cinta Brontosaurus.

Faktor-faktor tertentu berlaku untuk film X bisa tidak berlaku untuk film Y. Bisa juga satu faktor menaikkan daya tarik, tetapi faktor lain yang lebih kuat justru menurunkan daya tarik film. Banyak juga kondisi di mana beberapa film yang tidak diharapkan mendatangkan sedikit penonton, justru mencapai ratusan ribu bahkan jutaan penonton. Ada juga film-film yang diharapkan mendatangkan banyak penonton, justru hanya mendapat puluhan ribu saja.

Kondisi tersebut kita sebut saja sebagai keberuntungan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana memikirkan penghilangan faktor-faktor ketidakberuntungan. Faktor-faktor ketidakberuntungan bisa dikurangi dengan memikirkan ulang tata edar hingga setiap film bisa mendapat jam tayang dan hari tayang sewajarnya, merancang lagi jumlah produksi yang memadai untuk besaran pasar yang ada, dan mempertimbangkan lagi harga tiket yang berlaku sekarang ini.