Tinjauan Kekerasan dalam Bingkai Keterampilan

6/10 Makbul Mubarak 06-04-2014

Menonton The Raid: Redemption dan The Raid 2: Berandal mengingatkan saya pada cerita lama tentang seorang polisi Jerman yang menyambangi Picasso di kediamannya. Heran melihat “kekacauan” dalam lukisan Picasso, sang polisi bertanya, “Apakah kau yang melakukan ini?” Picasso menjawab tenang, “Bukan. Kau yang melakukan ini.” Cerita lama ini terbayang-bayang tiga tahun yang lalu ketika di sebuah bioskop sewaktu saya ditohok-tohok dan ditonjok-tonjok oleh setiap jotos-tendang dalam Redemption. Terasa dekat sekali masalah-masalah yang ditampilkan: kelompok ilegal, rumah susun sebagai metafora hirarki, dan perjuangan polisi awam yang saking butanya terhadap sistem, harus menghadapi segala sesuatunya dengan otot.

Lama saya berpikir. Apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh sutradara Gareth Evans? Apakah ia tengah memeragakan yang disebut Margaret Bruder sebagai “aestheticized violence”? Mungkin saja iya. Bergeser dari fokusnya pada silat dalam film Merantau, pada Redemption Evans membawa kita pada labirin berdarah-darah untuk menyelesaikan masalah sistem yang juga sudah mendarah-daging di republik ini, dan sang tokoh utama, tak lain tak bukan adalah orang yang terperangkap dalam masalah sistem tersebut. Meminjam kembali analogi cerita Picasso, Redemption penting bukanlah karena Evans (atau siapapun, tak peduli  muasalnya) yang melakukannya, melainkan karena saya bisa mengidentifikasi diri saya dalam film itu sebagai warga. Masalah yang sedang diatasi oleh Rama adalah masalah warga.

Identifikasi ini tak ada hubungannya dengan keasyikan menonton kekerasan, atau perkara kekerasan yang di-seni-kan seperti kata Bruder. Ternyata jawabannya lebih daripada itu. Dalam Redemption, kekerasan adalah satu-satunya cara untuk bernegosiasi dengan rezim. Maka saya lebih suka melihat koreografi aksi dalam Redemption sebagai sebuah penggambaran ketidakmungkinan untuk bernegosiasi menggunakan lidah dengan para rezim. Jotos-jotosan dalam Redemption menjadi penting bagi saya bukan sebab teknisnya yang menakjubkan, melainkan karena moda potretnya atas kekerasan sebagai satu-satunya medium negosiasi yang mungkin antara pelaku sistem yang lemah dan orang-orang yang menguasai sistem tersebut (ingat CCTV di ruangan Tama Riyadi, sebuah piranti kontrol atas hirarki yang dibangunnya) . Rama mungkin adalah bagian dari polisi, aparatur negara yang bersifat represif, tapi kekerasan dalam mise-en-scene bukanlah kemauannya. Maka kekerasan dalam Redemption sama seperti sulap. Dua hal ajaib yang berharap bisa dilakukan seorang warga untuk mengubah situasi sistemiknya.

Atas kenangan manis bersama Redemption, berbinar-binar saya datang ke bioskop untuk menyaksikan Berandal. Ceritanya Rama (Iko Uwais) harus bekerja sama sekali lagi dengan atasannya. Alasannya kuat, nama Rama sudah mulai terendus oleh kutub-kutub kekuatan mafia di Jakarta. Bila tak bekerja sama, diri dan keluarganya bisa saja menjadi korban. Menggunakan skenario atasannya, Rama dijebloskan ke penjara untuk mendekati Uco (Arifin Putra) yang kemudian akan mendekatkannya dengan seorang menteri korup bernama Bangun (Tio Pakusadewo).  Di sisi lain, terlibat pula seorang mafia bernama Bejo (Alex Abbad) yang disinyalir telah membunuh Andi (Dony Alamsyah), kakak Rama.

Yang pertama kali terasa dari Berandal adalah motifnya. Bila Redemption berfokus pada sistem sebagai dasar motif, maka Berandal bergeser pada pribadi (agen) sebagai fondasi motif. Dalam sebuah adegan, kita lihat Rama dengan nafsu menjotos sebuah gambar di dinding penjara. Dihajarnya gambar itu sampai beberapa potongan semen jatuh mengelupas. Ada kegemaran dalam dirinya tentang kekerasan sehingga dua motif (melindungi anak-istri dan membalaskan dendam kakak) yang juga bersifat pribadi menjadi kalah kuat dibanding yang ini.

Dari perkara motif yang bergeser ke ruang personal ini, adegan baku hantam dalam Berandal menjadi tidak membumi. Ambil dua adegan berkelahi yang pertama: Rama yang show off di penjara melawan para tahanan dan adegan berkelahi berkubang lumpur melawan para opsir. Adegan pertama didahului oleh Rama, seolah mengumpulkan kesadaran untuk memroses hasrat dan ketagihan terpendamnya atas perkelahian, duduk menatap pintu yang digedor-gedor lawannya. Tak ada yang sistemik dari adegan ini. Semuanya hanya untuk menunjukkan pada tahanan penjara yang lain bahwa Rama adalah seorang jawara, untuk memamerkan pada penonton bahwa Rama memang adalah seorang jagoan. Tak kurang tak lebih.

Adegan kedua berimbas lebih besar, dalam adegan ini kita dihadapkan pada peragaan kerja kamera yang menawan. Kamera ikut jatuh-bangun seiring orang-orang bangkit dan rubuh. Beberapa kali angle diambil dari atas (bird eye) untuk menunjukkan kemegahan adegan tersebut. Long take beberapa kali diambil untuk menunjukkan kedisiplinan koreografi film. Tapi apa alasannya? Ternyata pemantik semuanya hanya karena seorang tahanan mendekati Rama dengan ancang-ancang ingin memukulnya,  sekedar konflik lanjutan dari perkelahian pertama. Bila adegan pertama adalah adegan pamer pribadi bagi Rama, maka adegan kedua adalah ajang pamer kolektif bagi segenap pembuat film Berandal, bahwa secara teknis mereka sudah mampu membuat adegan sedemikian megah. Inilah pintu gerbang pertama bagi penonton untuk melihat imbas aliran modal besar-besaran pada projek Berandal setelah Redemption mendunia.

Keterampilan dan Modal Global

Belum lama ini, beredar klaim dari seorang produser film bahwa Berandal memamerkan citra yang “buruk” bagi Indonesia sebab film ini secara gamblang mempertontonkan kekerasan yang berlebihan yang sebenarnya tak sesuai dengan republik ini. Bagi saya, ini pernyataan yang dilontarkan tanpa berpikir. Sebelum membahas perkara kekerasan, perlu kita ketahui bahwa secara naratif, Berandal tidaklah sepenuhnya mewakili Indonesia sebagai sebuah entitas sosial. Dari awal film Berandal saja, kita bisa ketahui bahwa Rama tidaklah mewakili, tidak juga menjadi metafor bagi apapun yang ada di Indonesia sebagai sistem. Berandal adalah pertunjukan dan pelampiasan pribadi Rama sebagai seorang individu yang hasrat bawah sadarnya terlalu kuat untuk ia taklukkan. Memang hampir semua pelaku dalam film ini adalah orang Indonesia, tapi ini ada oleh sebab aliran modal global yang terlalu dalam merasuki gaya film ini. Kalau kita mengumpamakan Redemption sebagai sebuah film yang sadar pikir, maka Berandal persis seperti film yang mabuk.

Berandal dibuat mabuk oleh modal global yang masuk terlalu jauh ke dalam gayanya. Tak sekali dua kita dibuat gemas oleh gaya Arifin Putra yang terlalu menyerupai aktor film Korea Selatan Lee Byung-hun dalam beberapa filmnya. Belum lagi ballroom megah tempat Uco dan Bejo bertemu yang tidak bisa tidak mengingatkan pada tempat serupa dalam film gangster Korea A Bittersweet Life. Jangan lupakan penggunaan musik klasik dalam Berandal yang sudah ramai sekali dipakai pada adegan-adegan dalam film gangster dan thriller Jepang dan Korea. Lebih dari itu, gimmicks yang digunakan oleh para karakter pun lebih menyerupai sebuah film adaptasi komik ketimbang sebagai film aksi yang sadar ruang. Perhatikan karakter Hammer Girl (Julie Estelle) dan Baseball Bat Man (Very Tri Yulisman) yang datang entah dari mana, tiba-tiba menekuk (maaf, maksud saya, melubangi kepala) orang-orang yang ada di sekitar dengan senjata mereka yang juga tidak jelas apa maknanya. Segalanya serba gaya-gayaan.

Harus disadari bahwa tidak seperti Redemption, Berandal dibuat untuk penonton mancanegara. Para penonton Euro-Amerika senang sekali mendapat tontonan segarang ini apalagi dari luar negeri, sama seperti senangnya mereka ketika menemukan sineas macam Miike Takashi. Segala kekerasan dibuat berlebihan dan berbunga-bunga sehingga tidak mengungkapkan apa-apa kecuali kekerasan itu sendiri. Atas dasar ini, Jakarta dalam film juga dibuat mabuk. Ada salju turun berlatarkan gerobak mie ayam ketika Prakoso (Yayan Ruhian) tewas. Ada kereta berkecepatan tinggi seperti yang ditumpangi Hammer Girl ketika melibas musuh-musuhnya. Ada senjata bebas berkeliaran di tengah hari di Jalan Antasari. Aliran modal besar yang mendasari pembuatan Berandal juga berpengaruh pada gaya mereka yang semakin megah namun menjauh dari bumi menuju awang-awang.

Menonton Berandal seketika mengingatkan saya pada tulisan mendiang Paul Willemen, bahwa ada gaya film yang dibuat hanya untuk memamerkan bahwa pembuat film mampu melakukannya. Film semacam Transformers menjadi contoh yang disorot oleh Willemen. Dalam film itu, kecanggihan komputer asuhan sutradara Michael Bay sungguh mengagumkan. Tapi setelah dipikir, apa maknanya? Segala sesuatu dalam film itu dibuat hanya untuk mengatakan bahwa mereka mampu membuatnya. Sebuah kepongahan borjuis. Lain halnya dengan film seperti A Clockwork Orange, film yang segala kekerasan di dalamnya adalah hasil pembalikan sudut pandang yang menakutkan tentang kondisi masyarakat Inggris kiwari pada masanya. Alex DeLarge sang protagonis adalah penganut paham ultra-kekerasan yang memperkosa perempuan, rasis, namun pada saat yang bersamaan menggemari Beethoven dan sering bersenandung lagu dari film Singin’ in the Rain. Bangunan kekerasan dalam film ini menasbihkan Alex DeLarge sebagai figur “monster berbudaya” yang menjadi patron-patron negara totaliter. Kekerasan dalam film ini adalah estetika sebab ia sedang bicara tentang dinamika ruang dan kehidupan yang melatarbelakanginya.

Berandal rasa-rasanya lebih dekat pada contoh yang pertama. Ada semacam pernyataan bahwa beginilah film aksi bermodal besar dibuat. Imbasnya jatuh pada koreografi berteknis mencengangkan itu. Hebat, bukan main, amboi, keren. Tapi setelah dipikir-pikir, apa maknanya selain pamer bahwa mereka mampu merancang teknisnya?

Lewat kesadaran semacam ini, adalah merupakan tindakan dungu kalau seseorang mencoba bercermin pada Berandal sebagaimana mereka bercermin pada Redemption. Berandal dibuat tidak untuk menjawab apapun di Indonesia, tidak pula untuk merepresentasikan apapun di Indonesia. Segala yang ada dalam Berandal adalah tarian modal global, the dance of the global capital, yang digabung dengan terampilnya orang-orang yang menukangi film ini. Redemption memungkinkan kita berkaca tentang kehidupan kini dan di sini, ia pantas disebut sebagai film dalam bingkai estetika. Lain halnya dengan Berandal yang tidak memungkinkan proses berkaca itu. Alasannya sederhana, film ini baru sampai pada level keterampilan teknis semata.