Tinjauan Ironi Film Seks-Tanpa-Seks

3/10 Nayla Majestya 24-09-2011

Dari awal saya tak punya harapan apapun saat menonton film ini. Judul Mati Muda di Pelukan Janda rasa-rasanya mengemban beban semantik yang aneh. Ia tak salah secara susunan kata (meski subjek hilang, maknanya bisa dipahami lewat susunan katanya), tapi menjadi begitu absurd ketika ia memasuki wilayah konotasi. Frasa ‘mati muda’ dan ‘pelukan janda’ mengandaikan sebuah makna romantik (jika kita hidup di Inggris abad 19) sekaligus erotik (jika kita memahami obsesi masyarakat puritan terhadap seksualitas perempuan).

Perkenankan saya sedikit ber-semiotika-ria. Konotasi memperlihatkan adanya ketidaksinambungan antara penanda dan petanda, ada kesenjangan antara keduanya. Kesenjangan ini adalah ruang besar di mana hingga kini ruang studi linguistik terbuka lebar: makna menjadi begitu tak pasti, tak tetap, tak harus, dan sesuka hati. Meskipun begitu, makna dibentuk oleh operasi-operasi pemaknaan tertentu. Salah satunya, seperti operasi pemaknaan yang terjadi saat saya menonton film Mati Muda di Pelukan Janda ini, adalah ironi. Pada pengertian sederhananya, ibarat kedok, ironi adalah operasi menampilkan makna dari sebuah situasi/pengucapan/teks yang berbeda atau kadang berlawanan dari makna literalnya. Mari kita mulai dari awal bagaimana ironi bisa muncul dari aktivitas menonton sebuah film seringan, se-tak acuh, dan sebebal ini.

Mati Muda di Pelukan Janda dibuka dengan kisah seorang waria (Bunga) yang dikhianati pacarnya dan ingin bunuh diri. Ia mengurungkan niatnya saat melihat Rahmat (3 tahun) yang yatim piatu dan terlantar di jalanan. Bunga lalu mengadopsi Rahmat dan membesarkannya sebagai orangtua tunggal selama 18 tahun. Titik baru kisah ini dimulai saat Rahmat sudah berusia 21 tahun dan baru lulus SMA. Rahmat tak berniat kuliah dan ingin mencari kerja untuk membantu ibunya.

Pada suatu sore, Rahmat pulang dan menemukan Ratih, janda tetangga yang muda dan cantik di salon ibunya. Singkat kata, Rahmat langsung jatuh cinta dan Ratih pun tampaknya merasakan hal yang sama. Rahmat lalu mendapatkan pekerjaan di Satpol PP dan pada satu kesempatan harus menertibkan lokasi berjualan di sekitar rumahnya. Kejadian itu mempertemukan Rahmat dengan Sari, janda pemilik warung nasi nan super seksi, yang langsung jatuh cinta setelah Rahmat menolongnya. Sari pun mulai melancarkan aksi-aksinya (dibantu saingan kerja Rahmat, sesama anggota Satpol PP) untuk memisahkan Rahmat dan Ratih. Ketika video seks-tanpa-seks Rahmat dan Ratih beredar di kampung, Ratih berniat bunuh diri dengan meloncat dari menara listrik. Rahmat mencegah Ratih dengan pura-pura mau ikut lompat sambil mengucapkan frasa yang menjelaskan judul film ini: “Lebih baik aku mati muda di pelukan kamu, dari pada… bla bla bla” Ratih batal lompat karena Rahmat. Sari dan rekan kejahatannya ditangkap polisi dan seluruh warga bersorak gembira ketika Bunga menonjok wajah Sari.

Singkatnya, Mati Muda di Pelukan Janda akan membuat mahasiswa penulisan skenario ataupun penulisan kreatif mana pun menangis. Apalagi jika mahasiswa tersebut sampai harus belajar Poetika-nya Aristoteles atau minimal teori naratif. Meskipun film ini punya plot, cerita, dan segala macamnya, ia tetap gagal menjadi cerita yang utuh. Ibarat gurita yang sedang bermain-main, ia mencemplungkan semua tangan-belalai-nya ke terlalu banyak ember air dan menciprat-cipratkan isinya ke segala arah. Film ini penuh slapstick, gurauan, godaan erotis, serta self-referential murahan (adegan Ratih naik menara listrik mengingatkan kita pada pemberitaan sensasional soal Fitri, gadis cilik yang gemar naik menara listrik) sebagai teknik potong-jalan dari situasi ‘kepepet’ oleh penulis skenario yang malas. Bisa dikatakan bahwa film ini adalah gurauan besar yang menghabiskan entah berapa banyak dana dan sumber daya lain, untuk dibuat.

Acuh Tak Acuh

Lucunya, di akhir film muncul black screen dengan pesan moral yang menjelaskan posisi yang diklaim film ini untuk menghapuskan kesan negatif atas janda. Dalam press screening film ini, produser Shankar juga menjelaskan bahwa lewat penggambaran tokoh Ratih ia ingin memperlihatkan bahwa banyak pula janda-janda baik hati di luar sana. Sebuah pernyataan yang saking absurd-nya, saya bahkan tak mampu menertawakannya.

Saya menyebut karateristik di atas sebagai sikap acuh-tak-acuh: bersikap acuh, tapi sebenarnya tak acuh pada suatu masalah yang untuk diacuhkan pun masih perlu dipertanyakan. Semacam usaha faux-emancipation (emansipasi palsu) yang tidak meyakinkan. Usaha yang dimaknai Shankar sebagai ‘membela para janda’ menandai ada suatu hal yang melakukan opresi terhadap para janda (baiklah, mari kita berpura-pura bahwa secara statistik bisa dirujuk dengan mudah). Shankar mendefinisikan ini sebagai konotasi negatif. Menurutnya lagi, sebagai pria ia selalu tergelitik oleh status janda dan seringkali memberi makna negatif pada status itu. Dari pernyataan Shankar di press screening saja, paling tidak kita tahu pembelaan macam apa yang dimaksud Shankar lewat film ini. Yaitu, pembelaan terhadap para janda atas tuduhan-tuduhan dari orang-orang semacam Shankar.

Situasi di atas sungguhlah absurd, karena ibarat mendengar seorang terpidana penjara (misalnya, pelaku perkosaan) menganjurkan suatu solusi perbaikan sistem hukum agar perkosaan tak lagi terjadi. Bukan soal ia berhak atau tak berhak memberi masukan, tapi bahwa kredibilitas—belum lagi motifnya—untuk melakukan itu jelas perlu dipertanyakan.

Posisi film ini (dan Shankar dkk) beserta situasi absurd di atas adalah apa yang saya maksud sebagai ironi. Sebuah artikel di Guardian berjudul The Final Irony (Zoe Williams, guardian.co.uk, 28 June 2003) menjelaskan dengan baik dan humoris mengenai bagaimana ironi berkembang hingga fase keempat ketika ironi dieksploitasi sedemikian rupa untuk menggaungkan ide akan posmodernisme. Pada fase perkembangan ini, seni (literatur, film, pertunjukan, rupa, musik, dll) telah begitu sadar diri dan mengacu pada diri sendiri. Implikasi dari fenomena ini adalah bahwa seni, ibarat ampas, telah habis digunakan, hingga ia secara teratur mendaur-ulang dirinya dengan mengacu pada dirinya sendiri. Ekses dari implikasi ini adalah apa yang terjadi di media. Zoe Williams memberikan contoh kasus halaman depan majalah FHM di mana objektifikasi perempuan (pada tubuh) dibingkai sebagai ironi. Ironi ini bekerja dalam pemaknaan seolah ia bukan usaha objektifikasi semata meskipun kita tahu objektifikasi itu terjadi di depan mata saat melihat majalah tersebut.

Contoh kasus tersebut mirip dengan apa yang saya pahami dari pengalaman menonton Mati Muda di Pelukan Janda. Meskipun film ini penuh segala tumpah-ruah pretensi erotis, ia tidak menampilkan adegan seks secara gamblang (karena itu saya sebut film seks-tanpa-seks). Klaim film ini (dan Shankar) adalah meskipun film ini mengesankan sebagai ‘film esek-esek’, ia sebenarnya memiliki motif lain, yaitu ‘membela para janda’ dari konotasi negatif. Namun, sebelumnya, mari kita periksa lebih dulu mengapa konotasi negatif yang bersifat seksual ini muncul di masyarakat.

Masyarakat puritan (atau kalau mengacu pada idiom populer di sekitar kita: moralis) memiliki obsesi terhadap keperawanan dan seksualitas perempuan. Hal ini membuat status janda (yang berarti memiliki pengalaman seksual namun tak memiliki pasangan) dipandang sebagai tabu. Ia tabu semata karena ia membahayakan ideologi dominan yang percaya pada perlunya regulasi atas seksualitas dan tubuh perempuan. Karena perempuan tak boleh bebas secara seksual, maka ia hanya boleh satu di antara dua: perawan (belum menikah) atau bersuami (menikah). Di luar itu adalah Yang Liyan, dan kita semua tahu Yang Liyan selalu merupakan wilayah yang mudah memicu praktik diskriminasi, ketidakadilan, hate-crime, hingga genosida. Yang Liyan mengemban makna ‘negatif’ karena ia adalah subjek ‘terhukum’ dalam masyarakat yang terhegemoni.

Kembali ke Mati Muda di Pelukan Janda, status janda sebagai Yang Liyan merupakan klaim yang dikeluarkannya sendiri (lewat pernyataan Shankar maupun lewat karakter Sari dalam film). Lalu ia menawarkan film ini sebagai salah satu usaha yang bisa ia lakukan untuk melakukan pembelaan terhadap para janda di luar sana yang dimaknai secara serupa.

Oke, mari kita periksa satu-persatu keanehan makna di bawah ini. Pertama: Mati Muda di Pelukan Janda (diwakili pernyataan Shankar dan ketiadaan adegan seks) tidak ingin dimaknai sebagai film ‘esek-esek’. Kedua: film ini menggunakan tema ‘esek-esek’ untuk bicara soal yang lain, yaitu semacam advokasi para janda. Ketiga: film ini memberikan label negatif secara seksual pada status janda. Pada dasarnya, hubungan ketiga makna ini mengingatkan saya pada anekdot kejahatan korporat tentang perusahaan obat yang membantu penyebaran sebuah epidemi agar obat buatannya makin laku.

Ironi Macam Apa?

Yang jadi pertanyaan adalah, ironi macam apakah ini? Mari kita bandingkan lewat penjelasan Williams soal kasus majalah FHM. Menurutnya, hanya karena gambaran seksual/sensual/erotis akan perempuan pada halaman depan majalah FHM dimaknai sebagai ironi, tidak berarti bahwa ia bermakna sebaliknya (tidak bermaksud seksual/sensual/erotis). Dalam hal ini, media menggunakan ironi untuk mempertahankan posisi acuh-tak-acuh, atau ketakberpihakan (bukan dalam konteks netral, melainkan apolitis). Bahwa FHM tidak ‘mendukung’ objektifikasi perempuan secara seksual, tetapi bukan berarti mereka memusuhi/melawan praktik tersebut.

Dalam kasus FHM, setidaknya majalah ini tidak melakukan klaim bodoh dan meninggalkan interpretasi pada pembaca untuk menebak-nebak maksud di balik ironi itu. Yang dilakukan film Mati Muda di Pelukan Janda adalah sebaliknya. Belajar tekun dari para politisi kita; strateginya adalah mengalihkan isu. Ungkapan Mati Muda di Pelukan Janda bukannya berhenti pada “film ini bukan film esek-esek, melainkan ….” (titik-titik itu sengaja dikosongkan oleh para pembuat film yang pandai dan percaya pada kemampuan berpikir penontonnya), ia justru berargumen “film ini bukan X, melainkan Y” hanya berbekal fakta bahwa satu garis bagian bawah yang membentuk huruf X agak kabur.

Shankar mungkin pengusaha yang cerdas (jika kita berasumsi film ini berakhir dengan jumlah penonton di atas 300.000 atau semacamnya). Ia tahu seksualitas adalah produk dagang dengan konsumen tetap, bahkan di tengah masyarakat yang makin puritan dari hari ke hari sekalipun. Maka, yang ia butuhkan hanyalah strategi untuk menjualnya: bagaimana mengemas ‘kesan seksual’ tanpa perlu memprovokasi kaum puritan/moralis. Lalu kecerdasan Shankar berhenti di situ dan pemakaian ironi-ironi yang buruk pun dimulai. Dan yang ironis dari ini semua: Mati Muda di Pelukan Janda bahkan bukan sebuah ironi.