Tinjauan Sebuah Permenungan Masa Lalu

7/10 JB Kristanto 01-09-2004

Ternyata masih tetap ada kisah menarik seputar revolusi, apalagi kalau kisah itu dipandang bukan dari sisi Indonesia, tapi dari sisi Belanda—paling tidak seorang Belanda—seperti tampak dalam film Oeroeg yang tengah beredar di beberapa kota besar di Jawa. Disutradarai oleh Hans Hylkema berdasarkan novel Hella S. Haasse, film ini merupakan hasil kerja sama produser empat negara: Indonesia, Belanda, Jerman, dan Belgia.

Seperti umum diketahui, pandangan dan sikap Belanda terhadap Indonesia tidak pernah tunggal. Ada yang baik dan simpatik, ada yang sungguh bersikap ”kolonial”. Hal yang sebaliknya juga terjadi pada pihak Indonesia. Oeroeg tidak berada di sisi mana pun. Ia berpihak pada manusianya dan nasib buruk yang menimpa.

Dua sahabat sejak kecil, Johan Ten Berghe (Rik Launspach) dan Oeroeg (Martin Schwab) harus berhadapan sebagai musuh setelah proklamasi berlangsung. Johan datang kembali ke Indonesia sebagai tentara Belanda. Pikirannya penuh dengan kenangan masa kecil yang indah sebagai anak pemilik perkebunan Kebon Jati.

Yang ditemukannya sudah berlainan sama sekali. Tembok-tembok penuh corat-coret slogan kemerdekaan, orang-orang sekaumnya berada dalam keadaan tegang dan was-was. Puncaknya: ayahnya ditemukan tergeletak berlumur darah.

Ia melihat kelebatan orang di balik semak. Ia mencurigai Oeroeg yang melakukan pembunuhan itu. Maka ia minta izin khusus untuk menyelidiki kasus ini.

Kecurigaannya beralasan karena beberapa peristiwa: berulang kali di masa kecilnya Oeroeg mendapat perlakuan kasar dari ayah Johan yang tak menyukai pergaulan itu; kematian ayah Oeroeg karena disuruh menolong Johan yang tenggelam, sesuatu yang juga membekas di benak Johan; perlakuan kaumnya ketika Oeroeg remaja sehingga Oeroeg memutuskan bergabung dengan gerakan kemerdekaan dan mengambil garis tegas terhadap Johan.

Adegan menarik dari bagian ini adalah saat mereka berdua hendak nonton film di bioskop dan harus terpisah tempat duduknya karena peraturan yang berlaku. Johan duduk di bagian kulit putih, sementara Oeroeg di bagian kulit berwarna yang tempatnya di balik layar sehingga gambar film ditonton secara terbalik. Sebelum sampai ke gedung bioskop, Oeroeg sempat mengalami hinaan dari orang sekaumnya karena pakaian dan lagak-lagunya yang ”putih”.

Informasi-informasi ini dibeberkan sedikit demi sedikit bersamaan dengan perjalanan Johan dalam tugasnya. Karena itu film berjalan maju-mundur, antara masa ”kini” dan masa lalu. Karena itu pula film tidak menjadi sebuah film kriminal, misteri, atau detektif, tapi lebih berupa sebuah permenungan tokoh Johan maupun sutradaranya tentang persahabatan, tentang perang yang hanya berakibat buruk untuk siapa pun. Ini yang membuat Oeroeg berbeda dengan film-film Amerika yang bertumpu pada sensasi dalam menggarap tema apa pun.

Dilukiskan bagaimana desa Oeroeg dibumihanguskan hingga Johan hanya mendapati ibu dan adik Oeroeg yang tewas mengenaskan, sementara bayi adik Oeroeg menangis terus. Dilukiskan pula perilaku tentara republik saat menawan Johan. Pada saat inilah Johan mendapat informasi lengkap mengenai trauma masa kecilnya dari gadis Belanda yang memihak republik. Ayah Oeroeg meninggal bukan karena menyelamatkan Johan saat tenggelam, tapi saat mengambil arloji ayah Johan yang jatuh ke telaga. Juga kecurigaan Johan bahwa Oeroeg yang membunuh ayahnya tak beralasan, karena Oeroeg saat itu sudah ada dalam tawanan Belanda.

Johan akhirnya jumpa dengan sahabatnya di ujung film. Ia dipertukarkan dengan sejumlah tawanan di sebuah jembatan garis demarkasi. Oeroeg termasuk tawanan yang dipertukarkan itu. Mereka jumpa di tengah jembatan tanpa bisa saling bicara. Johan yang selalu bimbang sepanjang film, tak tahan. Ia datangi Oeroeg yang sudah punya ketegasan sikap: ia tetap merasa tak adil bahwa satu tawanan bernama Johan dipertukarkan dengan sejumlah tawanan republik. Johan menyerahkan arloji yang menyebabkan ayah Oeroeg mati tenggelam.

***

Film ini menarik karena sikap sutradaranya; karena pernyataan betapa warna kulit yang membeda-bedakan dan memisah-misahkan terjadi di luar kekuasaan mereka; karena nasib membedakan mereka. Persahabatan indah masa kecil tak kuasa menentang perubahan yang terjadi. Arus besar itu terlalu deras untuk diarungi sendirian. Mungkin saja ada niatan politik dari sutradara saat membuat film ini. Mungkin saja ada niatan koreksi diri dari pihak Belanda. Tapi, apakah hal itu masih relevan untuk saat sekarang ini?

Yang mungkin lebih relevan untuk dipermasalahkan sekarang ini adalah hilangnya ”semangat dan sikap” seperti itu yang pernah tercermin dalam film-film maupun sastra kita yang pernah ada. Film-film Usmar Ismail berjudul Pedjuang (1960), The Long March (Darah dan Doa—1950), atau Lewat Djam Malam (1954), dan film Djajakusuma berjudul Embun (1951) sebenarnya menunjukkan semangat serupa. Begitu juga novel dan cerpen karya sastrawan yang termasuk Angkatan 45. Semangat kritis dan menggugat.

Semangat itu yang menyurut sekarang ini. Kisah-kisah seputar revolusi dalam film-film sesudah tahun 1970-an—kecuali Naga Bonar (1986)—tinggal kisah romantik yang kehabisan darah tapi tetap dikunyah-kunyah terus meski tinggal sepahnya saja.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 4 Juni 1995.