Tinjauan Risiko Adaptasi yang Terlalu Setia

4/10 Makbul Mubarak 08-07-2011

Mira W adalah penulis novel yang sudah nyaman dengan status ‘kawakan’. Lebih dari tujuh puluh novelnya hadir di pasaran dan senantiasa disambut oleh penggemar setianya. Melodrama Mira W pasti pernah menjadi tren, sebab bila tidak, tak mungkin novel-novel melodramatisnya itu disadur ke dalam belasan film dan sinetron sejak puluhan tahun silam hingga yang terbaru, True Love.

Novel Cinta Sepanjang Amazon digubah menjadi True Love oleh produser Bravi NS dan sutradara Dedi Setiadi dengan dukungan sepenuhnya dari Yayasan Prof Dr Moestopo. Awalnya, Mira W berharap judul novelnya itu tidak diubah sembari mendamba filmnya benar-benar berlatarkan Sungai Amazon (Tabloid Nova, 28 November 2008). Apa boleh buat, judulnya beralih menjadi True Love dan Sungai Amazon sebagai latar sepertinya telah disulap menjadi kawasan wisata Raja Ampat.

True Love dipoles hingga tampak “seumuran” dengan Cinta Sepanjang Amazon yang terbit tahun 2008. Dalam film itu, warnet—penanda budaya penting pasca tahun 2000—berfungsi sebagai piranti krusial dalam memperkenalkan tokoh Vania pada penonton sekaligus pada Aries, putra seorang taipan yang jatuh cinta padanya. Pasangan ini menikah segera, lalu menjalani masalah demi masalah sebagai pasangan suami istri. Dilema-dilema pasca menikah adalah kekuatan utama narasi Mira W. Ia sangat bergantung pada anggota keluarga tokoh utamanya dalam membangun konflik. Ayah Aries, Sagita (kakak Aries), dan Guntur (sahabat Aries) adalah karakter pembantu yang berperan besar dalam memompa sedu-sedan kisah.

Terlepas dari berhamburannya karakter pembantu, sebenarnya True Love adalah kisah segitiga abadi antara Aries, Guntur, dan Vania. Aries yang sudah menikahi Vania ternyata mengundang Guntur untuk tinggal di rumah mereka. Kebaikan Aries itu dibalas tuba oleh Guntur. Suatu malam, Guntur meniduri Vania. Meskipun Guntur mati tak lama setelah itu, namun Vania sudah kadung hamil. Anak Guntur itulah yang menjadi penanda kehadiran Guntur hingga film usai sekalipun Guntur tak lagi tampak di haribaan pemirsa.

Ada tegangan yang gamblang dalam True Love. Film ini memamerkan relasi yang terkotak-kotak antara si kaya dan si miskin. Aries yang kaya dan menjadi ahli waris keluarga tanpa harus berpayah-payah jatuh cinta pada Vania yang yatim-piatu dan tak kaya-kaya meskipun sudah tandas keringatnya. Hal ini bisa dibaca lewat dua cara. Cara pertama adalah mengamati pola relasi tersebut sebagai konsistensi gaya yang dimiliki Mira W, yang memang hampir selalu menyisipkan relasi antarkelas dalam novel-novelnya. Cara kedua adalah membaca True Love sebagai bentuk pembangkitan kembali struktur narasi yang ramai bergentayangan dalam film-film Indonesia tahun 80an, seperti misalnya dalam film Dia yang Tercinta (Jopi Burnama, 1984) dan Biarkan Bulan Itu (Arifin C.Noer, 1986). Dalam film-film ini, representasi kelas menengah dihapus dan menyisakan melodrama kaya-miskin yang dipotret oleh para sutradara yang ‘kurang pengamatan’ (Salim Said: 1991). Hal tersebut juga tampak dalam True Love.

Dalam True Love, kita tak pernah paham mengapa Aries menjadi ahli waris sementara Sagita-lah yang bertungkus-lumus memajukan perusahaan keluarga. Kenapa pula pelayan di rumah Aries banyak sekali padahal anggota keluarganya cuma tiga orang? Pun penonton gusar karena ayah Aries begitu mudah mengusir dan mengampuni Aries berulang-kali padahal setiap masalah cenderung berakhir fatal. Sikap ayah Aries tersebut tidak mendukung, bahkan cenderung menyederhanakan hubungan kalut antara Aries dan Vania.

Yang menarik, latar belakang ekonomi Aries dan Vania begitu mempengaruhi pandangan masing-masing tentang hubungan asmara. Aries telah meninggalkan kemewahannya untuk hidup bersama Vania. Sudah seyogyanya Vania menghargainya. Sebaliknya, Vania merasa bahwa Aries yang tiba-tiba tak punya pekerjaan menghalanginya untuk memajukan nasib rumah tangga mereka. Pada keadaan semacam inilah Guntur (yang tak dijelaskan latar belakang ekonominya) datang mengambil posisi dan memberi corak atas cerita.

Dengan orientasi karakter yang berbeda-beda, True Love berpeluang menghantarkan suara berbeda pada penonton yang bersenjangan latar ekonominya. Tentulah jelas mengapa orang macam saya lebih memihak Vania ketimbang Aries, sebab saya pernah merasakan apa yang dirasakan Vania dan tidak mengalami apa yang dirasakan Aries. Di sisi lain, True Love berpeluang membangkitkan kembali nostalgia para pembaca Mira W mengingat film ini sangat setia pada versi novel. 122 menit durasi film dikorbankan untuk melayani gaya cerita khas Mira W yang biasanya memakan waktu puluhan tahun.

Sayangnya, potensi-potensi tersebut tidak diolah dengan baik oleh pembuat film, terutama penulis dialog, perhatikan dialog ini:

Aries: Aku sangat mencintaimu, Vania.

Vania: Sayang, kenapa sih kamu jatuh cinta sama aku?

Aries: Aku membutuhkanmu lebih dari apapun.

Terdapat dua pernyataan dan satu pertanyaan yang tampak tidak saling berhubungan satu sama lain. Besar kemungkinan dialog ini ditulis untuk memantik romansa, tapi hasilnya adalah sepasang tokoh karikatur yang sedang bicara pada angin kosong. Penampilan solid Alex Komang pun harus cedera oleh dialog kaku yang mesti ia lafalkan. Keterserpihan dialog dengan mudah kita temukan dari permulaan hingga detik film yang penghabisan. Ujungnya, sama sekali tak ada yang istimewa dalam True Love. Menonton film ini hanya seperti membaca novel Mira W di layar superbesar dengan harga tiket yang hampir sama dengan harga novelnya.