Tinjauan Kebun Binatang yang Magis

7/10 Angga Rulianto 28-04-2012

Kebun Binatang (Postcards from the Zoo) merupakan jenis film yang mengajak para penontonnya untuk bertamasya visual sekaligus memaksa secara halus untuk bertamasya ke lautan makna. Soal tamasya visual dan makna ini memang menjadi ciri-ciri khas dalam film-film pendek maupun panjangnya Edwin. Di film panjang keduanya ini, Edwin memberi umpan yang tak begitu sulit untuk dilahap penonton demi membaca bahasa dan kode-kode visualnya. Terlebih lagi karena alurnya yang linier dan progresi plot film yang tampak berusaha keras supaya lebih terstruktur apabila dibandingkan dengan film panjang pertama Edwin: Babi Buta yang Ingin Terbang (2008).

Lana kecil (Klarysa Aurelia Raditya) terbangun di dalam komplek luas Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, seorang diri. Bapaknya meninggalkan Lana tanpa kejelasan alasan. “Bapaaak....Bapaaak!” teriak Lana di tengah hutan Kebun Binatang. Tak ada yang menyahut, kecuali suara binatang-binatang yang terdengar sayup-sayup mengiringi pencarian Lana. Alih-alih menangis, Lana tampak tetap jadi bocah yang ceria dan lugu, bahkan sampai ia besar. Begitulah. Lana lalu tumbuh dewasa (diperankan oleh Ladya Cheryl) di dalam Kebun Binatang saja, dan bekerja mengurusi hewan-hewan di sana.

Namun, datanglah titah larangan dari otoritas pengelola bahwa semua penghuni ilegal di Kebun Binatang Ragunan harus segera angkat kaki. Di saat pengumuman itu disampaikan, Lana melihat pria berpakaian koboi (Nicholas Saputra) sambil bermain sulap duduk tak jauh darinya. Sejak itu, Lana terpikat kepada si pesulap anonim yang pendiam (sepanjang film ia disebut Koboi). Tanpa banyak dialog, Lana mengikuti Koboi, bahkan sampai keluar dari Kebun Binatang dan tinggal bersamanya.

Dimulailah petualangan Lana di dunia manusia. Ia lalu menjadi asisten Koboi dengan mengenakan pakaian ala gadis Indian, baik dalam beratraksi sulap maupun jualan obat awet muda di pasar tradisional. Kemampuan sulap si Koboi membuat keduanya terdampar di Planet Spa. Tapi tanpa ada angin atau hujan Koboi menghilang dan meninggalkan Lana tanpa pesan apalagi alasan. Dan, demi bertahan hidup di dunia manusia, Lana alih profesi menjadi karyawan di Planet Spa. Ia bertugas melayani hasrat para pria yang ingin dipijat dan jasa 'plus' lainnya, bahkan ada yang memintanya mengenakan kostum seekor Leopard.

Dibandingkan dengan Babi Buta yang Ingin Terbang, cara tutur Kebun Binatang memang lebih bersahabat untuk diikuti, walaupun ditilik dari struktur cerita, film ini sebenarnya berantakan. Perhatikan, semua tokohnya tak mempunyai latar belakang dan motif, konflik yang mendorong laju cerita tak kuat, hubungan sebab-akibatnya tak padu, perkembangan karakter absen di film ini, bahkan tipologi dua karakter utamanya pun masih kabur. Yang terasa adalah dialog-dialog para tokohnya bukan bentukan dari karakter, tapi dari pikiran Edwin semata.

Namun menyimak film-film Edwin sebelumnya, kelemahan-kelemahan tersebut justru menjadi ciri yang khas. Edwin memang seniman visual yang saklek. Ia meyakini kekuatan bahasa gambar dan mampu mengkonstruksinya sedemikian rupa supaya dapat mengantarkan imaji, konsep dan perasaan sesuai yang diharapkannya. Karena itu, tak heran Edwin memakaikan kostum koboi kepada si pesulap, sehingga mau tidak mau impresi 'asing' pun keluar dari sosoknya, terlebih di Kebun Binatang Ragunan, di Indonesia ini.

Sebagai liyan atau the other, si koboi yang jago bermain sulap ini justru berhasil memikat Lana yang merindukan dan mencari sosok Bapak sejak lama. Seperti yang diucapkan oleh Dave (Dave Lumenta), sahabat Lana di kebun binatang, "Kalau yang hilang, dia perlu dicari untuk kembali. Tapi kalau yang pergi, dia akan datang dengan sendirinya." Pada titik ini, si Koboi adalah semacam substitusi dari Bapak Lana dan manifestasi dari 'yang hilang' dan 'yang pergi' sekaligus, sehingga Lana mengikuti si Koboi ke luar kebun binatang dan patuh saja disuruh ini-itu.

Rasa kesepian dan kerinduan Lana lah yang membuatnya mau menjadi asisten Koboi dengan mengenakan kostum tradisional gadis Indian. Ia juga ingin setara dengan Koboi dan sama-sama menjadi 'asing' di belantara manusia maupun hewan. Padahal jika melihat relasi antara koboi dengan Indian dari perspektif sejarah, ini malah menggambarkan bahwa Lana berada di posisi subordinat sebagai pihak yang ditaklukkan. Rasa kesepian dan kerinduan ini juga mengental lagi ketika cerita bergulir di Planet Spa saat Lana ditinggal pergi oleh Koboi. Dari kedua tempat tersebut, baik para hewan, para tamu Planet Spa, maupun karyawan Planet Spa yang diwakili oleh Lana, semuanya sedang mengalami rasa kesepian itu.

Pada bagian ini pula, diselingi shot-shot perilaku berbagai hewan di Kebun Binatang Ragunan, Edwin tampak sedang berupaya melakukan penjajaran atau juxtaposition antara kebun bintang dengan Planet Spa. Tujuannya jelas, yakni memperlihatkan dunia manusia di Planet Spa tak jauh berbeda dengan di Kebun Binatang: para pengunjung di kedua tempat itu sama-sama ingin menyalurkan hasrat untuk menindas pihak yang subordinat dengan cara menonton, tapi di saat yang bersamaan para pengunjung itu sendiri sebetulnya juga menjadi tontonan.

Edwin memperkuat aktivitas menonton-ditonton ini melalui shot-shot jarak jauh yang memperlihatkan Lana berada di tengah suasana kebun binatang yang ramai. Dengan posisi shot-shot ini Lana menjadikan dirinya sebagai pengunjung kebun binatang seperti pada umumnya. Yang menarik, posisi Lana di sini menghadap kamera, begitu pula matanya. Dan lewat tatapan dari jarak jauh itu, ia seperti berbicara kepada kita sebagai penonton tanpa sepenuhnya kita sadari, serta menyatakan bahwa siapapun bisa menjadi penonton sekaligus yang ditonton dalam kebun binatang.

Bukan cuma itu. Walaupun sejak awal film Edwin menaruh beberapa intertitle tentang istilah-istilah zoologi untuk memuluskan progresi plot, tapi mulai di pertengahan film intertitle tersebut akhirnya juga melancarkan upaya juxtaposition. Semakin kentaralah Kebun Binatang juga sedang menekankan rasa keterasingan dan kesendirian akibat dislokasi yang kemudian dipertentangkan dengan keramaian suasana aktivitas di kebun binatang. Adanyaupaya juxtaposition tersebut juga menguatkan kesan acak dalam film ini. Bahkan realitas di film ini seperti kumpulan fragmen, persis seperti bangunan mimpi yang penuh fragmen dan beralur tidak pernah linier serta tidak punya korelasi sebab-akibat yang jelas.

Didukung oleh kreasi visual dari penata kamera Sidi Saleh, fragmen-fragmen realitas yang disajikan dalam Kebun Binatang jadi terasa magis. Seluk-beluk hutan buatan di Kebun Binatang Ragunan yang muram di balik keriuhan suasana ramai pengunjung ini sekilas mengingatkan pada gambaran hutan yang ditampilkan secara mistis oleh sutradara Apichatpong Weerasethakul dalam Tropical Malady (2004) dan Uncle Boonme Who Can Recall His Past Lives (2011). Di Kebun Binatang, Edwin berhasil menyuguhkan gambaran tentang dunia magis yang menempel erat dengan dunia nyata. Caranya dengan menampilkan pesulap berpakaian koboi yang entah datang dari mana, Lana yang berteman erat dengan Jera (jerapah satu-satunya di kebun binatang), atau cerita berbau mistis tentang kuda nil yang suka keluar dari kandang di kala malam untuk berjalan-jalan dan kembali lagi masuk kandang dengan sendirinya.

Kisah Lana yang hidup sejak kecil di kebun binatang akibat sengaja ditinggal bapaknya dan merasa asing terhadap dunia manusia di luar kebun binatang itu sendiri mirip dengan dongeng. Sejak awal cerita bergulir ciri itu terlihat. Dongeng dipertegas melalui adegan terakhir yang indah dengan menghadirkan dua makhluk paling kesepian di kebun binatang: Lana dengan balutan gaun bak seorang putri yang kemudian didekati perlahan oleh Jera demi menuntaskan impian Lana. Semua ini membentuk dunia realisme-magis dalam Kebun Binatang.

Tulisan ini versi panjang dari yang dimuat di Pikiran Rakyat,25 Maret 2012, hal.18