Dalam tiga minggu awal pemutarannya, film Ada Apa dengan Cinta, menurut produsernya, Mira Lesmana, berhasil menyedot 1,3 juta penonton. Ini hasil dari pemutaran di 24 layar (kemudian bertambah menjadi 76 layar) di 12 kota Indonesia. Kalau dipukul rata harga karcis di tempat pemutaran tadi Rp 15.000, maka bagian dari produser diperkirakan antara Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per karcis setelah dipotong pajak (yang berbeda-beda setiap provinsinya) dan bagian untuk bioskop. Maka bisa dikira-kira, bahwa hasil yang didapat oleh produser film itu paling tidak Rp 4,5 milyar.
Menurut perkiraan seseorang yang berpengalaman di bidang distribusi film, diperkirakan film itu akan menghasilkan sekitar Rp 10 milyar bersih. Kalau betul biaya produksi, distribusi dan promosi yang dikeluarkan produser berjumlah Rp 4 milyar (banyak yang meragukan jumlah ini), maka keuntungan produser boleh dikata sudah 100 persen lebih. Suatu penghasilan yang sangat menggiurkan untuk masa yang sangat singkat. Tentu kalau hal terakhir ini hanya dihitung dari saat beredarnya. Padahal, film ini digagas, digodok dan diproduksi lebih dari setahun sebelumnya. Pada proses ini tentu sudah ada biaya yang keluar, hingga keuntungan yang 100 persen lebih tadi, mungkin harus dikurangi, meski keuntungan besar tetap di depan mata.
Sukses ini melampaui sukses yang pernah diterima oleh produser sama, Miles Productions, dengan film anak-anak. Sherina. Bahkan sangat jauh melebihi film pertama mereka, Kuldesak, yang di Jakarta hanya mendapatkan penonton 140.000 orang. Suatu jumlah yang tentu sangat jauh dari bayangan keuntungan kalau biaya produksi film standar (artinya, tidak memerlukan set, peralatan, kostum dsb yang bermacam-macam seperti film yang bersamaan beredarnya dengan Ada Apa dengan Cinta?, yaitu Ca Bau Kan) sekarang ini sekitar Rp 2 milyar.
Sukses ini seperti membangkitkan kembali banyak harapan. Di kalangan orang film yang sekarang ini sudah hampir hijrah semuanya ke dunia sinetron dan pertelevisian, tumbuh harapan karena ternyata pasar film Indonesia masih ada. Produser dan distributor mulai menghitung-hitung kemungkinan. Sutradara dan pemain film mengharap ada kesempatan beraksi lagi, karena bagaimana pun layar kecil televisi tak sebanding dengan layar besar bioskop dalam banyak hal. Penonton alias pasar juga mengharap agar film ini disusul film-film berikutnya hingga terasa kesinambungan produksinya. Bahkan pengamat atau wartawan asing yang tadinya tidak begitu menggubris, mulai bertanya apakah film ini merupakan awal kebangkitan kembali film Indonesia.
Atau mungkin bisa dianggap bahwa—seperti pernah di suatu masa lampau—film Ada Apa dengan Cinta? ini membangkitkan kembali sebuah genre film yang pernah meraja di Indonesia yaitu film remaja. Tidak bisa dikatakan tepat seperti itu, karena genre remaja ini sudah lebih dulu “bangkit” dalam bentuk sinetron. Sukses sinetron Pernikahan Dini(1), tampaknya membuka mata cukup banyak produser sinetron untuk membuat tontonan sejenis. Muncullah judul-judul sepeti Mambo, Sephia, Aku Cinta Kamu, Aku dan Dia, Cerita Cinta, Vanya, di samping seri kisah remaja impor seperti Buffy the Vampire Slayer, Dawson’s Creek.
Dua contoh sinetron dari luar negeri ini menunjukkan bahwa memang ada tontonan yang dikhususkan buat para remaja dengan para pelaku juga remaja. Perbedaannya mungkin adalah di luar negeri tidak terdengar genre film remaja seperti yang berlaku di sini.
Genre film remaja—maksud istilah ini: film tentang remaja dengan masalahnya dan tokoh-tokohnya umumnya masih bersekolah tingkat SMU— baru dikenal di akhir tahun 70an, dan menjadi “trend”. Film jenis demikian ini memang baru dikenal sesudah kebangkitan kembali film nasional kalau kita melihat Pengantin Remaja dibuat tahun 1971. Keberhasilannya menjadi film terbaik dalam FFA 1971 dan juga kelarisannya di pasar tidak menjadikan trend, kecuali trend kelarisan pasangan Sophan Sophian-Widyawati yang mungkin cukup legendaris sampai sekarang. Padahal pada tahun pembuatannya itu, film ini pernah dituduh menjiplak film Love Story. Sesudah itu hanya beberapa film remaja yang dibuat antara lain Badai Remaja (1973), Cinta Remaja (1974) dan Romi dan Juli (1974). Sementara Pengantin Remaja sendiri pernah dibuat ulang tahun 1991 dengan pemain Vivi Samodro dan Bucek Depp yang tidak membuat gaung apapun.
Kemudian datang Ismail Soebardjo (seperti Rudy Sudjarwo sekarang), mantan wartawan film. Tahun 1976 ia membuat film Remaja 76, yang mendapat perhatian juri FFI 1977 dan mendapat penghargaan Plaket Usmar Ismail untuk sutradara muda yang potensial. Keberhasilan ini membuat film “lanjutannya” yaitu Binalnya Anak Muda (1978) yang masuk unggulan FFI untuk Film Terbaik, penyutradaraan, skenario dan peran pembantu wanita (Jenny Rachman) dan menjadi film terlaris II di Jakarta 1979 dengan jumlah penonton 171.849. Jumlah ini tentu bukan bandingan dengan hasil Ada Apa dengan Cinta? Baik diketahui, bahwa waktu itu belum ada sinepleks, ongkos produksi juga hanya sekitar Rp150 juta, dan harga karcis bioskop belum sampai Rp 5.000. Film lanjutannya lagi, Anak-anak Buangan (1979), juga mendapat penghargaan khusus FFI untuk film yang berhasil melukiskan dunia remaja. (2)
Keberhasilan film-film di atas ini tampaknya yang lalu menciptakan gaung hingga dunia film kita kemudian mengenal genre film remaja. Salah satu yang aktif sekali memproduksi film jenis ini adalah PT Tiga Sinar Mutiara Film yang membuat sekitar 10 film remaja dari 18 film yang pernah diproduksinya. Tahun 1979 boleh dikata merupakan tahun film remaja, karena pada tahun itu dibuat sekitar 19 film remaja, ini berarti sepertiga dari jumlah produksi tahun itu yang berjumlah 54 buah. Tahun berikutnya, 1980, jumlah ini langsung menurun jadi 7 buah dari jumlah produksi tahun itu sebanyak 78.
Jadi sebenarnya, booming film remaja memang hanya setahun saja. Dan hal ini cukup menarik seorang Teguh Karya untuk membuat Usia 18 (yang mungkin tidak bisa masuk kategori film remaja karena tokoh-tokohnya sudah mahasiswa seperti juga film-film “kampus” lain) dan Edward Pesta Sirait dengan Gadis Penakluk, yang memenangkan Citra untuk skenario dan peran pembantu wanita terbaik, Ita Mustafa. Mungkin baik juga diingat dibuatnya sebuah “dokudrama” Untukmu Indonesiaku (1980), sebuah pentas musik dengan judul sama oleh Swara Maharddika pimpinan Guruk Soekarnoputra yang saat itu sangat digandrungi remaja.
Booming film remaja pada akhir 70an itu boleh dibilang “didominasi” oleh nama Eddy D Iskandar, mahasiswa IKJ yang lebih terkenal sebagai penulis novel pop remaja. Banyak novelnya yang dijadikan film, dan banyak skenario yang ditulis olehnya. Yang paling sukses adalah Gita Cinta dari SMA (1979, film terlaris II di Jakarta dengan jumlah penonton 162.500), dan Puspa Indah Taman Hati. Dua film yang kira-kira bertema sama dengan Ada Apa dengan Cinta.
Tahun 1987 muncul gelombang film remaja lagi—meski tidak sehebat pada tahun 1979—yaitu munculnya Catatan Si Boy, yang berawal dari rekaan Marwan Alkatiri di radio Prambors, dan Lupus, kisah rekaan Hilman Hariwijaya yang berawal di majalah remaja Hai. Sukses dua film ini kelihatan dari dibuat terus sequelnya, sampai lima seri masing-masing. Bahkan muncul juga epigonnya seperti Catatan Si Doi dan Catatan Si Emon.
Film remaja terus saja dibuat meski tidak lagi sedominan tahun 1979, karena bagaimana pun, remaja adalah penonton potensial. Begitu potensialnya, hingga sebetulnya “seluruh” film Indonesia adalah film “remaja” atau paling tidak anak muda, kalau hendak mengikutsertakan mereka yang berusia di atas remaja. Kita juga melihat bagaimana pemain-pemain film Indonesia “berhenti berkarir”—kecuali pada segelintir pemain—pada sekitar usia 25 sampai 30 tahun. Setelah itu mereka menjadi “bapak atau ibu perfilman Indonesia” (3) , karena tidak ada lagi peran utama yang dominan untuk mereka. Tidak ada masalah atau kisah orang dewasa yang ditampilkan, kecuali pada satu-dua film seperti Apa yang Kau Cari, Palupi? (1969, Asrul Sani), Lewat Jam Malam (1954, Usmar Ismail) dan Lewat Tengah Malam (1971, Sjuman Djaya). Sutradara terakhir ini mungkin yang paling banyak mengusung masalah “dewasa” dalam film-filmnya seperti Si Mamad (1973), Atheis (1974). Dua film ini berasal dari naskah sastra. Yang satu dari karya Anton Chekov, dan yang lain dari novel Achdiat Kartamiharja. Hampir tidak diliriknya naskah sastra/drama Indonesia sebagai sumber bisa juga menunjukkan betapa “remajanya” kisah-kisah film Indonesia.
Mungkin di sini arti penting genre film remaja itu, karena meski secara jumlah film yang masuk kategori ini tidak ada artinya—hanya sekitar 80 dari hampir 2300 film yang pernah dibuat di Indonesia—namun “pelabelannya” boleh dibilang luar biasa, karena kalau ditilik lebih lanjut, film-film remaja itu tidak ada beda yang prinsip dengan film-film Indonesia umumnya dalam cara pengkisahannya, kecuali pemain utamanya yang remaja. Coba bandingkan juga dengan apa yang terjadi di sinetron kita sekarang ini yang sebetulnya hanya merupakan tempat migrasi “budaya” film Indonesia saja.
Mungkin baik juga dibandingkan dengan produksi yang dihasilkan oleh industri musik rekaman, satu-satunya cabang kesenian yang sudah kokoh sebagai industri dengan masuknya perusahaan-perusahaan raksasa seperti Sony, Warner, BMG dll. Nama-nama ini berhasil “mengubah” industri musik rekaman dalam negeri yang tadinya masih bersifat “rumahan”, menjadi industri “sungguhan”. Industri musik rekaman ini sungguh-sungguh hanya punya satu “pasar”: remaja, dan melupakan keragaman “pasar” yang mungkin ada (4). Pernah di masa lalu, beberapa produser menerbitkan kaset-kaset rekaman musik yang agak serius seperti Ensemble Jakarta pimpinan Suka Hardjana, atau Seriosa Indonesia. Musik-musik ini hanya sekali saja terbit, dan tidak pernah diulang, atau bahkan diusahakan lagi. Penyebabnya mudah diduga: skala produksinya tidak cukup signifikan untuk industri.
Perbandingan yang bisa dilakukan bukan hanya kesamaan segmen pasarnya, tapi juga isi lirik-lirik lagu produksi industri musik rekaman itu dengan kisah-kisah film Indonesia yang juga bersifat remaja. Kalau hendak disingkatkan, isi lirik lagu-lagu pop itu adalah cinta—baik sedang gandrung maupun patah hati—mari bergembira, goyang kiri goyang kanan, maupun petuah-petuah kuno (5). Tidak ada lirik lagu yang “membahas” masalah-masalah orang dewasa, dan hanya sedikit lagu yang mengupas masalah-masalah sosial. Di luar film “mistik/klenik” dan “laga”, bukankah hampir seluruh film Indonesia juga berisikan hal yang mirip dengan lagu-lagu pop Indonesia itu.
Perbandingan lain adalah dengan dunia novel pop yang juga berisikan kisah-kisah remaja atau dewasa yang bersifat remaja. Tidak mengherankan bahwa novel-novel pop inilah yang menjadi salah satu sumber utama film Indonesia, dan sekarang sinetron. Isi novel-novel pop ini juga tidak terlalu jauh dari lagu-lagu pop Indonesia. Di lihat dari sini, maka lengkaplah dunia pop yang saling berhubungan dan saling tunjang. Mereka menyajikan suasana sosial terkini dari segi yang tampak mata. Tidak ada pendalaman masalah maupun materi cerita yang cukup, lebih-lebih dalam karakterisasi tokoh-tokohnya. Bahkan—kalau tidak awas sungguh—mereka justru meneguhkan kebijakan-kebijakan hidup yang sudah kuno dan usang dan ditampilkan dengan semangat “dakwah”.
Kira-kira seperti itu pulalah kisah-kisah yang disajikan film Indonesia. Itu yang mungkin disebut sebagai “keremajaan”, yaitu hanya bermain di permukaan, tanpa gugatan yang cukup, bahkan tanpa usaha yang cukupan saja untuk memahami permasalahan yang digarapnya, meski masalah itu masalah remaja juga.
Dalam keadaan seperti inilah muncul Ada Apa dengan Cinta? yang dengan sengaja memang hendak memotret dunia remaja terkini dan membidik penonton seusia para tokohnya. Bisakah ia lolos dari jebakan “tradisi” perfilman Indonesia yang bersifat “remaja” itu? Bagaimana perbandingan Ada Apa dengan Cinta? dengan film-film remaja sebelumnya.
Yang hampir sama pencapaiannya dengan Ada Apa dengan Cinta? adalah Gadis Penakluk dalam hal skenario, dan lebih khusus lagi tentang karakterisasi tokoh-tokohnya, ada perkembangan karaakter akibat benturan dengan peristiwa atau pengalaman yang dihadapi tokohnya: Cinta (Dian Sastrowardoyo)—tokoh utama dalam Ada Apa dengan Cinta?—dalam hubungan cinta-bencinya dengan Rangga, dan kekerasan keluarga yang dialami sahabatnya Alya (Ladya Cheryll), sementara Agnes (Merlyna Hasan—di mana dia sekarang?)—tokoh penting Gadis Penakluk—datang dari keluarga broken home, ia harus hidup dengan ibu tiri, dan harus berhadapan dengan guru muda Wing Ganda (Adi Kurdi) yang mencoba “menyalurkan” energi dan kegairahan muda Agnes untuk bisa memecahkan persoalan yang dihadapinya. Film-film remaja lain sungguh masih “film remaja” dalam soal ini.(6)
Inilah kelebihan utama Ada Apa dengan Cinta?, di samping tentu saja latar belakang sosial tokoh-tokohnya, lagak gaya para remaja yang sama dengan apa yang kita lihat sehari-hari sekarang ini. Yang terakhir ini tentu hasil karya penyutradaraan yang memahami dunia remaja, suatu hal lebih bila dibanding Gadis Penakluk. Keberhasilan Rudy Sudjarwo di sini memang cukup mengagetkan, bila dibandingkan dengan hasil film sebelumnya, Bintang Jatuh, yang tidak jelas juntrungannya. Keberhasilan ini mungkin—salah satunya—karena dia tidak menulis skenario. Penulisan skenario yang dihasilkan secara keroyokan—suatu yang lumrah berlaku di banyak negara—rasanya harus lebih “dibudayakan” di sini, karena para sutradara Indonesia seolah ingin jadi superman sendirian.
Hal-hal ini yang membuat saya berkesimpulan, bahwa film ini adalah sebuah film standar (begitu juga dalam hal musik, editing dll). Dan yang lebih penting lagi ada suatu hal yang sangat jarang ditemukan dalam film Indonesia, yaitu akal sehat (7) , hingga kita seolah terkejut (8), karena ternyata ada juga pembuat film Indonesia yang bisa memenuhi persyaratan dasar itu. Maksudnya, sang pencipta tidak bisa seenak perutnya sendiri menentukan nasib tokoh-tokohnya, tidak bisa seenaknya sendiri memasukkan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kebetulan, karena hendak mengejar efek tertentu saja. Hal-hal ini berhubungan dengan yang disebut karakter dan perkembangannya seperti sudah disinggung di atas. Dalam hal terakhir ini saya merasakan kekurangannya dalam tokoh Rangga. Latar belakang tokoh ini sangat menarik dan sangat kental masalah sosialnya, hingga rasanya harus lebih didalami dan tidak didekati secara selintasan. Kalau saja pendalaman tokoh ini cukup, maka rasanya tidak perlu ada adegan “klise” berkelahi antara Borne (Ricky Febian) dkk, yang merasa pacarnya Cinta, dengan Rangga, apalagi ada gerombolan yang disewa untuk melempar bom molotov ke rumah Rangga.
Film ini berkualitas standar karena berhasil menyelesaikan soal-soal teknis pembuatan sebuah film, meski kalau diteliti lebih lanjut masih ada masalah-masalah teknis yang mengganggu juga, seperti kesalahan screen direction. Umpamanya, pada saat adegan Rangga sedang duduk di kamar pesuruh sekolah yang menjadi sahabatnya. Rangga duduk di sebelah kiri layar menghadap ke kanan layar. Lalu rombongan Cinta dkk lewat dari kiri layar juga dalam shot lain. Shot berikutnya lagi: Rangga menoleh ke kanan, ke arah penonton film. Maksudnya tentu ia menoleh ke arah rombongan Cinta. Kalau maksudnya begitu, maka seharusnya ia menoleh ke arah kiri, karena rombongan Cinta berjalan dari kiri layar. Bagi penonton yang cukup awas, tentu hal elementer seperti ini membuat bingung. Ini memang masalah sangat elementer dalam penyutradaraan maupun editing, yang seharusnya tidak boleh terjadi. Mudah-mudahan saya tidak keliru, karena hanya menonton sekali saja.
Masalah yang lebih besar dalam soal teknis ini adalah bangunan atau strukturnya pengkisahannya. Tadi sudah saya sebutkan soal bom molotov yang kehadirannya lebih seperti tempelan dibanding sebuah “keharusan” sebuah bangunan. Begitu juga yang terjadi pada ending film (yang masih diselipi shot pesawat terbang naik yang menjadi “ciri” film Indonesia sebagai simbol “kemewahan”). Adegan kocak di akhir film ini ini membuat suasana haru yang sudah terbangun dengan baik, menjadi buyar.
Masalah terbesar film Ada Apa dengan Cinta? ini adalah masalah gagasan (9). Ini bukan soal teknis. Ini yang mendasari soal-soal teknis, hingga sebuah film atau kesenian apapun bisa menunjukkan gejala kreativitas. Gampangnya begini: saat saya habis menonton film (atau drama, tari, lukisan, baca sastra dll), pertanyaan pertama adalah “mau bicara apa sih film ini?” Lord of the Rings bicara soal keserakahan, meski dengan sikap kuno, hingga terasa klise kecuali soal penataan artistik. Life is Beautiful bicara soal harapan dan survival atau daya tahan hidup manusia dengan pendekatan banyolan yang mencapai tingkatan seperti yang dicapai oleh Charlie Chaplin hingga terasa sangat kreatif. Skenario Gadis Penakluk bicara tentang soal joie de vivre atau kegairahan hidup.
Lalu apa yang hendak dikatakan oleh Ada Apa dengan Cinta? Tentu ada masalah kekerasan dalam keluarga, ada masalah sikap oposan ayah Rangga yang membuat Rangga terasa lebih dewasa dari seharusnya. Tapi, masalah-masalah ini adalah masalah sampingan bukan yang pokok. Lalu apa yang pokok? Masalah cinta remaja? Kira-kira memang ini yang jadi masalah pokok. Kalau hanya masalah ini tentu gagasannya tidak menambah bobot kualitas dan kreatifitas film. Ada masalah lain lagi yang sebetulnya menarik untuk ditonjolkan yaitu tarik-menarik antara Cinta sebagai pribadi dan semangat kolektif gang. Ada adegan yang cukup mengharukan dalam hal ini, yaitu ketika Cinta sudah janji berkencan dengan Rangga, sementara sahabatnya, Alya, anggota gang, yang memiliki masalah kekerasan dari ayahnya, sangat membutuhkan bantuan. Cinta berbohong, agar dia bisa berduaan saja dengan Rangga. Ternyata Alya berusaha bunuh diri, karena tidak menemukan jalan keluar dalam masalah keluarganya itu. Cinta hanya bisa menyesal.
Film ini boleh dibilang merupakan ramuan dari gagasan-gagasan “sampingan” saja. Ia tidak memilih salah satunya untuk menjadi gagasan pokok yang cukup didalami. Kemungkinan hal ini terjadi karena proses pembuatan film yang dilakukan secara “keroyokan”, hingga ia tidak cukup memberi ruang pada salah satu anggota tim untuk menonjol, dalam hal ini lebih-lebih sang sutradara. Dalam kerja “keroyokan” tadi—celakanya hal ini juga yang menjadi salah satu kekuatan film ini—yang “diperdebatkan” kelihatan lebih masalah-masalah teknis, daripada bergulat dengan gagasan.
Sebuah film memang tidak harus berangkat dari sebuah gagasan, apalagi gagasan besar. Ia bisa berangkat dari mana saja, tapi kedalaman atau bobot hasil akhirnya bisa ditentukan atau bisa kelihatan dari seberapa jauh para anggota tim dan lebih-lebih sutradara, karena sifat pekerjaannya yang sangat menentukan, memang sudah “sehari-harinya” bergulat dengan gagasan atau masalah-masalah. Tidak secara sekadarnya, tapi bersungguh-sungguh dan mendalam. Saya khawatir hal ini menjadi kekurangan pokok dari generasi muda perfilman Indonesia. Mereka memiliki kesempatan pendidikan yang jauh lebih baik dari generasi sebelumnya, tapi pendidikan mereka pun lebih banyak merupakan pendidikan “teknis”. Tentu sekolah film tidak memberikan pendidikan “gagasan”. Hal ini harus dicari di tempat lain dan sangat tergantung dari intensitas hidup seseorang.
Pendapat ini tentu saja bisa digugat dengan pendapat lain: bukankah ini hanya film pop biasa?; apakah sah menuntut hal-hal seperti tersebut di atas untuk sebuah film pop? Terhadap gugatan ini bisa diajukan sebuah contoh yang menarik: The Graduate (1967) yang dibintangi oleh Dustin Hoffman saat “remaja”, disutradarai oleh Mike Nichols dan dihiasi oleh lagu-lagu pop yang sangat merdu dari Simon dan Garfunkel. Film ini boleh dibilang mengandung muatan tentang alienasi anak muda tahun 60an yang bingung, tak tahu mau kemana di tengah harapan para orangtua dan masyarakat mengenai peran yang harus dilakoninya.
Rasanya benar juga kata-kata Hemmingway, salah satu sastrawan besar Amerika Serikat, bahwa mengarang itu tidak bisa diajarkan, tapi bisa dipelajari.
---------------------------------------------
(1) Judul dan kisah pokok sinetron ini mengambilalih film Pernikahan Dini (1987) yang disutradarai oleh Yazman Yazid. Pemain utamanya: Mathias Muchus dan Gladys Suwandi. Film ini mendapat Unggulan untuk Cerita pada FFI 1988. Inti kisahnya: meski masih sangat muda, sepasang remaja terpaksa nikah karena terlanjur hamil. Kehidupan pasangan remaja ini dilanda banyak masalah sampai-sampai melibatkan orangtua mereka masing-masing.
(2) Bandingkan dengan resensi-resensi terhadap Ada Apa dengan Cinta: “Sebuah film segar, lincah, berwarna lengkap dengan bahasa anak masa kini...” (Leila S Chudori dalam Tempo 10 Februari 2002, hlm 116). Atau “Ia adalah ungkapan kultural generasi ini, masyarakat kontemporer...” dan “...juga bisa dilihat sebagai sistem dari obyek yang membentuk masyarakat konsumen...” (Bre dalam Kompas 10 Februari 2002, hlm 1)
(3) Ini istilah canda untuk pemain-pemain setengah baya. Istilah ini dipopulerkan oleh almarhum Ami Prijono.
(4) Memang ada pasar musik anak-anak yang jumlahnya cukup menggiurkan, tapi pasar ini rasanya tidak digarap sungguh-sungguh seperti pasar remaja, dan sangat tergantung dari “bakat” penyanyi anak-anak yang muncul. Ada juga pasar lain: seperti lagu-lagu keroncong, gamelan, tayub, campursari dll. Pasar ini kecil hingga tidak dihiraukan oleh pengusaha-pengusaha besar.
(5) Tentang lirik lagu ini, Remy Sylado pernah membahasnya secara menarik dalam artikel “Kebebalan Sang Mengapa” dalam Prisma, No 6, Juni 1977, Tahun VI.
(6) Seperti yang sering saya singgung dalam tulisan-tulisan lain (antara lain: xjb, “Nonton Film Nonton Indonesia”, Kompas 7 Juli 1985), dalam film Indonesia sebenarnya tidak ada yang disebut karakter. Yang ada adalah tipologi sifat tertentu. Karena tidak ada karakter, tentu tidak ada perkembangan karakter.
(7) Hal ini pernah ditulis dalam JB Kristanto, “Film Indonesia dan Akal Sehat”, suplemen “Bentara”, Kompas 7 September 2001
(8) Baca resensi-resensi tentang film ini yang penuh pujian, hingga terasa berlebihan. Mungkin sikap yang diambil para penulis resensi itu kira-kira “demi perfilman nasional” yang sudah lama berada dalam keadaan sekarat.
(9) Saya lebih suka menggunakan istilah gagasan daripada pesan atau message, karena “gagasan” lebih netral dan tidak menggurui.
Catatan: Pikiran dalam tulisan ini pertama kali dikemukakan dalam diskusi tentang film Ada Apa dengan Cinta? di Teater Utan Kayu 5 Maret 2002
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)