Tinjauan Problem Seks Profesional Muda

7/10 JB Kristanto 01-09-2004

Ada beberapa kebiasaan, "norma", dan tabu di kalangan pembuat film Indonesia. Misalnya, seorang sutradara sudah sangat terbiasa untuk memecah adegan dalam beberapa shot. Atau ia membuat dulu sebuah mastershot, di mana seluruh peristiwa terekam dalam satu bingkai, lalu ia membuat shot-shot sisipan, hingga sebuah adegan terdiri dari beberapa rangkaian shot. Cara bertutur seperti ini membuat sebuah shot jarang sekali yang panjangnya lebih dari satu menit.

Konon gaya seperti ini lahir karena kekhawatiran akan terjadinya kelambanan dalam ritme film. Konon pula gaya ini muncul karena ketidakpercayaan akan pemain, dan sutradara adalah segalanya dalam penciptaan film. Menurut penafsiran yang jadi salah-kaprah dari "kepercayaan" ini, pada titik ekstremnya, sebuah film bisa jadi hanya rangkaian dari medium shot dan close up. Dengan cara bertutur seperti ini, pemain memang betul-betul "boneka". Sebuah close up dari wajah pemain yang sedang menitikkan air mata, digabung dengan sebuah gambar keranda, menghasilkan kesan sedih.

Gaya begini ini boleh dikata diawali keberhasilan Wim Umboh baik secara komersial maupun penghargaan-penghargaan yang diterimanya dari FFI. Hal ini masih ditambah lagi dengan teori editing film yang diciptakan Pudovkin pada tahun 20an, yang disebarluaskan oleh beberapa tokoh editor di sini.

Padahal kalau kita melihat film-film Usmar Ismail seperti Tiga Dara, yang kala itu masih menggunakan perekaman suara secara langsung, gaya begini ini belum terjadi. Jadi teknik pengambilan gambar tanpa suara nampaknya turut mempengaruhi gaya tadi.

Begitu hebatnya pengaruh gaya ini, hingga kita seolah-olah tak melihat lagi cara bertutur secara lain. Kita juga seolah-olah lupa bahwa "editing" bisa dilakukan dengan gerak pemain, gerak kamera. Bahwa kelambanan bukanlah sesuatu yang tabu kalau memamg diperlukan. Bahwa cepat atau lamban tidak hanya ditentukan oleh panjang-pendeknya sebuah shot. Bahwa editor tidak semata-mata dinilai kehebatannya oleh ketrampilannya memilih gambar, memotong-motong dan menyambung-nyambungnya. Bahwa keberanian tidak memotong, dan sekedar menyambung apa yang dihasilkan juru kamera atas arahan sutradara, juga sebuah kesenian tersendiri.

Uraian yang cukup panjang ini mungkin diperlukan untuk lebih memahami apa yang dihasilkan seorang sutradara muda yang baru pertama kali membuat film cerita, Garin Nugroho, dan editornya, Arturo. Hal yang paling nampak dari usaha pertamanya dengan film Cinta dalam Sepotong Roti, adalah penafsiran ulangnya dari "bahasa" film yang selama ini dianut banyak orang di sini seperti tanpa berpikir lagi.

Keadaan ini bisa dipahami karena iklim berproduksi memang tidak memungkinkan orang merenung lagi. Dan ketrampilan seseorang diperoleh dengan cara magang. Bukan cara magangnya yang salah, tapi orang tak sempat memperoleh referensi lain yang lebih luas yang tak ada. Di sini pula kelebihan Garin. Dia lulusan Institut Kesenian Jakarta (jadi bukan dari sekedar magang). Dia sudah banyak menghasilkan film dokumenter dengan penghargaan-penghargaan di dalam dan luar negeri. Dia juga berkesempatan mengikuti lokakarya-lokakarya di luar negeri di bidang audio-visual.

Kalau filmnya ini terasa lain dari film Indonesia umumnya, rasanya gaya bertuturnya ini yang terasa paling menonjol. Gaya bertutur yang menggunakan shot-shot panjang, bahkan ada beberapa shot yang begitu panjangnya, hingga satu adegan bisa hanya terdiri dari satu shot. Atau juga dalam membangun sebuah adegan (dan dengan sendirinya: suasana), ia biasa mulai dari potongan-potongan gambar yang mengelilingi tokoh-tokohnya, sebelum sampai pada yang pokok. Walhasil, gaya ini membuat suasana yang mengajak orang merenung tapi tanpa berkerut dahi, karena Garin meramunya dengan suasana piknik, yang memang secara fisik dilakoni oleh tokoh-tokohnya.

Suasana ini saja sudah merupakan kelebihan tersendiri dari film ini, suasana yang sangat jarang dijumpai dalam film-film Indonesia, karena umumnya berkutat dengan cerita, bukan dengan masalah.

Ada beberapa hal lain yang pantas pula dicatat dari film ini seperti: kepercayaannya pada pemain-pemain yang sama sekali baru padahal naskah film ini menuntut suatu kematangan pemain tersendiri. Hasilnya memang tidak jelek, meski pun belum bisa dibilang bagus. Juga pengunaan potongan-potongan puisi dalam dialog antarpemain yang di sana-sini mungkin terasa janggal, tapi toh tidak terlalu mengganggu. Penggunaan bahasa "kata" dan bukan bahasa "gambar" dalam menjelaskan latar belakang tokoh-tokohnya lewat dialog yang terpecah-pecah di sana-sini, hingga kita mengetahui karakter tokohnya secara utuh bersamaan dengan perjalanan piknik mereka dan dengan demikian bersamaan pula dengan perkembangan permasalahan di antara tokoh-tokohnya.

Dan yang paling penting untuk dicatat adalah kemampuan Garin dkk untuk memasalahkan seks secara dewasa dan tidak vulgar, meski toh terjadi pemotongan sensor, yang mungkin tak perlu kalau para penyensor tidak bersikap kaku dengan buku pegangannya. Selama ini seks hanya diperlakukan sebagai bahan eksploitasi. Di film ini sama sekali tak ada eksploitasi. Yang ada adalah keterbukaan yang cukup jujur, bahwa seks bisa jadi salah satu masalah manusia. Rasanya belum pernah ada film Indonesia yang memasalahkan seks secara sopan dan jujur tanpa jatuh dalam eksploitasi seperti ini.

***

Seks, cinta dan persahabatan yang jadi jelujuran masalah ketiga tokoh utamanya, tiga sekawan yang bersahabat sejak kecil: Haris (Adji Massaid), Mayang (Rizky RZ Teo) dan Topan (Tio Pakusadewo). Haris yang kini profesional muda, nikah dengan Mayang, seorang model yang kemudian jadi pengasuh rubrik keluarga di sebuah majalah wanita.

Dua tokoh ini mewakili suatu kelas masyarakat kota besar yang sekarang tumbuh dan banyak mewarnai gaya bisnis dan gaya hidup mutakhir. Mereka sukses karena pendidikan praktis yang mereka kenyam, dan fasilitas maupun warisan usaha yang mereka terima. Sukses ini juga membuat mereka memiliki sifat konsumtif yang cukup tinggi, hingga jadi sasaran para produsen barang dan jasa dan dianggap sebagai sebuah segmen pasar khusus. Sementara Topan yang pada awalnya mematuhi keinginan ayahnya untuk belajar perbankan, akhirnya memutuskan menyelusuri jalan gelisah sebagai fotografer.

Tokoh-tokoh semacam ini kalau dalam kebanyakan film Indonesia menjadi tokoh khayal dan impian, di sini menjadi manusia biasa. Di balik kecemerlangan sukses, Haris dan Mayang ternyata memendam masalah sendiri dalam hidup pernikahannya. Haris selalu dihantui oleh perzinahan yang dilakukan ibu kandungnya, hingga ia selalu gagal menyetubuhi istrinya sendiri. Sementara Mayang yang seolah sukses memberi nasihat-nasihat kepada para pembacanya, tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri.

Mereka nampak sepakat untuk mengatasi masalah ini dengan "lari" dari pekerjaannya, piknik ke luar kota. Karena masih berhutang naskah, sebagian pekerjaan Mayang—menjawab pertanyaan-pertanyaan pembacanya—dijawabnya dalam perjalanan dalam rekaman kaset. Jawaban-jawaban Mayang yang begitu "bijaksana" menambah ironi masalah mereka sendiri.

Ketika hendak berangkat datang sahabat mereka, Topan, yang karena terlambat mengejar kereta yang akan membawanya menuju Lombok, menerima tawaran ikut serta semobil. Maka perjalanan ketiga sahabat tadi menjadi perjalanan mengenang masa lalu mereka yang penuh canda dan petualangan, sambil mengingat pula puisi-puisi yang mereka sukai. Itulah bagian pertama film yang diberi judul Ikutilah angin...

Menyusul kemudian bagian kedua berjudul Tunduklah, angin datang... Judul sudah menyiratkan sesuatu. Haris semakin gelisah akan ketidakmampuannya. Mayang berusaha terus sampai batas yang ia mampu, namun sebagai wanita zaman baru ia tidak mau tunduk begitu saja pada konvensi-konvensi lama, ia mau jadi dirinya sendiri. Ia berulang kali mengatakan bahwa dia istri bukan ibu Haris, yang mau menerima permintaan Haris yang sekedar ingin dipeluk dan dibelai. Ia butuh seks. Hal ini diungkapkan dengan cukup eksplisit, hingga kita juga bisa mengenali suatu tipe wanita lain dari umumnya tokoh wanita yang ada dalam film Indonesia.

Sementara itu nampak pula persamaan pandangan, selera (roti dengan isi selai Srikaya), cita-rasa antara Topan dan Mayang, hingga sebenarnya persahabatan mereka ini memendam perasaan yang sebenarnya mereka miliki: cinta. Keraguan dan perjalanan nasib yang membuat mereka berpisah dan sukar untuk menyatu. Ketika mereka akhirnya sadar, mereka memang cuma menyesali diri. Dan lewat mulut sang fotografer, muncullah teriakan kesal dengan kata-kata "besar", "Kenapa kita selalu terlambat. Kenapa generasi kita yang secara fisik lebih baik dan cerdas, tapi kosong rohani." Sebuah pernyataan yang lebih merupakan pernyataan pencipta film ketimbang pernyataan tokohnya, karena selama perjalanan diskusinya tak pernah mengarah ke hal-hal besar seperti ini.

Bagian kedua ini rasanya bagian terbaik dari film ini, sedang bagian terakhir yang berjudul Sebuah Awal adalah bagian terlemah, apalagi begitu banyak shot dari atas (helikopter?) yang tak berfungsi.

***

Kelemahan karya pertama ini sudah disebut beberapa di atas, namun nampaknya harus ada lagi yang mesti dicatat, karena dia merupakan kelemahan yang cukup sentral sifatnya. Pemilihan penulis skenario dan sutradara untuk membeberkan masalahnya, tentu bukan hanya sekedar untuk mengumbar gambar indah pemandangan, meski harus diakui bahwa pemilihan lokasinya yang masih di pulau Jawa, menunjukkan betapa belum tereksploitasinya kemungkinan gambar yang tersedia di pulau ini dalam film-film kita. Keindahan fotografi di sini tentu tak lepas dari keberhasilan juru kamera R. Soleh.

Namun di situ pula titik rawan yang tak cukup tergarap. Alam yang seharusnya berfungsi dan menjadi tokoh keempat dalam dialog masalah ketiga sahabat tadi, ternyata belum sepenuhnya tergarap. Dia baru menjadi latar saja, tempat mereka piknik dan berdiskusi maupun mengenang masa lalu mereka. Alam belum menjadi tokoh yang turut mempengaruhi perkembangan dan penyelesaian masalah mereka. Alam baru berfungsi kecuali sebagai latar, juga sedikit melukiskan suasana jiwa atau membantu penonton menghayati keadaan batin tokoh-tokohnya.

Kelemahan ini tidak terlalu terasakan kalau kita menonton dengan tidak terlalu menghiraukan hal ini. Begitu pula kelemahan teknis seperti rekaman suara yang kurang terkendali volumenya, dan kurang tergarap jarak dan ruangnya. Seperti juga kelemahan akan ruang dan waktu dalam film itu, hingga kita tak pernah bisa tahu, sampai di mana perjalanan mereka di pulau Jawa ini.

Namun demikian apapun kelemahannya, Garin dkk sudah menunjukkan bahwa kita tak perlu pesimis terhadap perkembangan perfilman Indonesia. Dan kita bisa lega bahwa akhirnya lembaga pendidikan IKJ bisa juga menghasilkan seorang sutradara yang memberikan sumbangan terhadap perfilman nasional. Seorang sutradara yang menggarap film dengan kecintaan dan bukan sekedar mencari nafkah.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, Kompas, 19 Mei 1991.