Tinjauan Konfrontasi Jilid Dua?

5/10 Windu W Jusuf 13-08-2012

Tanah Surga...Katanya (selanjutnya Tanah Surga) mengambil latar di sebuah kampung yang tepat bersebelahan dengan Malaysia. Penuturan tentang kehidupan penduduk di sana agaknya mau mengkonfirmasi segala stereotip tentang masyarakat daerah perbatasan, lengkap dengan gedung sekolah yang reyot, representasi keterbelakangan, serta kurangnya apresiasi terhadap simbol-simbol negara (bendera dan lagu nasional).

Alkisah, Haris (Ence Bagus), seorang duda beranak dua, mengajak keluarganya untuk pindah ke negeri seberang demi penghidupan yang lebih layak. Sikapnya ini ditentang oleh sang ayah, Hasyim (Fuad Idris), seorang veteran konfrontasi Malaysia di tahun 1960-an. Bagi Hasyim yang sudah sepuh dan sakit-sakitan, lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri jiran. Tapi apa lacur, Haris tetap berangkat memboyong putrinya, Salina (Tissa Biani Azzahra), sementara putranya, Salman (Osa Aji Santoso) tetap tinggal bersama sang kakek.

Tanah Surga menyentuh tombol panas isu perbatasan Indonesia-Malaysia. Pesannya: negara tidak saja gagal menjamin kebutuhan dasar masyarakat, tapi juga lalai membangun identitas kolektif bernama bangsa di daerah perbatasan. Dalam Tanah Surga, bahkan merah-putih dan rupiah dikisahkan asing; penduduk lebih suka melakukan transaksi dengan ringgit. Nasionalisme, sebagaimana yang dilambangkan dalam karakter Hasyim, adalah barang rongsokan belaka, yang tidak bisa dipakai untuk membiayai sekolah dan menebus obat-obatan.

Sampai di situ Tanah Surga masih kritis. Yang diangkatnya bukan persoalan musiman seperti klaim Malaysia atas Reog Ponorogo atau sengketa pulau-pulau gurem, melainkan problem mendasar seperti ekonomi. Ada argumen yang lebih substansial—meskipun hanya di permukaan—mengapa orang memilih tinggal dan bekerja di Malaysia. Sayangnya, alih-alih bertujuan untuk kritik diri, potret-potret getir tentang ketimpangan pusat-daerah dalam Tanah Surga justru terjebak mengkambinghitamkan sang tetangga, yang digambarkan sebagai perongrong hubungan (ke)keluarga(an) dan  ingin memulai konfrontasi jilid dua.

Loyalitas

Mari kita lihat dua karakter anak laki-laki dan bapak dalam film ini, Haris dan Hasyim. Selain konfrontasi tahun 1960-an, ikatan primordial kedua laki-laki ini dengan tanah kelahiran mereka dijelaskan dengan absennya sosok perempuan: istri yang meninggal (dalam kasus Hasyim) dan bercerai (Haris). Khususnya pada diri Hasyim, ada paralel yang terbangun antara loyalitas kepada negara dan kepada  almarhum istri yang makamnya ia kunjungi secara rutin. Tidak heran ketika Haris mengaku telah menikahi seorang perempuan Malaysia (“supaya urusan-urusan di sana lebih mudah”, ujar Haris), Hasyim pun buang muka. Lebih sial lagi, si perempuan Malaysia digambarkan buruk rupa namun kaya. Bagi sang bapak, jika dulu Malaysia mengancam dengan senjata dan tentara impor (tentara Gurkha), kini ancaman itu dibayangkan hadir dalam bentuk godaan uang dan perempuan lain, sehingga menikahi “gadis negeri seberang” sama saja dengan mencampakkan “ibu pertiwi”--atau dalam jargon-jargon populer nasionalis: “menjual bangsa.”

Hal ini diperkuat dengan kehadiran dua macam kelompok karakter lainnya, yakni anak-anak serta guru dan dokter yang dikirim dari luar. Anak-anak dalam Tanah Surga digambarkan sebagai generasi yang hilang, yang tidak bisa menggambar bendera merah-putih dan mengira bahwa lagu Koes Plus “kolam susu” adalah lagu kebangsaan. Senasib dengan seisi penghuni kampung, mereka menjadi alasan kehadiran karakter guru muda bernama Astuti (Astri Nurdin) dan dokter Dr. Anwar (Ringgo Agus Rachman) dari Jawa. Singkatnya, seturut dengan wacana nasionalisme yang tersusun lewat ingatan traumatik Hasyim tentang konfrontasi, Astuti dan Anwar adalah perwakilan generasi muda yang bakal meneruskan perjuangan sukarelawan 1960-an. Tensi-tensi erotis di antara mereka memperkuat proyeksi nasionalis yang dibungkus narasi keluarga: bermodal pengetahuan dan akses ke kota, mereka diharapkan menjadi “bapak dan ibu baru” yang akan mengayomi “anak-anak bangsa yang terlantar”.

Gambaran tersebut semakin dipertegas dalam sekuens penutup, ketika Astuti, Anwar dan Salman mengantar Hasyim berlayar ke rumah sakit kota. Di tengah jalan, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Hasyim berpesan kepada Salman agar tidak melupakan negerinya. Bagian ini dikontraskan dengan apa yang tengah terjadi di tanah seberang: Haris hanyut dalam gegap-gempita perayaan  kemenangan tim sepak bola Malaysia atas Indonesia. Sekuens penutup ini seolah mau bertutur bahwa Hasyim memang didurhakai oleh anak biologisnya sendiri, tapi di akhir hayatnya ia malah mendapat anak-anak ideologis yang setia.

Sampai di sini orang bisa bertanya lebih jauh: jangan-jangan semangat “memotret nasionalisme di tapal batas” beberapa tahun belakangan ini tidak lebih dari sekadar proyeksi (dan ekspektasi) kasar bahwa konon ada satu-dua orang yang ngotot untuk tetap mengurus KTP Indonesia, tak peduli betapapun kere dan terlantar mereka. Akhirnya, pesan yang ingin disampaikan Tanah Surga adalah bahwa menjadi Indonesia di daerah perbatasan sama dengan bebas dan mandiri dari Malaysia, baik dari segi politik, ekonomi, dan kebudayan—“asal bukan Malaysia”, sebagaimana orang  di tahun 1950-an dulu berseloroh  “asal bukan Belanda”. Khususnya lewat penyejajaran “bangsa” dan “keluarga”, si negeri jiran mendapatkan makna harfiahnya sebagai tetangga, yang bisa baik dan bisa jahat, tapi tetap asing dan “bukan kita”.