Artikel/Sosok Aria Kusumadewa Tidak Benci Industri

Sosok Totot Indrarto 19-10-2012


Aria Kusumadewa ketika bertemu FI, Jakarta, Oktober 2012 (Foto: FI)Aria Kusumadewa
bisa dibilang ikon film indie di Indonesia. Setidaknya selama sebelas tahun (1999-2009) laki-laki kelahiran 27 September 1963 ini bukan hanya membuat film dan mengedarkan karya-karyanya secara independen, tetapi juga bersuara paling keras menentang kemapanan industri, bahkan beberapa kali terlibat perseteruan dengan penghuni dunia mainstream: LSF (Lembaga Sensor Film), jaringan bioskop 21, dan sejumlah pelaku industri lainnya.

Tentu saja mengejutkan ketika fim keempatnya, Identitas (2009), dipasarkan melalui infrastruktur kapitalis yang terkesan dimusuhinya. Tahun berikutnya Aria malah duduk manis sebagai sutradara pendamping (co director) Deddy Mizwar dalam Alangkah Lucunya (Negeri Ini) (2010). Kemudian film barunya, Kentut (2011), sepenuhnya dibuat mengikuti pola kerja industri bersama PT Demi Gisela Citra Sinema.

Sekarang ia kembali menjadi bagian dari kemapanan dengan kiprahnya sebagai Ketua Pelaksana Jambore Film Pendek (JFP) 2012. Kegiatan di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta 21-25 November mendatang, itu diselenggarakan dan dibiayai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Apakah Aria sudah berubah?

"Sebetulnya JFP sama seperti kegiatan yang pernah gue bikin di Bulungan, tapi cakupannya waktu itu cuma Jabodetabek. Tujuannya mendukung komunitas-komunitas indie yang nggak pernah diperhatikan oleh industri dan pemerintah," jelasnya. Ia mengaku hanya pelaksana yang tidak mau berhubungan dengan Kemendikbud dan menerima pekerjaan tersebut karena ide-idenya bisa diterima serta dilaksanakan dalam JFP.

Ketika Wamendikbud Wiendu Nuryanti serta penggagas dan panitia JFP menggelar jumpas pers, ia tidak hadir dan membuat janji bertemu FI. "Selain itu, jujur aja, gue juga ngincer honor sebagai Ketua Pelaksana buat tambahan modal bikin film baru," tambahnya sambil tertawa.

Dengan alasan yang sama, tiga tahun lampau ia bersedia menerima penghargaan Tokoh Perubahan 2009 pilihan harian Republika bersama antara lain Mahfud MD, Yohanes Surya, Tri Mumpuni, dan lain-lain. "Gue terpaksa datang ke acara penyerahan penghargaan di Hotel Kempinski karena kepingin hadiah uangnya, Rp 20 juta," ceritanya, juga sambil tertawa.

Daya Hidup

Berkarya di luar mainstream jelas bukan pilihan yang mudah. Sedikitnya dibutuhkan keteguhan hati dan daya hidup yang luar biasa, sebagaimana telah dibuktikan Aria.

Ia terbiasa mengais rupiah demi rupiah. Bukan hanya menabung honor dan hadiah yang hanya sesekali menghampiri, tetapi juga, "Jadi cameraman dan editor video dokumentasi, keuntungan dari film sebelumnya, saweran kawan-kawan yang sudah kaya, dan macam-macam lagi, termasuk jaga parkir." Entah serius atau tidak, tapi sejak dulu ia memang dikenal sebagai salah satu "jagoan" kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.

Dengan itu semua Aria membiayai Tits Film Wokshop, kelompok kerja yang dibentuk tahun 2000 untuk mencari ruang-ruang kreatif agar dapat terus berpikir, berkarya, dan bekerja. "Di sini workshop dilakukan sambil langsung bikin produksi," katanya. Selain film-filmnya sendiri, kelompok itu antara lain pernah memproduksi Betina (Lola Amaria, 2006) dan terakhir tiga film pendek Ine Febriyanti (Tuhan pada Jam 10 Malam), Leony VH (Cendol), Rizal Rakhmandar (Salah).

Aria selalu memulai produksi dengan modal seadanya. Honor pemain dan pekerja dibayar sebagian dulu. "Sama Tio [Pakusadewo] gue bilang, ‘Tong, gue bayar 5 juta dulu. Kalau nanti untung gue lunasin 20 juta lagi, tapi kalau rugi lu ikhlasin ya?’ Setelah baca skenario dia langsung oke. Kalau nggak mau ya cari pemain lain," Aria menjelaskan cara kerjanya.

Sewa peralatan bahkan dilakukan dengan berhutang penuh, alias pakai dulu bayar belakangan. Biasanya setelah filmnya selesai diedit (offline), ia mulai bisa mencari sponsor untuk road show penayangan di kampus-kampus. Uang muka dari sponsor itulah yang digunakan membayar sewa peralatan. "Pernah sponsor nggak dapet-dapet, mereka nagih terus. Gue datang menjelaskan kesulitan kita, ‘Kalau Bapak mau penjarain saya, penjarainaja, tapi semua utang lunas ya.’ Dia akhirnya mau menunggu."

Mencari kampus buat menayangkan film-filmnya bukan perkara sulit, karena tampaknya ia telah memiliki penonton setia di tempat-tempat tersebut. Persyaratannya, harga tiket tidak boleh lebih dari Rp 5 ribu. "Pembagian pendapatannya awalnya 50:50, kemudian 80:20 untuk penyelenggara, dan waktu pemutaran Identitas seluruhnya untuk mereka," katanya. Ia tidak mau menayangkan filmnya secara gratis karena menurutnya tidak mendidik penonton.

Di luar itu ia mendapat pemasukan dari sponsor. "Bukan sponsor besar, misalnya perusahaan kopi kasih Rp 10-20 juta per kampus," jelasnya. Ia menolak sponsor yang ingin menaruh mereknya baik di dalam film maupun di poster, nama acara, dan lain-lain. "Kalau cuma pasang spanduk, buka stand, bagi-bagi atau jualan produk di tempat acara, silakan."

Selain Beth, semua film produksinya menghasilkan keuntungan. Artinya, ia bisa melunasi pembayaran ke semua pemain, pekerja, perusahaan penyewaan alat, dan ada sedikit kelebihan untuk modal workshop atau produksi berikutnya.

Ruang Presentasi

Aria rupanya memahami betul dan siap menanggung risiko dari pilihannya. Padahal semula sama sekali tidak pernah terbayangkan kehidupan seperti yang dijalani sekarang. Ia memutuskan masuk ke dunia indie setelah bercerai dengan istrinya (kini anaknya berusia 25 dan 17 tahun) pada 1999.

Sebelumnya Aria hidup nyaman di jalur mainstream, antara lain bekerja di industri periklanan  serta membantu senior atau teman-temannya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) membuat film bioskop dan televisi. Pada 1997-1998 ia bahkan pernah membuat 26 episode sinetron Dewi Selebriiti yang diangkat dari novel laris Teguh Esha, Dewi Besser. Dibintangi Ine Febriyanti dan Nurul Arifin, serial yang ditayangkan Indosiar itu terbilang program sukses dengan rating tinggi.

"Tapi gue percaya, ruang menentukan bentuk," kata Aria. "Barangkali karena setelah bercerai merasa bebas, gue lebih tertarik bekerja secara independen." Apa maknanya? "Buat gue indie itu spirit kebebasan. Kebebasan berpikir, berkarya, bekerja. Indie bukan perlawanan terhadap mainstream."

Menurutnya, mainstream dan indie memiliki khayalak atau pasar sendiri-sendiri. Apalagi di Indonesia yang namanya industri belum benar-benar ada. Beberapa kali, terutama setelah Identitas meraih sembilan unggulan dan memenangi empat Piala Citra FFI 2009, sejumlah produser besar menawari, "Ayo dong, bikin film yang disukai penonton."

Ia heran, "Penonton yang mana? Film yang Bapak produksi juga nggak ditonton semua orang kok." Film yang dianggap laris pun paling hanya ditonton satu juta orang, alias sangat sedikit dibanding jumlah seluruh penonton bioskop apalagi penduduk Indonesia. Seperti film-film mainstream tersebut, ia percaya setiap film, termasuk film-filmnya, mempunyai ruang hidup dan penonton masing-masing.

Film-film indie sulit menjangkau penonton, menurut Aria, karena minimnya ruang presentasi atau penayangan. Baginya yang paling penting saat ini adalah menyediakan sebanyak-banyaknya ruang untuk film-film indie. Idealnya berupa bioskop-bioskop kecil dengan program reguler di setiap kabupaten. Ia sendiri sejak lama mempunyai konsep dan desain bioskop kontainer. "Kita sewa atau beli kontainer bekas dan disulap jadi bioskop. Kalau mau dipindah-pindahkan gampang. Biayanya pembuatannya nggak sampai Rp 40 juta," jelasnya.

"Menurut gue macam-macam workshop film pendek atau indie itu sudah waktunya disetop. Nggak ada worskhop mereka juga terus bikin film kok. Uangnya lebih berguna dipakai untuk membangun ruang-ruang presentasi," Aria menjelaskan sikapnya.

Mulai tahun depan, bersama teman-temannya di Komunitas Pencinta Seni Bulungan (KPSB), selama satu minggu dalam setiap bulan ia berencana menggelar Pekan Apresiasi Film di Auditorium GOR Bulungan yang mempunyai fasilitas 360 kursi dan proyektor digital 10 ribu lumens. Di samping menayangkan film-film dari sutradara besar Indonesia dan dunia, bakal digelar pula berbagai diskusi dan penayangan film-film indie.

Oleh karena itu, ia tak pernah berhenti mendukung penyelenggaraan acara-acara yang bisa memperbanyak ruang bagi film-film indie. Di tempat yang sama, Maret lalu, ia pernah menyelenggarakan Festival Film Pendek se-Jabodetabek. "Modalnya nodong dari Deddy Mizwar, dikasih Rp 7,5 juta," cerita Aria. "Benny Sadikin kemudian ngasih kamera Canon 5D untuk hadiah film terbaik. Padahal gue cuma datang ke keluarga Ali Sadikin buat meminta izin menggunakan namanya sebagai piala untuk film terbaik."

Keberhasilan itu membuat Deddy Mizwar, penggagas JFP, mengajak Aria menjadi Ketua Pelaksana. Karena ide-idenya, terutama menyediakan ruang apreasiasi dan presentasi, disetujui, ia bersedia. "Tapi kalau gue yang punya uang atau jadi penggagas, mendingan uangnya gue pakai buat bikin bioskop indie di kabupaten-kabupaten," tegasnya.

Pertama dan Terakhir

Film pertama yang dibuat Aria secara indie adalah Bingkisan untuk Presiden (1999). Film yang tidak pernah ditayangkan di mana-mana tapi beredar sebagai film bajakan itu dibintangi Unique Priscilla, Alex Komang, dan Bucek Depp. Film ini bercerita mengenai wartawan yang membongkar sindikat narkoba karena istri dan anaknya menjadi korban. Ia kemudian dibunuh, namun video hasil investigasinya telah dikirim ke PO Box 5000 milik presiden.

Di dunia barunya Aria langsung merasakan kenikmatan berkarya secara personal dan bebas. "Spirit indie dimulai dengan segala sesuatu yang personal, baru kemudian berkelompok dalam komunitas-komunitas. Sebagai kreator kita telanjang, bebas-bebas aja. Bikin film ya bikin film aja, nggak usah bikin kotak-kotak," jelasnya.

Pikiran bebasnya itu menyebabkan Aria sesungguhnya tidak pernah membenci industri. Ia juga tidak membenci para pelaku industri. "Yang gue benci perilaku mereka," ucapnya. Perilaku yang, menurutnya, cenderung menggampangkan atau menyederhanakan segala sesuatu dengan alasan "selera penonton", "ini industri", dan lain-lain. Sikapnya itu tidak berubah meskipun pasca keberhasilan Identitas ia bisa dibilang telah menjadi bagian dari industri.

Film yang melambungkan nama Aria sebagai pahlawan indie karena mendapat pengakuan formal dari dunia mainstream sebagai Sutradara Terbaik dan Film Terbaik FFI 2009 tetapi sekaligus juga mulai merusak identitas ke-indie-nya tersebut merupakan produksi yang unik. Disiapkan dan dibuat secara indie, namun diselesaikan dan dipasarkan melalui jalur distribusi mainstream.

Ia memulai produksi film itu dengan modal Rp 5 juta dan menumpang kerja di kantor Densus 88 di kawasan Cilandak. Sembari melakukan persiapan ia berkeliling mencari dana. Salah satunya kepada Deddy Mizwar, tapi ditolak. Setelah berhasil mengumpulkan Rp 150 juta barulah pengambilan gambar dimulai.

"Karena uang hampir habis, gue rayu lagi Deddy dengan cara ngajak dia main satu scene. Sampai di lokasi, barangkali karena kasihan, dia ngasih pinjaman Rp 100 juta. Setelah hampir habis lagi, gue ngutang lagi Rp 100 juta. Waktu mau minta tambahan lagi, dia bilang nggak bisa begini terus dong. Dia menawari membeli hak edar film itu untuk ditayangkan di jaringan 21 dan Blitz," cerita Aria.

Tawaran itu membuatnya kebingungan. Ia berkonsultasi dengan sejumlah orang yang dihormati. Salah satunya, sutradara Labbes Widar, yang sudah dianggap guru spiritualnya, mengatakan, "Bioskop kan cuma ruang presentasi. Yang penting tetap karyanya."

Maka, diliputi perasaan was-was ia menerima tawaran tersebut, dengan syarat tetap boleh melakukan road show penayangan di kampus-kampus seperti biasa. Identitas dibeli Rp 750 juta, sementara biaya yang sudah dihabiskan, termasuk membayar semua utang, hanya Rp 710 juta sampai picture lock. "Jadi masih ada kelebihan Rp 40 juta," katanya.

Setelah itu Aria membuat Kentut seperti umumnya film-film industri diproduksi. "Emang enak, sutradara tinggal datang, duduk. Semua ada yang ngurusin," ia berkilas baik. Tapi ia mengaku lebih capek karena banyak hal harus dikompromikan dengan apa yang selalu disebut sebagai kelaziman industri. Mulai dari urusan musik, poster, sampai banyak hal lain.

"Kentut itu yang pertama dan terakhir," tegas Aria pada akhirnya. Bernarkah ia bakal menepati janjinya?

Waktu yang akan menguji. Tapi film berikutnya, Metamorfosis, bakal diproduksi tahun depan secara independen. Pengambilan gambar kisah mengenai biarawati yang marah dan menggugat Tuhan itu seluruhnya dilakukan di Manado. "Gue cuma bawa 20 crew termasuk pemain. Sekarang lagi ngumpulin modal, sudah dapat akomodasi gratis di asrama polisi, mau minta diskon tiket pesawat Merpati, dan terus nyari pinjaman atau sumbangan lain," ceritanya.

Kalau begitu, selamat datang kembali di dunia lama, Aria. Apakah nanti ia tidak merindukan publisitas, popularitas, pujian, penghargaan, dan hal-hal menyenangkan lain yang bisa dengan mudah didapat di dunia mainstream?

"Semua itu semu," jawabnya tegas.