Lahir di Bukittinggi, Meninggal di Jakarta. Pendidikan : HIS, MULO-B, AMS-A II (Barat Klasik) (selesai 1941), Jurusan Film Univ. Kalifornia (BA-1953). Sebagai penyalr dan dramawan semen-jak masih sekolah, Usmar dijaman pendudukan Jepang tergabung dalam 'Pusat Kebudayaan'. Lalu pada masa yang sama dia bersama Dr. Abu Hanifah alias El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono(pelukis) serta H.B. Jassin dan lainnya lagi mendirikan perkumpulan sandiwara penggemar (amatir) 'Maya". Karya-karyanya kala itu dikumpulkan dalam "Punting Bersama" (puisi) "Sedih dan Gembira" (lakon sandiwara). Dua dramanya masa itu kemudian difilmkannya sendiri, yakni Tjitra (1949) dan Liburan Seniman (1965).
Tahun 1945 sehabis Proklamasi Kemerdekaan, dia menjadi Pemimpin Redaksi "Harian Rakjat" Jakarta. Sewaktu Belanda kembali bersama Tentara Sukutu dia pindah ke Jogjakarta lalu menjadi anggota TNI dengan pangkat Mayor sampai tahun 1949. Pada masa Perang Kemerdekaan itu Usmar tetap aktif sebagai Sastrawan, dramawan, dan wartawan. Dia menjadi Pemimpin Redaksi (kemudian harian) "Patriot", bulanan "Arena" sebuah gelanggang bagi seniman muda, sembari mengetuai "Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia", "Serikat Artis Sandiwara" dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).
Tahun 1948 ketika dia ke Jakarta sebagai wartawan politik Kantor Berita Antara, Usmar ditawan Belanda dengan tuduhan melakukan subversi. Setelah bebas, Usmar dibawa Andjar Asmara yang telah mengenalnya sebelumnya sebagai orang sandiwara untuk membantunya menyutradarai Gadis Desa (1949). Setelah film itu dia langsung dipercayai menyutradarai Harta Karun yang diangkatnya dari karya Moliere, lalu Tjitra yang disebutkan di atas. Skenario Tjitra ini kemudian dibukukan dan dilengkapinya dengan "Pengantar ke Dunia Film", sebuah pengantar apresiatif pembuatan film. Menyadari film-film yang Indonesiawi akan lahir hanya dari orang-orang yang menghayati ke Indonesianya, maka Usmar dengan beberapa kawannya membangun sebuah perusahaan, yakni Perfini di awal 1950. Selesainya film pertama Perfini, Darah dan Doa (1950), dianggap kritisi film sebagai kelahiran film nasional Indonesia pertama. Bersama dua film berikutnya Enam Djam di Jogja (1950) dan Dosa Tak Berampun (1951) dinilai kritisi film sebagai karya-karya yang sepenuhnya memiliki ciri-ciri yang Indonesiawi.
Sehabis menyutradarai Terimalah Laguku (1952), Usmar berangkat ke Amerika untuk belajar sinematografi. Sepulangnya dari sana dia langsung membuat Kafedo (53) yang dianggapnya sebagai batu ujian bagi hasil belajarnya. Namun film yang sepenuhnya bersuasana Indonesia ini rusak pengisian suaranya dan gagal menarik penonton. Dalam mempersiapkan Kafedo itu, Usmar memberi kesempatan dan mendidik pemuda yang berminat dalam penyutradaraan film. Melalui programnya inilah Nya Abbas Acup terseret ke film. Menyadari manfaat program pendidikan ini bagi pembinaan perfilman dan sekaligus dunia sandiwara Indonesia, maka tahun 1955 dia mendirikan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).
Pada tahun 1950-an itu ada tekanan terhadap film-film nasional. Disamping minat penonton yang kurang dan saingan berat dari film import, fihak pengusaha bioskop juga kurang berminat memberi kesempatan mempertunjukkannya. Untuk mengatasi kerugian karena hal itu, Usmar pun berkompromi dengan membuat film-film hiburan disamping berusaha agar pemilik bioskop mad memutarnya. Begitulah lahirnya Krisis (1953) yang ketika di Metropole (sekarang Megaria - bioskop terbaik waktu itu) sempat menarik penonton berjubel selama lima minggu. Mendapat tenaga baru dari hasil Krisis, Usmar kembali membuat film menurut citanya semula, Lewat Djam Malam (1954). Sayang, film baik ini tekhnis rusak waktu di laboratorium dan gambarnya berhujan. Begitulah Usmar bervariasi membuat film hiburan dengan film 'baik'.
Dalam pada itu, Usmar terus mendorong terbentuknya PPFI yang didirikannya bersama Djamaluddin Malik dan pengusaha-pengusaha lainnya dalam tahun 1954. Usmar menjadi Ketuanya sampai 1965. Namun tekanan pemasaran yang tidak baik dan kurangnya proteksi Pemerintah yang memadai menyebabkan krisis industri film mencapai puncaknya pada kwartal pertama 1957 dengan ditutupnya studio-studio film. Dalam keterseot-seotan setelah studio dibuka kembali Perfini agak tertolong dengan hasil-hasil film Tiga Buronan (1957) dan Djendral Kantjil (1958) karya Nya Abbas Acup dan film Asrama Dara (1959) dari Usmar. Dan Usmar pun kembali kepada citanya semula dengan membuat Pedjuang (1959). Walau film baik ini memperoleh sukses komersiel yang baik pula, Perfini tetap belum bisa melunasi hutangnya dan studionya di Mampang diambil negara dan diserahkan kepada PFN (1960).
Dalam pada itu, unsur-unsur politis mulai pula merasuki perfilman dan Usmar mendapat serangan dari kelompok PKI-Lekra-Sarbufis. Begitulah filmnya Anak Perawan Disarang Penjamun (1962) diangkat dari roman Sutan Takdir Alisyahbana sempat diboikot peredarannya. Dalam kerincuan politik itulah, Usmar menjadi anggota Partai politik Nandatul Ulama (NU) sembari menjadi Ketua Lesbumi, organ kebudayaan NU. Melalui partai itu Usmar diangkat menjadi anggota DPR-GR antara 1966-1969.
Dalam membina industri film nasional dan mengatasi tekanan film import, tahun 1959 diadakan Musyawarah Film Nasional. Kemudian untuk selanjutnya Usmar terpilih menjadi Ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN). BMPN inilah kemudian yang menjadi motor terlaksananya apa yang dikenal dengan Musyawarah Besar Nasakom yang diketuai Nyonya Malidar dalam tahun 1964 sebagai tandingan bagi kegiatan PKI lewat Papfias-nya. BMPN ini pulalah yang mendorong Pemerintah melahirkan "Pola Pembinaan Perfilman Nasional" dalam tahun 1967. Sesudah filmnya Liburan Seniman (1965), Usmar istirahat dari dunia film sampai 1969 ketika dia menyutradarai Ja Mualim. Selama masa itu Usmar melarikan diri ke dunia dagang lalu ke dunia hiburan. Usmar merupakan orang Indonesia pertama mendirikan 'nightclub', yakni "Miraca Sky" di puncak gedung Sarinah menjelang akhir tahun 1960-an. Lalu dia memimpin PT Triple T. sedang sebelumnya, antara 1956-1960, dia pernah memimpin bank film, P.T. Bank Kemakmuran. Usmar yang juga dikenal sebagai 'starmaker' (yang melahirkan Nurnaningsih, Indriati Iskak, dan sebagainya.
Tahun 1962 menerima piagam Wijayakusuma dari Presiden Soekarno. Usmar meninggal dunia dalam akhir masa pembuatan Ananda (1970), film terakhir bagi Usmar, film debut bagi Lenny Marlina.
Sumber: Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978. Disusun oleh Sinematek Indonesia. (Jakarta : Yayasan Artis Film dan Sinematek Indonesia, 1979)