Tinjauan
Oleh kritik perfilman Indonesia, peta perkembangan perfilman Indonesia umumnya disederhanakan menjadi dua bagian saja, yakni masa awal perkembangan dimana film-film Indonesia dikategorikan sebagai dalam masa perjuangan, dan masa sesudahnya dimana film lebih diperlakukan sebagai barang dagangan.
Film terkait: 6,9 Detik
Ramainya perhatian orang terhadap Bumi Manusia bahkan sejak penentuan siapa sutradaranya ketika novel karya Pramoedya Ananta Toer itu hendak dibikin film, terus terang lumayan menarik perhatian saya. Ketika film beredar, saya menonton pada hari kedua film tersebut diputar di bioskop di Bogor. Dari situ saya terdorong untuk membikin catatan ini.Catatan yang saya buat mencoba menyorot dua aspek. Pertama, aspek alih medium, dari buku ke film. Kedua, bagaimana konsekuensi dari pengalihan medium, dalam hal ini dari buku ke film, terutama pada segi estetik. Film, selain sebagai produk industri dan barang dagangan, adalah juga produk estetik. Pada konsekuensi pengalihan medium saya sedapat-dapatnya membatasi pada hal terakhir itu saja.
Film terkait: Bumi Manusia
Film ini tidak sepenuhnya gagal menceritakan kisah manusia-manusia gagal, tapi ada diskrepansi yang signifikan di antara temanya yang personal dan bahasanya yang komersil-yang sering memaksakan yang personal menjadi politikal, dan yang politikal menjadi personal.
Film terkait: A Copy of My Mind
Selama hampir keseluruhan 80 menit film ini, penonton hanya disuguhi sosok Nay ngobrol di telepon di dalam mobil dengan berbagai karakter lain yang tidak pernah kelihatan sosoknya. Di akhir film, kita jadi mengerti banyak tentang dilema-dilema kehidupan yang dihadapi Nay sekarang.
Film terkait: Nay
Filosofi Kopi bukan film yang penuh filosofi. Cerita-cerita tentang obsesi, persahabatan, penemuan jati diri, serta rekonsiliasi hubungan anak dan orang tua juga tidak menawarkan hal yang baru. Maka, jika diibaratkan kopi, ia bukan kopi tubruk, apalagi kopi tubruk yang dibuat dari biji Kopi Tiwus. Film ini adalah secangkir cappuccino: ringan, tetapi nikmat diminum.
Film terkait: Filosofi Kopi the Movie
Menuturkan secara lengkap kehidupan seorang tokoh pahlawan tentu sebuah usaha yang mulia, apalagi untuk mendidik generasi sekarang yang sering abai terhadap sejarah. Namun, Tjokro membuktikan bahwa durasi 2,5 jam saja tidak cukup.
Film terkait: Guru Bangsa Tjokroaminoto
Sebagai sutradara, Lukman juga berani mengambil sikap: bahwa reformasi gagal dan kita harus melanjutkan kehidupan dengan realistis. Realistis bukan berarti tidak peduli sama sekali dengan cita-cita reformasi. Melalui Diana, ia menyampaikan bahwa reformasi masih bisa dihidupi dengan melakukan hal-hal kecil yang membawa perbaikan.
Film terkait: Di Balik 98
Tak perlu nama besar untuk bisa menyumbangkan khazanah bagi pengetahuan kita tentang masa lalu bangsa ini yang belum lengkap. Masih ada Likas-Likas lain di luar sana, masing-masing dengan kisah-kisah kecilnya tentang sejarah—entah sebagai antek rezim, entah sebagai korban dari rezim—yang menunggu agar nafasnya terhembus di permukaan.
Film terkait: 3 Nafas Likas
Melalui budaya kuliner, film ini sangat terasa hendak menyampaikan nilai-nilai baik kehidupan. Dalam banyak hal nilai-nilai itu bahkan ditunjukkan melalui sikap yang tegas terhadap sejumlah persoalan sosial dan politik. Mulai dari yang praktis seperti peduli pada nasib orang kurang beruntung, sampai perlakuan nondiskriminatif terhadap saudara kita dari Papua atau Indonesia Timur pada umumnya.
Film terkait: Tabula Rasa
Selamat Pagi Malam adalah serangan cepat dua arah. Serangan satu ditujukan pada mereka para tulalit budaya sehingga dengan tulusnya menyambut tipu-tipu kiwari lewat berbagai produk terkini. Serangan dua ditujukan untuk orang-orang yang gemar menghakimi kaum munafik yang menghina para tulalit budaya tanpa sadar bahwa ia sendiri melakukan apa yang dicelanya.
Film terkait: Selamat Pagi, Malam