Tinjauan Masih Ada Cinta di Jakarta

7/10 JB Kristanto 01-09-2004

Karena bulan ini adalah bulan ulang tahun Jakarta, maka Eliana, Eliana, film terbaru sutradara Riri Reza yang baru saja mendapat penghargaan Best Young Cinema dan Penghargaan Khusus Juri dalam Festival Film Singapura, dipromosikan—seperti tampak dalam siaran persnya—untuk lebih mengenal Jakarta yang biasanya tidak dipromosikan atau yang biasanya diusahakan diabaikan oleh penduduknya sendiri: sisi-sisi gelapnya.

Sisi gelap ini diwujudkan secara fisik dengan tempat-tempat berlangsungnya cerita, yang kotor dan jorok, maupun saat peristiwa berlangsung yang malam hari, dan penggunaan lampu seminimal mungkin dalam pengambilan gambarnya. Bergelap-gelap, kasar, dan "tidak indah" ini—ditambah lagi dengan ritme yang bergegas seperti gerak kamera yang hampir seluruhnya dilakukan secara hand-held, editing, dan gerak pemainnya—tentunya berkaitan dengan apa yang terjadi dengan kisah tokoh-tokoh dalam film ini.

Film dibuka dengan informasi berbentuk tulisan bahwa Eliana (Rachel Maryam Sayidina) lari dari rumah saat hari pernikahannya dan merantau ke Jakarta. Lima tahun kemudian Bunda (Jajang C Noer) datang ke kota ini untuk mencari anaknya yang lari itu. Di antara tulisan-tulisan informasi ini ada beberapa gambar-gambar "diam" dan beberapa gambar "bergerak" berkenaan dengan informasi di atas.

Sesudah informasi awal yang menjanjikan ini barulah kisah mulai bergerak dengan suasana agak lesu di daerah belakang sebuah kantor. Eliana dan kawannya, Ratna (Marcella Zalianty) bersiap ganti baju untuk pulang. Dan Bunda tiba di bandara berbekal sebuah alamat dengan sikap yang tegas dan yakin akan apa yang jadi tujuannya. Gambar berpindah-pindah antara perjalanan Bunda—dengan bertanya-tanya—sampai ke rumah tempat menginap Eliana di sebuah gang sempit, dan perjalanan pulang Eliana dengan kendaraan umum maupun berjalan kaki.

Mengulur

Dengan cara ini Riri Riza bersama editornya Sastha Sunu mengajak penonton membiasakan diri ke gaya bertuturnya. Sedikit demi sedikit diungkapkannya permasalahan kisah. Bunda "memerintahkan" Eliana pulang sambil menyodorkan tiket pesawat. Eliana masih belum bisa menerima "perintah" itu, karena ia justru lari dari "perintah" semacam itu sebelumnya. Dan tiba-tiba seorang pria berkaos oblong naik motor bebek mencari Heni (Henidar Amroe), sahabat Eliana yang mengontrak rumah itu.

Eliana, yang menyadari bahwa barang-barang milik Heni tak ada lagi, langsung mengajak ibunya pergi bergegas-gegas untuk menghindari pria tadi, tapi alasan yang keluar dari mulutnya adalah mencari makan. Bunda tentu bertanya-tanya tapi ikut bergegas pergi. Begitu juga penonton. Itulah cara Riri mengulur keingintahuan—sambil tetap menarik perhatian—penonton. Hal ini juga membuktikan bahwa Riri punya kemampuan bercerita, suatu hal yang tidak terasakan pada film-film dari generasi yang sama, yang lebih muda maupun yang sedikit di atasnya.

Maka mulailah perjalanan mengelilingi Jakarta dengan mencarter sebuah taksi yang sopirnya (Arswendi Nasution) pembuat komik gagal, dan bersikap sangat pasrah dalam menjalani hidup hingga kontras dengan sikap Eliana dan Bunda. Eliana didera pertanyaan terhadap keberadaan dan permasalahan Heni, karena itu menyangkut masalah dirinya juga: Heni adalah tempat gantungan hidupnya; sementara Bunda terus berkeras untuk "menaklukkan" putrinya itu. Di pertengahan film baru muncul tokoh Heni, yang sudah disebut-sebut sejak awal, sambil sedikit demi sedikit menguakkan permasalahannya lewat dirinya sendiri maupun lewat tokoh Ratna, yang ternyata juga penyanyi di sebuah klub dangdut dan merasa lebih memahami masalah lelaki dibanding Heni. Ternyata memang masalah lelaki yang jadi masalah Heni. Anak hasil hubungan dengan seorang pria suami wanita lain di luar nikah, tiba-tiba muncul di "tempat kerjanya". Padahal anak tadi sudah akan dipungut anak oleh pacarnya tadi. Anak tadi itu sakit.

Tiba-tiba Heni menyadari posisi dirinya. Ia masih punya anak. Ia harus merawatnya. Itu pulalah yang menyebabkan ia menghilang, di samping harus menghindar dari pemilik rumah kos yang setiap bulan harus dihadapinya. Menyadari apa yang terjadi dengan Heni, Eliana pun jadi sadar bahwa dia masih punya Ibu yang masih terus memperhatikannya. Dan Bunda pun juga baru memahami apa yang "dicari" oleh putrinya. Semua menyadari bahwa masih ada cinta di antara mereka. Masih ada harapan. Semua berdamai dengan jalan hidup seperti yang jadi sikap sang sopir taksi. Bahkan Ratna secara selintasan di pagi hari tampak ceria menenteng "pakaian kerjanya" yang gemerlap di lingkungan yang ramai tapi kumuh.

Manis

Pada titik ini semua yang gelap-gelap dan semua yang perih-perih lebih terasa sisi manisnya. Di sini terasa juga bahwa Riri ternyata "mewarisi" sikap kebanyakan manusia Indonesia: masih lebih beruntung dibanding mereka yang lebih menderita lagi. Sikap personal dalam membuat film, tidak membuat Riri memiliki sikap personal juga dalam menghadapi masalah yang boleh dibilang masih masalah di luar dirinya, bukan masalah dirinya. Ia masih berada "di luar" hidup para tokohnya yang hanya sekadar "gagal" meraih impiannya. Sesuatu yang mengingatkan kita pada film Asrul Sani terbaik berjudul Bulan di Atas Kuburan (1973), yang juga mengisahkan kaum migran di Jakarta. Perbedaannya: Asrul mengejek sikap demikian itu, sementara Riri—seperti tokoh-tokohnya—berusaha berdamai.

Sikap menggugat itulah yang terasa kurang, tidak seperti film-film bertema sama dan juga bergaya sama—paling tidak dalam sinematografinya—seperti Chungking Express karya Wong Kar Wai dari Hongkong, atau Amores Perros karya pertama Alexandro Gonzales Inarritu dari Mexico. Kalau dalam Chungking Express, tokoh-tokohnya yang "sekelas" dengan Eliana dan Heni, mengalami keterasingan dan kesepian hingga sampai ke tingkat yang membuat mereka depresi, maka dalam Amores Perros terasa sangat menggigit kekerasan kehidupan kota Mexico, bahkan cinta di situ boleh dibilang "dipersetankan" seperti juga ditampilkan dalam judulnya yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Love's a Bitch.

Sikap menggugat itulah yang membuat sebuah karya bukan hanya bentuknya yang personal, tapi juga cara pandang persoalannya. Di situlah sang pencipta memberikan sumbangan pemahaman dan pengayaan terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.

Gugatan ini sendiri tidaklah mengurangi film itu sendiri sebagai film yang hanya sedikit menyisakan cacat. Umpamanya, adegan anak sopir taksi yang hobinya memotret apapun pada malam hari boleh dibilang tak berkaitan apapun dengan seluruh jelujuran film, kecuali dengan pembuatnya mungkin. Seluruh unsur film sungguh-sungguh saling mendukung, bahkan musik yang dibuat oleh Thoersi Argeswara memberikan tekanan tersendiri, tidak seperti yang dibuatnya di Pasir Berbisik. Semua pemain juga bermain cemerlang, terutama Jajang dan Arswendi, sementara pendatang baru Rachel Sayidina cukup bisa mengimbangi.

Yang patut dicatat juga, ini adalah hasil kedua dari 13 pembuat film yang tergabung dalam gerakan yang mereka beri nama I Sinema. Mereka ini boleh dibilang generasi terbaru perfilman Indonesia yang merasa kebuntuan perfilman Indonesia dan berusaha merambah jalan-jalan baru baik dari segi estetik maupun produksinya. Kita masih akan melihat karya-karya dari grup ini dalam waktu-waktu mendatang ini, karena mereka tengah bersiap-siap, baik yang siap edar maupun siap pengambilan gambarnya.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 16 Juni 2002