Keluhan tentang film banyolan sudah banyak. Intinya: menghina kecerdasan. Toh film demikian itu tetap saja merajalela, bahkan kini pindah ke televisi, yang dianggap tidak terlalu ketat memperhitungkan penonton. Perpindahan yang tidak membawa akibat apapun ini bisa dimaklumi karena mereka yang berada di depan maupun di belakang layar boleh dikata sebagian besar sama. Persoalannya: apakah banyolan tidak bisa dibuat hingga tidak sekadar mencari efek ketawa, tapi juga mampu mengukir keperihan? Contoh klasik terhadap pertanyaan ini ada: film-film Charlie Chaplin.
Pada tahap demikian ini rasanya tidak lagi ada pemisahan antara banyolan dan komedi, dua hal yang sering terpisahkan karena dianggap yang satu lebih bersifat fisik, sementara yang lain lebih merupakan hasil olahan kecerdasan. Bahkan antara banyolan-komedi dan tragedi pun seolah dua sisi dari satu mata uang, karena efek yang ditimbulkannya adalah ketawa sekaligus menangis. Itu konon puncak dari sebuah pencapaian kelucuan.
Untuk membedakan dari yang banyolan, bukan tidak ada film yang disebut komedi di Indonesia. Kejarlah Daku Kau Kutangkap, atau Ramadan dan Ramona, boleh dikata masuk kategori komedi yang tidak menghina kecerdasan penonton. Begitu juga banyak film dari sutradara almarhum Nya Abbas Akup, yang dikenal dengan serial Inem Pelayan Sexy. Bahkan yang terakhir ini dikenal juga dengan sindiran-sindiran sosial terhadap situasi aktual yang dengan sadar "dicangkokkan" ke dalam cerita atau sekadar dalam percakapan antartokohnya, hingga sindirannya itu lebih terasa sebagai tulisan pojok dalam sebuah koran daripada tiang utama cerita.
Hal semacam ini mungkin kurang terasa pada dua film yang disebut terlebih dahulu. Kalaupun ada yang ditertawakan pada dua film itu, adalah watak manusia yang lebih umum. Hubungan pria-wanita pada Kejarlah Daku Kau Kutangkap, dan kekonyolan sebuah pencarian jati diri pada Ramadan dan Ramona. Dua film ini ditulis oleh Asrul Sani dan Putu Wijaya, sedang penyutradaraannya oleh Chaerul Umam, satu dari sedikit sutradara yang mampu membuat komedi.
Usikan untuk memasalahkan kelucuan pada media audio-visual ini, bukan hanya karena begitu banyaknya acara banyolan di televisi, tapi lebih-lebih karena munculnya film Badut-badut Kota karya Ucik Supra, yang dua tahun sebelumnya sudah menunjukkan bakatnya dalam film Rebo dan Robi. Dalam film ini Ucik yang menulis skenario dan memegang penyutradaraan sekaligus, mencoba menggabungkan sindiran sosial Nya Abbas Acup dan kelucuan—harap dicatat: bukan banyolan—dari Chaerul Umam.
Hasilnya: bila dibanding dengan film pertamanya, Badut-badut Kota boleh dikata merupakan sebuah lompatan. Kerangka cerita yang dalam film pertama masih sangat artifisial dan dicari-cari, dalam film kedua ini sudah jauh lebih halus, terpola dan jelas progresinya. Dan pencapaian yang paling penting adalah bahwa Badut-badut Kota mampu membuat lucu dan perih sekaligus.
Hasil terakhir ini rasanya yang paling penting bila dijajarkan dengan film-film komedi sebelumnya, meski itupun harus diberi catatan tersendiri, karena tema dasarnya adalah kemiskinan, sebuah tema yang sudah dikunyah-kunyah sejak lama. Charlie Chaplin maupun Basiyo (peletak warna utama Dagelan Mataram) adalah contoh-contoh dengan warna dasar lucu-getir serupa. Tema ini agaknya masih sangat dekat dengan kenyataan sosial masyarakat, hingga tidak akan habis untuk dikunyah kembali asal dengan kreatif. Itulah yang sudah ditunjukkan Ucik Supra. Ia membuka filmnya dengan deretan perumahan sewaan "sangat sederhana" yang berada di balik gedung-gedung megah menjulang di tengah kota Jakarta. Tampil Ibu Kapten (Boabo-pelawak), pemilik rumah sewaan, untuk menagih tunggakan uang sewaan berbulan-bulan dari rumah keluarga Dedi (Dede Yusuf), yang berprofesi sebagai badut di Taman Impian Jaya Ancol. Karena tunggakan belum juga bisa dilunasi, maka perabotan rumah yang ada di ruang tamu diangkut, sambil ditatapi mata sedih istri Dedi, Menul (Ayu Azhari).
Adegan awal ini sudah langsung menancapkan warna dasar untuk selanjutnya. Ibu Kapten sangat mudah dikenali di acara televisi sebagai sosok "Bu Bariah", wanita bawel dengan aksen Madura yang sering belepotan bicaranya. Apa yang dilakukannya adalah hak sebagai pemilik rumah sewaan, tapi penonton juga tahu bahwa suami Menul, Dedi bukannya tak mau membayar sewa, tapi tak mampu, karena kebetulan rejekinya sebagai badut sedang seret. Keperihan ini—ditambah dengan berkumpulnya tetangga-tetangga—langsung bercampur dengan ketawa, karena sosok Ibu Kapten yang "esmosi".
Adegan ini langsung disambung dengan kepulangan Dedi—dipanggil "Daddy" oleh anaknya—yang dengan enteng bereaksi, "Enak dong rumah kita. Jadi lapang sekarang." Dedi dan anaknya lalu berpura-pura bermain tembak-tembakan, dan mati berguling-guling. Pemunculan Dedi ini langsung melukiskan perwatakannya. Ia sadar sekali akan masalah yang dihadapinya, tapi ia tak ingin larut dengan masalah itu. Ada bersitan harapan yang dipupuknya selalu, meski ia tahu tak bisa berbuat banyak, karena ketrampilan yang dimilikinya tak seberapa. Ada sedikit penyesalan meninggalkan sekolah dan mencari uang demi mengawini istrinya, hingga ia seolah dikucilkan dari keluarganya yang kaya raya.
Bersama kawannya, Tarjo (dimainkan dengan pas oleh Rahman Yacub), yang berwatak nyaris serupa, Dedi berusaha mencari jalan dan menghibur diri. Yang didapat hanya jalan buntu, bahkan untuk mendapat tambahan jam kerja saja tidak mungkin karena begitu banyak badut yang harus ditampung. Dan ini yang penting: pencarian jalan itu lebih dengan cara berdialog, bukannya pekerjaan mencari itu sendiri, hingga yang terasa sebenarnya adalah dua sahabat itu sebenarnya hanya saling menghibur dan... "bermimpi". Begitu banyak adegan mimpi yang diwujudkan dalam bentuk adegan sisipan: Dedi dengan anak istri di halaman rumah mewah dan di pantai; atau anaknya melihat ratusan apel bertebaran di jalanan; atau Menul di dapur yang mewah.
Agaknya sang sutradara hanya bisa sampai pada kesimpulan bahwa menghadapi situasi demikian, manusia hanya bisa tabah, tawakal dan siap "menunggu wolak-waliking zaman", seperti kata Tarjo. Ternyata itulah yang terjadi. Di tengah "mimpi"nya di tempat kerjanya di taman hiburan itu, Dedi menemukan bungkusan yang ternyata berisi uang dan surat-surat pemiliknya, seorang pengusaha kaya-raya, Darmais (Galeb Husein). Kisah pun berbelok riang hingga menuju puncaknya: keberhasilan mengelola rumah makan, memiliki rumah sendiri yang jauh lebih baik dari rumah sewaan yang ditinggalinya selama ini.
Ini jalur utama kisah film. Di samping itu Ucik Supra yang "gregetan" dengan kondisi perfilman Indonesia (termasuk filmnya sendiri yang terlunta-lunta hingga belum bisa beredar sampai sekarang), menciptakan kisah sampingan yang ditokohi oleh suami-istri sutradara film, Chairul Raya (Sofyan Sharna-Dien Novita) tetangga samping di rumah sewaan. Sang sutradara peraih banyak penghargaan itu, dalam keadaan runyam "ditindas" sang istri, karena tidak mendapat peluang pekerjaan, hingga kebutuhan biologisnya pun ikut tertindas, dan hanya bisa "bermimpi" menggantung sang istri dan mengintip pasangan Dedi yang meski miskin tapi bahagia.
Pada jalur inilah Ucik mengumbar uneg-unegnya terhadap perfilman nasional—tetap dengan nada bercanda—yang mudah-mudahan bisa dimengerti oleh khalayak yang lebih umum, karena banyaknya pemberitaan mengenai dunia perfilman kita. Sesuai dengan jalur utama kisah, sang sutradara, yang juga ikut tabah dan tawakal akhirnya kecipratan nasib baik Dedi. Bisa lagi membuat film. Dan bisa lepas dari "penindasan" sang istri. "Tidak masuk akal. Seperti dalam film Indonesia," kata Dedi sambil bercanda saat mengomentari nasibnya.
Kisah Dedi dan sang sutradara itu memang tidak masuk akal, meski cukup bisa membuat orang "percaya", justru karena sikap bercanda yang jadi warna utama film ini. Artinya, film ini bisa menghibur, meski mungkin bagi sebagian orang sambil merasakan keperihannya juga. Kalau itu yang memang dimaksud, maka film ini boleh dikata berhasil. Tentu dengan catatan teknis: apakah sisipan-sisipan mimpi itu begitu penting hingga tak bisa dicopot saja. Bukankah dengan cara yang "biasa" Ucik sudah menunjukkan kemampuannya untuk maksud yang sama.
Contohnya: adegan-adegan Dedi dan istrinya menjereng uang hingga hampir memenuhi seluruh tempat tidur, sementara mereka cuma kebagian tidur di ujung yang sempit. Contoh lain yang tidak "biasa": adegan Dedi dan Tarjo sebagai badut di sebuah pesta melihat diri mereka sendiri berpakaian mewah turun dari mobil mewah bersama istri mereka. Suatu adegan yang justru jauh lebih efektif dari sisipan-sisipan mimpi.
Catatan-catatan ini adalah catatan kecil, karena secara keseluruhan dia tidak mengurangi —mungkin hanya sedikit mengganggu—percandaan yang bisa dinikmati dengan enak. Bahkan percandaan itu sudah sampai pada tingkat mewakili sikap dan kejujuran sutradara, suatu hal yang jarang didapat dalam film Indonesia. Ini berarti Ucik Supra sudah boleh dimasukkan ke dalam kategori sedikit sutradara Indonesia yang berpendirian bahwa film adalah media ekspresi pribadi.
Ini tampaknya kekuatan utama Ucik, tapi sekaligus juga "kelemahannya", kalau bisa disebut kelemahan. Dia disebut kekuatan karena dasar pandangan Ucik yang belum beranjak dari latar belakang budaya Jawanya, mampu menyajikan apa yang menjadi dasar pikiran dan sikap tokoh-tokohnya: tabah, tawakal, menunggu nasib. Tapi, dia juga sekaligus kelemahan, karena dasar pikiran semacam itu bisa dengan mudah mengaburkan atau membuat orang tidak berani menghadapi kenyataan bahwa sebuah sukses adalah hasil dari usaha jatuh-bangunnya sebuah proses, bukan menunggu.
Peran nasib, sang penolong, deus ex machina atau kebetulan dalam film itu terlalu menentukan jalannya cerita, hingga sukar diduga kesimpulan lain. Bukan tidak ada "usaha" lain, tapi usaha lain ini baru berhenti pada kata-kata. Tarjo yang selalu membangkitkan harapan bahwa harus mencari terobosan, toh tidak tampak sama sekali membuat terobosan itu. Kunci keberhasilan pengusaha besar Galeb Husein yang diminta oleh Dedi adalah kerja keras. Ini juga tidak tampak. Bahkan ketika sebenarnya Dedi di ambang kebangkrutan usaha warung tegalnya, sang penolong justru datang kembali dengan memberikan modal lebih besar, yang jumlahnya tidak masuk akal.
Sebagai perbandingan mungkin bisa diberikan cerita film Mrs Doubtfire, yang merupakan pameran akting Robin Williams. Dalam film ini modal dasar Mrs Doubtfire—kemampuan akting dan menirukan berbagai suara—dijelajahi begitu rupa hingga menjadi solusi dari permasalahannya: ia bisa kembali memperoleh anak-anak yang dipisahkan dari dirinya akibat perceraian dengan istrinya. Penjelajahan terhadap badut dan perbadutan sama sekali tidak dilakukan Ucik Supra sebagai penulis skenario maupun sutradara. Badut disini hanyalah sebagai sebuah titik tolak yang lalu dilupakan, hingga pantas dipertanyakan apakah judul Badut-badut Kota memang pantas dipakai.
Pola pikir yang mendasari Badut-badut Kota ini, sebenarnya bukan monopolinya, tapi merupakan pola pikir umum hampir di semua film Indonesia. Yang dikhawatirkan adalah bahwa pola pikir semacam ini—yang dengan mudah bisa dilihat pada teater tradisi—yang menjebak para pembuat film kita, hingga dia "tidak masuk akal". Apalagi kalau dia dilakukan tanpa sadar.
Jangan-jangan pola pikir demikian pula yang menimbulkan banyak keruwetan dalam segala bidang kehidupan sehari-hari kita. Dan kalau masalah ini sengaja digarisbawahi bukan karena film ini jelek, tapi justru sebaliknya. Lucu-perih yang dihasilkan oleh Badut-badut Kota paling tidak mirip dengan Mrs. Doubtfire.
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, Kompas, 10 April 1994.