Sepasang anak SMA sedang menunggu depan pintu Magelang Theater. Hari itu tanggal 10 Agustus 2011, pemutaran perdana Pelet Kuntilanakdi kota Magelang. Ketika jam tepat di angka dua, pintu bioskop terbuka, sepasang anak SMA tersebut pun masuk. Selang beberapa menit kemudian, masuk segerombolan remaja, yang diikuti oleh seorang bapak berumur 30-an tahun. Total ada sepuluh penonton hari itu. "Ini hitungannya sudah banyak," ujar Nursidi, penjaga pintu, yang sudah bekerja di Magelang Theater selama 21 tahun. “Biasanya cuma tiga sampai lima orang. Kadang malah tidak ada orang sama sekali. Memang begini kalau ada film baru masuk. Banyak yang nonton, habis itu sepi lagi,” tambahnya.
Magelang Theater dulunya adalah salah satu bioskop kebanggaan kotanya. Ia bersaing dengan empat bioskop lainnya di Magelang: Tidar, Rahayu, Mbayeman, dan Kresna. Keempat bioskop tersebut kini sudah tutup dan gedungnya sudah dialihfungsikan. Menurut para pengurus dan warga sekitar, Magelang Theater ramai dikunjungi remaja setiap malam minggu. Memasuki pertengahan 90-an, pamor bioskop tersebut mulai redup. Jumlah penonton menurun, pendapatan bioskop praktis mengalami hal yang sama. Konsekuensinya tercermin di fisik dan prasarana gedung bioskop. Gedung reyot, cat tembok terlihat luntur, sementara langit-langit bolong di beberapa titik. Menjelang sore, hanya loket dan kantor pengurus saja yang diterangi lampu. Sisanya gelap dan remang-remang. "Sebenarnya tinggal menunggu waktu saja sampai bioskop ini tutup," kata Mujiono, proyeksionis, yang sudah bekerja di Magelang Theater selama 23 tahun.
Cerita dari Magelang hanyalah satu dari banyak cerita serupa di Jawa Tengah. Menurut data Badan Pusat Statistik, ada 18 gedung bioskop layak pakai di Jawa Tengah, dan empat di DIY Yogyakarta. Dari jumlah gedung tersebut, hanya dua belas yang masih beroperasi. Lima bioskop milik jaringan 21, sementara tujuh lainnya tersebar di Semarang, Magelang, Wonosobo, Purwokerto, Brebes, Pemalang, dan Tegal. Apabila dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya, jumlah tersebut sangatlah minim. Sebuah artikel di Majalah Tempo tahun 1986 menyebutkan ada 171 bioskop di Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta.[1] Di Yogyakarta sendiri ada 16 bioskop. Sekarang hanya ada dua, dan keduanya milik jaringan 21.
Sejumlah Kisah
Dari tujuh yang bertahan di Jawa Tengah, ada dua bioskop daerah yang bisa dikatakan mapan. Pertama adalah Bioskop Plaza di Semarang. Berlokasi di kawasan Simpang Lima yang strategis, bioskop tersebut menyasar penonton dari kalangan menengah ke atas. Pasalnya, fasilitas yang disediakan tidak kalah dengan bioskop 21: penyejuk ruangan dan sistem suara Dolby. Ada rencana instalasi proyektor 3D, namun belum dipastikan kapan. Film-film yang diputar cukup aktual. Pada waktu riset, yakni tanggal 5 Agustus 2011, Bioskop Plaza sedang memutar Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 di ketiga studionya. Film tersebut sudah diputar selama tiga hari, selang tiga hari dari tanggal rilis Harry Potter di Indonesia. Menurut pengakuan salah satu pengurusnya, Bioskop Plaza setiap harinya meraup sekitar 15 juta dari penjualan tiket, plus dua sampai tiga juta dari kafe yang ada di bioskop.
Bioskop Plaza adalah satu-satunya bioskop non-21 yang tersisa di Semarang. Bioskop tersebut mendapat suplai film dari 21 melalui seorang perantara, dengan pembagian 50% hasil penjualan tiket (setelah dikurangi pajak) dengan penyuplai film. Sebelumnya, di pertengahan 1990-an, ada 22 bioskop di Semarang. Akibat pemasukan yang minim dan biaya operasional yang kian membengkak, banyak bioskop Semarang yang gulung tikar di awal tahun 2000-an. Salah dua di antaranya kini masih dapat ditemukan bekas gedungnya di daerah Mangkang dan Banyumanik. Yang pertama adalah sebuah bioskop yang merangkap jadi panggung kesenian lokal, macam ludruk dan ketoprak. Sejak tahun 2002, bangunan tersebut beralih fungsi jadi pabrik ikan. Yang kedua dulunya adalah Karina Theater, yang didirikan pada tahun 1989. Memasuki pertengahan 2000-an, Karina Theater vakum, dan kini menjadi gedung serbaguna.
Kisah lainnya datang dari Dieng Theater di Wonosobo. Sekilas, bioskop tersebut tidak ada bedanya dengan mayoritas bioskop non-21 lainnya di Jawa Tengah: bangunan seadanya, fasilitas seadanya, pengurus berjumlah empat sampai lima orang saja, dan film yang diputar tidak terlalu aktual. Bedanya, Dieng Theater sukses membangun reputasinya sebagai sarana hiburan di daerahnya, dan tak lagi dipandang sebagai bioskop esek-esek oleh warga sekitar. Bioskop tersebut bahkan punya relasi yang terbilang intim dengan warga sekitarnya. Sebuah radio lokal menyiarkan jadwal pemutaran setiap malam. Jasa publikasi tersebut dilakukan secara sukarela oleh pihak radio. Satu jam sebelum pemutaran, seorang pengurus bioskop akan keliling kota di atas kendaraan bak terbuka, sambil berteriak lantang via megafon, "Saksikanlah! Banjirilah!"
Secara finansial, Dieng Theater mampu menghidupi dirinya sendiri. Rata-rata penonton harian sekitar 20-30 orang. Setiap akhir pekan, rata-rata ada 30-50 penonton memenuhi bioskop. Setiap bulannya, Dieng Theater meraup pendapatan bersih 15-17 juta per bulan. Pada tahun 2009, Dieng Theater untung besar berkat pemutaran Laskar Pelangiselama tiga bulan. Pemutaran bulan pertama menghasilkan 180 juta rupiah, diikuti dengan 40 dan 50 juta rupiah di bulan kedua dan ketiga.
Kesuksesan Dieng Theater tak luput dari perhatian sesama pengurus bioskop daerah di Jawa Tengah. "Saya kagum dengan bioskop di Wonosobo. Mereka sudah punya pasar sendiri. Idealnya, kami ingin seperti mereka," jelas Nursidi dari Magelang Theater. Pujian serupa juga disampaikan seorang pengurus Bioskop Plaza, "Perkembangan bioskop di Wonosobo sungguhlah pesat. Manajemen bioskopnya bagus. Animo warga sekitar juga tinggi. Jadi klop." Dalam kasus ini, Dieng Theater terbantu oleh faktor geografis. Daerah Wonosobo cenderung terisolasi dari daerah sekitarnya oleh tebing dan jalanan curam. Bioskop jaringan 21 pun berada jauh di luar batas-batas Wonosobo. Alhasil, ada kantong penonton, baik dari Wonosobo maupun desa-desa di sekitarnya, yang secara rutin mengunjungi Dieng Theater. Dengan adanya jaminan penonton tersebut, manajemen bioskop dapat memetakan demografi penonton, yang kemudian menjadi pertimbangan atas jenis film yang diputar.
Menurut Bendot, manajer Dieng Theater, pihak bioskop mengincar kalangan remaja, mengingat kalangan tersebut yang mendominasi demografi penduduk Wonosobo. Jadilah, Dieng Theater berkiblat pada film-film populer, macam Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Ada Apa Dengan Cinta?, Eiffel I’m In Love, dan sebagainya. Di luar itu, Dieng Theater bergantung pada film horor, mengingat jenis tersebut cukup digemari oleh remaja. Demi menjaga stabilitas pemasukan, pihak bioskop mengganti film seminggu sekali. Kalau laris, film dipertahankan hingga sebulan ke depan.
Langkah Dieng Theater sayangnya belum bisa diikuti bioskop-bioskop daerah lainnya di Jawa Tengah. Semuanya, kecuali Bioskop Plaza di Semarang, tidak punya kantong penonton yang cukup untuk menyokong hidup bioskop. Tantangan-tantangan yang dihadapi serupa: banjirnya VCD dan DVD bajakan, serta sulitnya mendapat film baru sesuai jadwal edar. Kedua tantangan tersebut diakui oleh para pengurus bioskop daerah di Jawa Tengah. Seorang sumber FI mengatakan bahwa bioskop di Magelang, Brebes, dan Purwakarta akan tutup akhir tahun ini. Katanya, para pemilik bioskop-bioskop tersebut sadar bahwa usahanya merugi setiap bulannya. Merasa kesulitan untuk memperbaiki kondisi keuangan bioskop, mereka beranggapan akan lebih untung menjual gedung bioskop ketimbang bertahan di bisnis bioskop. Kalau sudah begini, mau tak mau kita harus menyoal distribusi film di Indonesia.
Distribusi
Pembajakan film sejatinya adalah sebuah kasus klasik, bukan saja di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Sudah banyak terobosan di bidang teknologi maupun kebijakan negara, namun belum ditemukan solusi yang efektif untuk mengantisipasi pembajakan film. Di Indonesia, film bajakan menjadi alternatif hiburan masyarakat, yang sayangnya silang sengkarut dengan hajat hidup bioskop daerah. Maraknya pembajakan menjadikan waktu rilis VCD dan DVD orisinil semakin cepat. Dulu, VCD dan DVD orisinil biasanya dirilis enam bulan setelah film masuk bioskop. Sekarang, tiga sampai empat bulan saja. Perhitungkan juga jaringan televisi nasional, yang cenderung menayangkan film Indonesia dua sampai tiga bulan pasca rilisnya film. Alhasil, bioskop-bioskop daerah cenderung kesulitan menarik penonton, karena mereka selalu terlambat mendapat film baru.
Mari kita ambil contoh Magelang Theater. Pelet Kuntilanak pertama kali diputar pada tanggal 10 Agustus 2011, sementara film tersebut dirilis pada tanggal 1 Juni 2011. Ada jeda 72 hari di antara kedua tanggal tersebut. Sebelumnya, Magelang Theater memutar Pupusselama seminggu, dari tanggal 3 sampai 9 Agustus. Film tersebut aslinya masuk bioskop pada tanggal 26 Mei, sehingga jedanya 73 hari. Sebelumnya lagi, Magelang Theater memutar Tarix Jabrix 3, dari tanggal 28 Juli sampai 2 Agustus, selang 48 hari dari tanggal rilis film tersebut: 16 Juni 2011.
Ada satu pernyataan menarik yang dilontarkan Sheila Timothy dalam acara Mata Najwa, edisi Sinema Merana, di Metro TV.[2] Ia mengkategorikan bioskop daerah sebagai second-run theater, alias bioskop yang memutar film yang sudah turun dari first-run theater. Dalam kasus ini, first-run theater adalah jaringan bioskop milik 21 dan Blitz. Di satu sisi, pernyataan tersebut menjelaskan posisi bioskop daerah saat ini, yakni sebagai ekshibitor film-film yang sudah selesai diputar di jaringan bioskop utama. Jadi terjelaskan kenapa selalu ada jeda antara jadwal rilis film di 21 dan Blitz dengan bioskop-bioskop daerah. Di sisi lain, pernyataan tersebut bisa menjadi bahan refleksi perihal perubahan pola distribusi film di Indonesia. Pasalnya, ada satu elemen yang kini hampir punah dalam distribusi film di Indonesia: pengedar film daerah.
Waktu Orde Baru, distribusi film diberlakukan via sistem regional. Hal ini berkaitan dengan kebijakan Departemen Penerangan: izin edar dan sensor diberlakukan per propinsi, dan tidak bisa menyeberang ke propinsi lain. Sebuah film bisa saja diputar di Jawa Tengah, tapi tidak di Jawa Barat, tergantung oleh hasil negosiasi produser dengan pengedar film di masing-masing daerah. Masing-masing pengedar daerah punya bioskop langganan, membentuk semacam jaringan distribusi tersendiri. Untuk Jawa Tengah, ada Sanggar Film dan Dwi Sendang. Jaringan distribusi Sanggar Film mencakup 130 bioskop, sementara Dwi Sendang 41 bioskop.[3]
Sempat terjadi semacam monopoli di kalangan pengedar film daerah Jawa Tengah. Pemantiknya adalah peraturan izin edar film. Tertanggal 1 Agustus 1986, Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika (AIFEA) mengirim surat ke Kanwil Deppen Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta, yang menunjuk Sanggar Film sebagai pengedar tunggal untuk kedua propinsi tersebut. Kebijakan tersebut ditentang oleh GPBSI Yogyakarta. Masalahnya, bioskop klien Dwi Sendang terancam tidak akan mendapat suplai film tepat waktu. Masalahnya lagi, bioskop tak bisa begitu saja distributor. Ada perjanjian antara Dwi Sendang dan Sanggar Film untuk tidak saling membajak bioskop.
Pemilihan Sanggar Film sebagai pengedar tunggal didasari pada reputasi Dwi Sendang yang waktu itu kian memburuk. Menurut catatan Sunarwiyarto, sekretaris AIFEA, Dwi Sendang beberapa kali memutar film yang sudah habis masa putarnya dengan memakai judul baru.[4] Distributor tersebut juga sempat bermasalah perihal pembayaran biaya sewa film. Dari Desember 1985 sampai Mei 1986, Dwi Sendang melakukan pembayaran Rp. 168 juta untuk 21 judul. Masalahnya, menurut sumber FI, pembayaran tersebut dilakukan via cek Bank Tamara, Semarang, yang ternyata tak ada dananya. Oleh karena itu, di samping penunjukan sebagai pengedar tunggal, Sanggar Film diimbau untuk “membina” Dwi Sendang. Pasalnya, pelanggaran macam ini yang kerap membuat para produser tak yakin mempercayakan filmnya ke pengecer film daerah.
Lapangan bermain kian pelik sejak 21 masuk bursa pada tahun 1990-an. Berkat kekuatan modal yang besar serta koneksi ke asosiasi importir film, jaringan 21 memilki akses ke film-film terbaru, baik nasional maupun internasional. Akses tersebut yang tidak dimiliki Sanggar Film maupun Dwi Sendang. Bioskop-bioskop daerah pun harus menentukan pilihan: bergabung dengan 21 untuk mendapatkan film-film terbaru, atau bertahan dengan para pengecer daerah dengan stok filmnya yang terbatas. Akses yang diberikan 21 sendiri berlaku dengan sejumlah syarat. Menurut Ardian Indro Yuwono, dosen Universitas Gadjah Mada, jaringan tersebut tidak memberi akses kepada bioskop yang berada dalam radius 50 kilometer dari bioskop 21. Akses yang lebih terbuka hanya dapat dinikmati bioskop daerah yang tidak satu wilayah dengan bioskop 21, itu juga terbatas pada film nasional.[5]
Sulitnya akses film menjadi awal dari tutupnya bioskop sejumlah daerah. Hal serupa terjadi pada jaringan-jaringan pengecer daerah di berbagai provinsi, salah satunya Dwi Sendang. Sekarang, hanya Sanggar Film yang masih bertahan. Cakupannya mengerucut ke bioskop di enam kota saja: Magelang, Wonosobo, Purwokerto, Brebes, Pemalang, dan Tegal. Demi keberlangsungan hidup, bioskop-bioskop daerah mencari distributor film kelas bawah, yang jelas stok filmnya sangat terbatas dibanding stok film jaringan 21. Istilah yang sering dipakai: "negosiasi koboi".[6] Film yang mereka cari adalah film yang tidak atau belum diputar di televisi, dan mampu menarik penonton. Pilihannya seringkali jatuh pada film erotis, baik produksi lokal maupun Hongkong dan Taiwan. Tidak heran kalau kemudian ada label "bioskop mesum" dan "bioskop esek-esek" yang menempel di banyak bioskop daerah.
Kasus "bioskop esek-esek" dapat ditemukan di dua bioskop di Yogyakarta: Indra dan Permata. Karena kesulitan mendapatkan film, kedua bioskop tersebut banyak memutar film-film erotis dari Hongkong dan Taiwan. Konsekuensinya: jumlah penonton jadi sangat terbatas. Anak-anak muda ogah mendekat, karena film yang diputar tidak sesuai dengan selera mereka. Demografi penonton terbatas pada orang tua, yang itu juga tidak banyak. Masuknya dua bioskop 21 di Yogyakarta, di Ambarukmo Plaza sejak April 2006 dan Jalan Urip Sumiharjo sejak Maret 2009, kian menambah persaingan. Indra dan Permata tak bisa bersaing. Kini keduanya hanya tinggal nama.
Dieng Theater di Wonosobo adalah kasus langka. Bioskop tersebut sukses menghapus reputasi bioskop mesum di daerahnya. Menurut Bendot, manajer Dieng Theater, bioskop tersebut sebenarnya pernah memutar satu atau dua film erotis, dulu di dekade 1990-an, di samping memutar film nasional dan film Barat. Namun, semenjak Ada Apa Dengan Cinta? rilis tahun 2001, Dieng Theater berfokus pada film nasional yang populer di kota-kota besar. Berkat kebijakan tersebut, Dieng Theater bisa mencitrakan ulang dirinya sebagai sarana hiburan masyarakat. Kebijakan tersebut yang dipertahankan oleh manajemen bioskop, demi mempertahankan kantong penonton yang sudah ada sekarang.
Sinema untuk Semua
Dalam tulisan Masalah Mendasar Film Nasional Masa Kini: Peredaran dan Tayangan, JB Kristanto menuliskan bahwa Ananda Siregar, direktur Blitz, didekati banyak pengusaha bioskop daerah untuk bergabung. Hal serupa dikisahkan oleh seorang pengusaha bioskop di Jawa Tengah. Narasumber mewanti-wanti untuk tidak disebutkan namanya demi kelangsungan usahanya. Katanya, ada seorang pengusaha bioskop di Semarang yang menyatakan berminat untuk bergabung dengan Blitz, bahkan sudah sampai tahap negosiasi. Sayangnya, permintaan yang diajukan belum mampu disanggupi Blitz: jaminan suplai film. Ketertarikan serupa datang dari sejumlah pengusaha dari Solo, Surabaya, dan Yogyakarta. Semuanya terbentur karena alasan yang serupa pula. Ia menyesalkan Blitz tidak bergerak di saat kasus impor film sedang hangat-hangatnya, ketika 21 sedang banyak disorot media, beberapa bulan silam. Menurutnya, apabila Blitz bisa membuka cabang di tujuh kota di pulau Jawa, selain Jakarta dan Bandung, maka 21 akan memiliki saingan yang sepadan.
Ekspansi Blitz jelas akan menguntungkan. Namun, akan lebih menguntungkan lagi apabila bisa tercipta sebuah jaringan distribusi baru, yang mengedepankan bioskop-bioskop daerah sebagai ujung tombak. Dalam jangka panjang, minimnya bioskop di daerah-daerah akan berdampak buruk bagi perfilman nasional. Pasalnya, pasar untuk film Indonesia menjadi semakin sempit. Kalau menilik perkembangan tiga tahun terakhir, jumlah penonton film Indonesia terus menurun. Tahun 2008, ada sekitar 32 juta penonton. Jumlah tersebut turun menjadi 30 juta penonton di tahun 2009. Tahun 2010, angka tersebut berkurang setengah menjadi 16 juta penonton. Tahun ini, terhitung sampai dengan bulan Oktober, film nasional baru menjaring sekitar 11 juta penonton. Jumlah penduduk Indonesia sendiri berada di kisaran 230 juta. Di atas kertas, sinema Indonesia punya potensi pasar yang besar. Potensi tersebut hanya bisa berbuah nyata apabila daerah-daerah turut memiliki jaringan bioskop. Sayangnya, perbioskopan yang ada sekarang begitu terpusat di kota-kota besar. Masyarakat di daerah jadi terbengkalai. Layaknya masyarakat di kota, mereka juga punya hak yang sama atas film.
Pertimbangkan juga kelas sosial. Status bioskop sebagai sarana hiburan sekarang ini kian eksklusif. Kalau diperhatikan, Blitz dan 21 sejatinya menawarkan hal yang serupa: kenyamanan serta pengalaman menonton yang ditujukan untuk kelas menengah-ke-atas. Dengan membuka jaringan bioskop yang terjangkau oleh kelas menengah-ke-bawah, maka pasar untuk film Indonesia juga akan berkembang dengan sendirinya. Pasalnya, kelas tersebut yang selama ini cenderung tersingkirkan oleh perbioskopan nasional saat ini. Semenjak kehadiran 21, pembangunan bioskop begitu rekat dengan pembangunan pusat perbelanjaan. Ada kesan bahwa bioskop hanya akan laris apabila terhubung dengan pusat perbelanjaan kelas atas. Pola pembangunan seperti itu sulit diterapkan di daerah-daerah. Padahal tidak ada masalah dengan bioskop di pasar rakyat maupun bioskop yang berdiri sendiri. Terbukti masih ada tujuh bioskop di Jawa Tengah yang masih bisa bertahan dengan cara tersebut.
Hajat hidup bioskop ada pada suplai film. Bisnis bioskop di Indonesia hanya akan bisa berkembang apabila ada jaminan kelancaran distribusi film ke semua pihak. Terkait dengan distribusi, ada satu cerita menarik di Lebaran tahun ini: Di Bawah Lindungan Ka’bahtayang di sekitar lima layar bioskop non-21 di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bersamaan dengan 131 layar bioskop 21 saat film tersebut rilis. Kejadian tersebut jelas di luar “tradisi” selama ini, ketika bioskop daerah selalu terlambat mendapatkan film. Cerita tersebut bisa dijadikan bahan refleksi ke depan. Namun, perlu dicatat bahwa DBLK adalah kasus khusus, mengingat film tersebut digandakan hingga 141 kopi. Normalnya, film Indonesia seberada di kisaran 40-60 kopi. Pertanyaannya, dengan figur rata-rata tersebut, apakah pola distribusi yang mencakup bioskop-bioskop daerah juga dapat diterapkan?
Menjawab pertanyaan tersebut adalah langkah pertama untuk mewujudkan perbioskopan nasional yang adil dan sejahtera. Tulisan ini baru sekadar menjabarkan kondisi sekarang dan potensi bioskop di Jawa Tengah untuk ke depannya. Dibutuhkan riset lanjutan untuk meneliti berapa jumlah kopi film yang ideal, agar setiap daerah bisa mendapat film sesuai dengan atau setidaknya tidak terlampau terlambat dari jadwal edar. Perlu juga ditelaah bagaimana kondisi geografis masing-masing daerah, sehingga dapat dipetakan jalur distribusi yang efektif. Idealnya, film dapat dinikmati oleh semua, bukan oleh beberapa kalangan saja, bukan?
[1] Putu Setia. Siapa Kena Tendang. Majalah Tempo, 20 September 1986. Kembali ke atas.
[2] Disiarkan pada tanggal 21 September 2011. Kembali ke atas.
[3] Putu Setia. Op. Cit. Kembali ke atas.
[4] Ibid. Kembali ke atas.
[5] Ardian Indro Yuwono. Eksistensi Bioskop Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2009, hal. 48. Kembali ke atas.
[6] Ibid., hal. 86. Kembali ke atas.
Tulisan ini adalah salah satu hasil dari penelitian yang dilakukan FI, dengan tim yang terdiri dari JB Kristanto, Lisabona Rahman, Adrian Jonathan Pasaribu, Ragil Priyo Atmojo, dan Bowo Leksono.
Baca juga:
Jejak Bioskop di Jawa Tengah (Ragil Priyo Atmojo, Bowo Leksono, 2011)