Tinjauan Mengomongkan Olahraga

6/10 JB Kristanto 01-09-2004

Gadis usia 15 tahun itu, Nita (Jenny Rachman), menang dalam lomba lari 10 km di kecamatannya. Ini awal yang membelokkan jalan hidup anak janda penjaga perkebunan yang selalu berlari ke sekolah sambil menjinjing jajanan buatan ibunya. Jajanan itu dititipkan di warung sebagai penambah penghasilan keluarga.

Pelatih atletik Jabar, Anton Sudirgo (Roy Marten), melihat bakat anak ini. Didukung oleh Ketua KONI Jabar dan Camat Natalegawa (Rachmat Hidayat), setelah lulus SMP Nita melanjutkan sekolah di Bandung agar bisa latihan intensif. KONI Jabar sendiri memang berambisi besar menaikkan jumlah medali emas dalam PON mendatang.

Jalan menuju jenjang juara memang selalu tidak mudah: latihan berat, persaingan antar atlet yang dibumbui cemburu cinta, masalah keluarga miskin yang tiba-tiba diusir dari rumahnya, persaingan tak sehat antarpelatih dan pengurus KONI Jabar sendiri. Semua ini menjadi duri-duri menjelang kejuaraan, duri-duri yang hampir saja mematahkan semangat Nita untuk terus menekuni bakatnya. Duri-duri ini dijalin dengan bagus dalam skenario yang ditulis oleh Sjuman Djaya.

Sutradara Chaerul Umam yang mendapat skenario bagus, bekerja bagus pula. Paling tidak dalam menangani pemain-pemainnya. Jenny Rachman bisa bermain sebagai anak usia 15 tahun, Roy Marten bisa tidak cengengesan seperti biasanya. Hasilnya memang sebuah tontonan yang lumayan.

Diomongkan
Namun kelemahan film ini agaknya harus disebut karena terjadi pada tema utama, yaitu olahraga itu sendiri. Seperti yang terjadi dalam dunia olahraga kita sekarang, olahraga dalam film ini bagus ketika diomongkan, bukan ketika dilakukan. Dia menjadi topik perdebatan hangat antarpengurus. Dia menjadi slogan-slogan indah yang diucapkan ataupun dituliskan di layar putih, seperti “Nita memiliki jiwa” atau “Manusia mati tapi olahraga tak berhenti”.

Di sinilah tampak bahwa penulis skenario maupun sutradara tidak mengenal secara detail dunia olahraga. Contoh kecil: penonton tidak tahu nomor lari spesialisasi Nita. Contoh yang besar: keindahan atletik, perjuangan keras yang berdarah dan berkeringat tak tampak di lintasan lari. Padahal kalau kita setia melihat film atletik Jerman Barat yang sering diputar di televisi Minggu pagi, dengan mudah kita bisa mencontohnya.

Untuk menghindari hal-hal di atas ini maka stock-shot PON X tahun lalu disisipkan dalam klimaks film ini. Gambar-gambar itu bagus, namun toh lebih bagus kalau cucuran keringat Nita, tersengalnya napas, dan jiwa perjuangan Nita yang hadir dalam klimaks film ini, sehingga olahraga tidak perlu diomongkan tapi dilakukan.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 06 November 1982.