Tinjauan Wim Umboh dan Sesuatu Yang Indah

6/10 JB Kristanto 01-09-2004

Sejak Dan Bunga-bunga Berguguran (1970), Wim Umboh hingga sekarang sudah membuat sembilan film: Pengantin Remadja (1971), Biarlah Aku Pergi (1971), Mama (1972), Perkawinan (1972), Tokoh (1973), Senyum di Pagi Bulan Desember (1974), Cinta (1975) dan yang terakhir ini Sesuatu yang Indah (1976). Sebelum itu ia memang juga sudah membuat beberapa film, namun sejak Dan Bunga-bunga Berguguran kita melihat adanya kesamaan tema: cinta. Konsistensi tema ini belum terlihat dalam film-film yang dibuatnya sebelum 1970 itu.

Obsesinya pada cinta merupakan cermin kehidupan pribadinya, seperti bisa kita baca dalam berbagai wawancara dan tulisan tentang dia. Cinta yang disuguhkannya dalam film tidak sampai pada bobot filosofis memang. Pengertian cintanya seperti yang banyak dirasakan orang. Mungkin bisa dibilang elementer dan naif.

Wim Umboh mungkin jujur terhadap dirinya dalam menggarap filmnya. Tapi mungkin pula ini suatu pilihan untuk pelaris ‘dagangan’ tontonannya. Kemungkinan ketiga: dua kemungkinan di atas bersatu dalam dirinya.

Pretensi untuk menaruh bobot dalam kisah-kisah filmnya tampaknya memang tidak ada. Ini mungkin disebabkan faktor di atas tadi: persoalan cinta yang digarapnya adalah pesoalan yang elementer, bukan masalah yang ‘gawat atau berat’.

Pergulatan yang terjadi dalam diri Wim bukanlah pergulatan atas isi, tapi pergulatan atas bentuk. Bila kita ingat kembali sembilan filmnya terakhir, maka kita akan mendapatkan tiga corak film. Yang masuk dalam corak pertama bisalah disebutkan: Dan Bunga-bunga Berguguran, Pengantin Remadja, Biarlah Aku Pergi, Perkawinan. Corak kedua: Mama, Tokoh, dan Sesuatu yang Indah. Dan yang beda di antara kedua corak tadi: Cinta dan Senyum di Pagi Bulan Desember.

Perbedaan corak itu berkisar pada bentuk suguhan. Corak pertama berkisah secara lugas, langsung, dan pop. Corak kedua lebih kompleks penyuguhannya, baik dalam struktur plot (Mama dan Tokoh) maupun dalam editing (Sesuatu yang Indah). Sementara corak yang ketiga lebih mengesankan kekecewaan akan kegagalan ‘percobaan’ bentuk baru, sehingga ia ingin kembali ke corak pertama tapi sedikit saja menyisipkan percobaannya.

Dalam filmnya yang terakhir pun, Sesuatu yang Indah, Wim tampak belum lepas dari kekecewaan kegagalan percobaan yang pernah terjadi pada dirinya. Tapi ia juga tidak bisa lepas dari nafsu yang masih menyala untuk tetap mencoba lagi.

Suasana
Apa yang dicoba dalam film terbarunya ini sudah tampak bibitnya pada film sebelumnya, Cinta. Kalau kita ingat kembali sekuens pertama dan terakhir film itu, maka akan kita jumpai permainan editing yang menyusun gambar-gambar orang berlari, anjing berlari, kuda di gunung Bromo, sepasang pria dan wanita yang asyik bercengkerama.

Gambar satu dan lainnya seperti terlepas satu sama lain. Namun ada semacam suasana dan kesan yang ditampilkan dengan urutan gambar yang tidak ‘logis’ itu—suasana yang hanya mungkin ditimbulkan oleh film, hingga kita sulit mencernakannya dalam kata-kata.

Harap maklum juga bahwa sampai sekarang pun—dalam film cerita seperti yang kita lihat di gedung bioskop—film masih terikat dengan kesenian yang berada di luar dirinya, seperti sastra, drama, musik, ataupun lukisan. Melepaskan diri dari ikatan ini memang sukar, bila tidak boleh dikatakan mustahil.

Dalam Sesuatu yang Indah, Wim Umboh memperluas percobaan yang pernah dilakukannya dalam Cinta. Paling tidak dalam sepertiga pertama film ini penonton dibius dengan rentetan gambar hampir tanpa dialog dalam ritme yang cukup tinggi. Satu suasana mulai terbina ketika kita melihat kesibukan dua orang pilot, kakak-beradik Johanes dan Leo Mokodompis, dalam pekerjaan, dalam malam-malam istirahatnya, maupun dalam ‘permainannya’ dengan gadis-gadis. Kita tidak sempat lagi memikirkan di mana kejadian itu berlangsung. Di Jakarta, Irian Jaya, ataukah di Singapura? Semua jadi tak penting, termasuk logika, karena rentetan gambar yang menghanyutkan tadi.

Sayang Wim tidak tahan untuk meneruskan permainan ini. Selanjutnya ia mulai teratur menyusun cerita dan unsur-unsur dramatik filmnya. Leo ternyata menikah dengan gadis yang pernah menjadi pacar adiknya. Jo sendiri terlibat dalam percintaan dengan Christine Hakim yang bermain baik sekali (ternyata Christine bisa mengisi suaranya sendiri, yang selama ini diisi dengan suara orang lain).

Christine adalah tipe gadis yang bisa kita temui di diskotik-diskotik di Jakarta, seorang gadis yang tidak betah di rumah dan sebenarnya merindukan ‘cinta’. Tapi pengenalan karakter Christine sampai di situ saja, seperti juga pengenalan kita akan karakter tokoh-tokoh lain dalam film ini maupun dalam film-film Wim Umboh lainnya.

Karakter tokoh-tokoh film Wim Umboh hanyalah tempelan satu dua sifat, tidak pernah merupakan manusia yang utuh. Dan tampaknya Wim tidak memerlukan itu. Yang lebih dipentingkannya adalah pernyataan dirinya lewat media film ini. Apa yang dinyatakannya bukan sesuatu yang muluk dan hebat, tapi yang biasa dan sederhana. Dalam hal ini boleh dibilang ia cukup berhasil. Sampai kini boleh kita berkata bahwa Wim sudah memiliki gaya tersendiri.

Permainan editing (mungkin ia paling jago dalam hal ini), fotografi yang apik, ritme yang stakato, shot tokoh-tokohnya yang sebagian besar berupa medium close up dan close up (mungkin ini juga karena kelemahannya dalam segi penyutradaraan) adalah sebagian dari ciri-ciri gayanya.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 15 Februari 1977.