Artikel/Kajian Tahun Perfin

Kajian JB Kristanto 06-06-2012

Bulan Maret yang lalu sutradara Nico Pelamonia menyatakan bahwa bulan madu film Indonesia sudah berakhir. (Kompas, 24 Maret 1975). Pernyataan ini menyiratkan bahwa hubungan mesra membuat film dan menghasilkan duit sudah berakhir. Kenyataan-kenyataan dalam dunia perdagangan film membentur-benturkan orang-orang film Indonesia. Benturan-benturan ini bukan bersifat negatif saja, tapi juga punya sisi lain yang menguntungkan: ”survival of the fittest” baik untuk pengusaha maupun seniman film.

Apa yang disebut bulan madu itu sendiri sebenarnya harus dicurigai. Dunia film Indonesia—sejak kebangkitannya kembali sekitar sepuluh tahun yang lalu—belum pernah kukuh berdiri pada kakinya sendiri. Dia selalu berada dalam buaian dukungan pemerintah. Maka ketika dukungan dilepaskan, tertatih-tatih pulalah jalan mereka. Selama dalam dukungan itu usaha-usaha untuk mencoba berdiri sendiri hampir tak tampak, hanya impian-impianlah yang dipupuk. Salah satu impian itu adalah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Karena ternyata belum bisa berjalan sendiri, maka dukungan pemerintah kembali diharapkan. Dukungan pun diberikan. Kali ini lebih dahsyat daripada sebelumnya: SKB Tiga Menteri yang mengharuskan gedung bioskop memutar film nasional sebanyak dua judul setiap bulan. Surat ini ditetapkan pada 20 Mei 1975. Untuk melaksanakan surat keputusan ini dibentuklah PT Perfin yang saham-sahamnya dimiliki oleh para produser film dan pihak gedung bioskop. Harapan (kalau tidak bisa dibilang impian) tumbuh sedikit. Tanggal 7 Agustus Perfin mulai berkiprah. Pengejaran ke Neraka(1971) merupakan film pertama yang diedarkan oleh Perfin. Gagal menghasilkan uang. Pengorbanan juga gagal, karena tidak tersedia kopi secukupnya. Tiga belas film dalam triwulan pertama yang diedarkan Perfin hanya mampu menghasilkan 33 juta rupiah. Hasil yang lebih rendah daripada zaman sebelum Perfin berdiri.

Harapan ternyata masih jauh. Keluhan sampai umpatan mulai bermunculan. Semua saling menyalahkan. Semua merasa paling benar. Semua punya argumentasi. Ada yang mempermasalahkan Mandarin Hall karena bahkan film Amerika pun konon tidak akan mampir ke sana. Ada juga yang menyinggung masalah undian urutan film yang diedarkan. Kasak-kusuk lain beragam, dari ada film-film yang bukan konsumsi kelas Jakarta Theatre, perlunya manajer yang baik dalam PT Perfin, sampai pada duduknya Djohardin dan Brigjen Sudarsono sebagai anggota komisaris PT Perfin. ”Saya duduk di sana, karena Perfin adalah aparat SK Tiga Menteri,” kata Djohardin.

Sjuman Djaya juga ikut angkat bicara: ”Usia Perfin baru lima bulan. Semua harus berkorban.” Demikian juga siaran pers terbaru PT Perfin, yang dimuat dalam Film News, menyimpulkan bahwa perlu perbaikan yang menyeluruh. Usul perbaikan yang disinggung adalah perbaikan-perbaikan tiga jalur atas gedung-gedung bioskop di Jakarta dan penurunan batas hold over figure (batas minimal jumlah penonton dalam satu hari pertunjukkan dikalikan jumlah kursi yang tersedia pada satu gedung bioskop). Patut pula dicatat bahwa PT Perfin mulai merintis pembentukan cabang-cabangnya di Surabaya dan Bandung. Kira-kira tahun depan cabang-cabang ini sudah mulai berjalan.

Prasangka

Tampaknya kesulitan-kesulitan yang menimpa PT Perfin ini berawal dari ketergesaan. Tiga bulan sejak dikeluarkannya SKB Tiga Menteri, PT Perfin sudah mulai bergerak. Ini memang waktu yang sangat singkat buat sebuah perusahaan. Kalau usaha pertama yang dilakukan PT Perfin bukan cepat-cepat mengedarkan film tapi mengadakan inventarisasi masalah terlebih dahulu, mungkin apa yang barusan terjadi sudah bisa dihindari.

Dalam perjalanan selanjutnya sekarang ini yang paling baik rasanya adalah menahan diri untuk tidak tergesa memaki. Membicarakan masalahnya secara obyektif tanpa dibumbui prasangkaprasangka. Ini memang sulit karena yang dibicarakan di sini adalah masalah uang puluhan dan mungkin sampai ratusan juta. Yang harus dilawan juga kekuasaan uang yang berasal dari film impor yang sudah mempunyai tradisi selama puluhan tahun.

Dalam kerangka masalah peredaran film ini, bukankah ada baiknya ditinjau kembali masalah bioskop keliling yang pernah diutarakan beberapa waktu yang lalu? Pembentukan bioskop-bioskop murah di daerah-daerah yang menurut analisa sementara memang merupakan basis kekuatan film nasional. Bertindak atas dasar kenyataan rasanya akan lebih baik daripada memupuk mimpi, apalagi terus-terusan menuntut korban. Produser yang ”kuat” mungkin patut diminta berkorban, tapi produser yang ”pas-pasan” keuangannya dan dengan film yang lemah, tentu hancur bila darinya diminta korban pula. Kewibawaanlah yang harus ditumbuhkan oleh PT Perfin, dan itu paling mudah ditumbuhkan dengan hasil-hasil nyata, bukan dengan makian.

Biro Skenario

Suasana saling memaki tidak saja dalam masalah peredaran film. Di kalangan pembuat film pun tidak kalah hebatnya. Bicaralah dengan tiga atau empat sutradara, maka mereka akan beranggapan bahwa dirinyalah yang paling baik sambil mencaci karya orang lain.

Rendah hati agaknya memang barang yang mahal harganya. Tapi untung bahwa PPFI menyadari kelemahan-kelemahan film Indonesia, sehingga dibentuklah Biro Konsultasi Skenario. Ini adalah salah satu usaha peningkatan kualitas dalam tahun ini. Sampai berapa jauh biro ini berfungsi dengan baik tentu masih harus dibuktikan.

Peningkatan mutu memang tidak bisa berjalan cepat. Sebanyak 38 film produksi tahun 1975 ini (cuma separuh jumlah produksi tahun lalu) tampaknya juga tidak akan menyuguhkan hasil yang mengagetkan. Yang sedikit mengagetkan adalah apa yang tampil sebagai pemenang Festival Film Mini tahun ini. Hasil-hasil yang dipertunjukkan oleh mahasiswa-mahasiswa sinematografi LPKJ menumbuhkan harapan di masa mendatang. Teknis hampir mereka kuasai. Yang kurang cuma satu: visi, dan hal terakhir inilah yang tidak bisa diberikan oleh sekolah.

Festival Film Mini hanyalah salah satu dari kegiatan Kine Klub. Kegiatan Kine Klub tahun ini memang baru dua macam: mengadakan pekan-pekan film dan Festival Film Mini. Melihat hasil-hasil Festival Film Mini agaknya kegiatan Kine Klub memang harus lebih diperluas lagi. Paling tidak Kine Klub harus sudah terjun langsung sebagai wadah kegiatan pembuatan film mini, tidak hanya sebagai pemutar saja. Dengan demikian keanggotaan Kine Klub akan lebih terasa bermanfaat bagi mereka yang memang ingin menambah pengetahuan tentang film, bukan sekadar nonton lalu diskusi.

Sumber: Nonton Film, Nonton Indonesia. JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)

Terbit pertama kali di Kompas, 30 Desember 1975