Tinjauan "Langitku Rumahku" dan Festival Tiga Benua

6/10 JB Kristanto 01-09-2004

Langitku Rumahku mendapat penghargaan di Festival Tiga Benua di Nantes, Prancis. Festival ini dikhususkan untuk negeri-negeri di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin—benua-benua yang dalam percaturan film dunia, sebagaimana dalam bidang-bidang kegiatan lain, terabaikan. Padahal kita tahu bahwa film mendapatkan cara pengucapan khas akibat pergaulannya dengan masalah dan budaya setempat, sehingga kita melihat idiom khas Jepang, India, dll. Hal ini dengan sendirinya memperkaya khazanah dunia perfilman itu sendiri. Tampaknya lagi, penyelenggara festival ini bermaksud pula menyeimbangkan ketimpangan umum yang terjadi di dunia ini.

Bisa pula diduga bahwa penyelenggara tidak berniat mempersempit gerak, tapi mendasarkan diri pada pikiran bahwa tidak ada nilai mutlak dalam kesenian. Tidak ada satu ukuran standar. Malah yang tampak adalah penyelenggara justru ingin mengembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam perfilman secara lebih menyeluruh, bukan hanya dari sisi negara yang dominan saja.

Berdasarkan pikiran semacam ini tentu tidak tepat untuk mengkelas-kelaskan festival, sebagaimana turnamen tenis, umpamanya, sehingga ada yang disebut turnamen kelas sattelite, challenger, dan grand slam. Kelas-kelas turnamen tenis ini hampir eksak sifatnya, karena peringkat pemain dihitung berdasarkan jumlah kalah-menangnya dan besarnya hadiah uang yang diberikan. Dalam festival film, mungkin yang bisa dibedakan hanyalah dasar pemikiran dan cara penyelenggaraannya.

Karena itu, setiap festival, kalau dasar pemikiran dan penyelenggaraannya baik, memiliki niat dan keunikan sendiri-sendiri yang sukar dibanding-bandingkan. Apalagi setiap festival itu memiliki persyaratan peserta yang berbeda-beda sehingga film-film yang berhak menjadi peserta juga berbeda-beda. Akibatnya, semakin sulit saja mengkelas-kelaskan festival.

Khusus

Di Festival Tiga Benua, Langitku Rumahku memperoleh Jaques Demy Award, sebuah penghargaan yang menurut penjelasan penyelenggara festival mengandung dua arti: penghargaan karena pendekatan yang digunakan sutradara dekat sekali dengan pendekatan yang dipakai oleh Jacques Demy, yaitu humanistis, dan penghargaan untuk sutradara yang memberikan harapan. Jadi jelas bahwa Langitku Rumahku mendapat penghargaan khusus, bukan hadiah utama yang di Prancis lazim disebut grand prix.

Kita tentu pantas bersyukur atas penghargaan yang diterima film ini, tanpa harus dengan serta-merta membanding-bandingkannya dengan FFI, yang dasar pemikiran dan penyelenggaraannya berbeda. Penghargaan itu mengisyaratkan bahwa penilaian atas film itu sesuai dengan kelebihan yang menjadi miliknya.

Kelebihan Langitku Rumahku yang sangat menonjol adalah keberhasilannya menyajikan dua dunia yang sangat berbeda, dua kelas masyarakat yang sangat kontras, tanpa mempertentangkannya. Tidak ada dendam, tidak ada amarah, tidak ada sinisme. Malah film ini seolah mengajak penonton memahami masalah masing-masing dunia itu.

Ini merupakan pencapaian tersendiri, apalagi bila ditempatkan dalam situasi sosial-politik sekarang, di mana kesenjangan sosial masih menyimpan daya ledak tinggi. Tema kesenjangan sosial yang nyaris sama ini bisa kita lihat secara bergurau disajikan oleh Teater Koma lewat Opera Kecoa yang barusan dilarang hingga yang tampil lebih rasa getir. Tema ini pula yang ditampilkan Teater Gapit lewat Dom (Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 21 - 25 November 1990) dengan nada marah yang menggelegak hingga muncul rasa menggugat.

Keberhasilan ini pertama-tama tentu karena sutradaranya, Slamet Rahardjo, dengan cerdik mengambil bentuk film anak-anak–film yang sengaja ditujukan untuk anak-anak, dan kebetulan tokohtokoh utamanya anak-anak juga. Dan dunia pikiran anak-anak adalah dunia yang bersih, dunia idyllic. Karena itu, sifat dongeng seolah selalu melekat dalam kisah-kisah yang ditujukan pada anak-anak. Dongeng itu bisa sangat imajinatif dan liar, tapi bisa juga dekat dengan kehidupan keseharian, tentu tanpa melepaskan sifat idyllic-nya atau sifat dongengnya. Di situ juga selalu terkandung niat untuk berpetuah atau paling tidak mengemukakan gagasan pembuatnya, sehingga unsur-unsur karakter penokohannya, umpamanya, bisa menjadi perwakilan gagasan, dan bukan sosok-sosok utuh.

Sadar atau tidak Slamet yang juga menulis cerita dan skenario Langitku Rumahku masuk pula dalam bingkai-bingkai seperti itu. Ia masuk, namun tidak terperangkap, karena terbukti bingkai itu tidak membelenggunya, dan ia bisa bermain di dalamnya. Di sini ia memilih dongeng yang sedekat mungkin dengan keseharian, seperti tampak dari setting kisah dan cara penggunaan efek suara lingkungan yang realistis.

Kisah pokok film ini adalah pertemuan dan persahabatan dua anak dari dua kelas masyarakat yang biasanya saling curiga. Gempol (Soenaryo), yang berasal dari keluarga pemulung, dicurigai jadi pencuri saat mengintip kelas yang sedang belajar karena saking kebeletnya meneruskan pelajaran yang tertinggal.

Peristiwa ini menumbuhkan keingintahuan Andri (Banyubiru), anak dari keluarga berkecukupan yang dikitari oleh sepasukan pembantu, serta pagar-pagar aturan dan nilai-nilai sosial yang membuatnya merasa terkungkung. Gempol menjadi sosok yang menjadikan konkret apa yang terpisah dari pagar dunianya. Pertemuan dua anak itu menjadi pertemuan dua kebutuhan yang saling melengkapi. Gempol bisa mendapatkan buku-buku yang diinginkannya, Andri memperoleh pengetahuan dunia di luar dirinya. Dunia yang kumuh, di sana-sini kejam, namun toh menghasilkan manusia-manusia bijak seperti Mbah Uyeng (Untung Slamet).

Membantu

Setting kisah semacam ini sudah sangat membantu mengurangi kontras kaya-miskin. Tapi film bukan hanya kisah. Di sana juga ada mis en scene (pengadeganan) yang terdiri dari antara lain, pemilihan angle kamera, pencahayaan, pewarnaan, serta koreografi gerak kamera dan pemain-pemainnya. Dalam hal ini Slamet tetap konsisten dengan dunia dongeng yang idyllic, sehingga yang terasa adalah sikap bersih kanak-kanak dalam menghadapi dunia lawannya. Karena itu pula yang terasa adalah sentuhan keharuan, sentuhan manusiawi.

Sentuhan keharuan itu akan terasa lebih sempurna bila Slamet lebih sabar mengarahkan pemain-pemainnya yang—kecuali Pietrajaya Burnama dan Suparmi—semuanya amatir, atau paling tidak baru pertama kali ini main film. Hasil yang dicapai sekarang ini bukannya tidak baik, tapi rasanya masih bisa lebih, apalagi kalau Slamet mau lebih menahan diri dalam mengemukakan petuahnya. Film ini, yang sebetulnya seluruhnya merupakan petuah, tentu jadi berlebihan bila Andri dengan gagah berkata, ”Kata pak guru, negeri ini dititipkan kepada kita”, atau kata-kata gagah Mbah Uyeng yang menerangjelaskan soal langitku- rumahku dengan gerak gagah pula.

Petuah itu bisa sampai dengan lebih enak bila hal itu diucapkan secara wajar seperti percakapan keseharian yang selintas. Hal yang bisa dilihat dalam adegan Gempol-Andri di bawah patung Diponegoro ketika memperbincangkan pemberontakan pahlawan itu karena tanahnya kena gusur.

Namun demikian, apa pun kekurangan film ini, dia tetap sebuah film anak-anak yang baik dan pantas ditonton oleh anak-anak bersama orangtuanya.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 9 Desember 1990.