Tinjauan Ambisi Besar Sebatas Kata-Kata

5/10 Angga Rulianto 22-02-2012

Kita cenderung tergoda untuk berkeluh-kesah kepada orang-orang terdekat yang dipercaya, entah itu teman atau keluarga. Namun semenjak Twitter masuk secara luwes ke ruang privat dan pikiran para penggunanya, makna kata 'terdekat' berubah. Kini, tweeps—sebutan bagi pengguna Twitter—akan merasa dekat dan pelan-pelan akrab dengan siapapun yang gemar menimpali tweet-tweet-nya, tanpa perlu terlalu repot memedulikan soal identitas. Kedekatan emosi juga akan terbentuk, terlebih jika isi reply atau retweet-nya sehati dengan maksud tweet kita.

Dengan pilihan cara tutur yang menjanjikan dari sutradara Kuntz Agus, #republiktwitter berusaha mendedah lebih luas tentang kecenderungan tersebut lewat Sukmo (Abimana Aryasatya) dan Hanum (Laura Basuki). Dua tweeps ini aktif berkicau, sehingga mereka terhubung dan jadi saling kenal, bahkan sampai jatuh hati. Padahal keduanya belum pernah bertatap muka dan di antaranya terbentang jarak ratusan kilometer. Sukmo masih jadi mahasiswa tahap akhir di Yogyakarta, sedangkan Hanum baru saja merintis karier sebagai wartawan majalah berita di Jakarta.

Jumlah 140 huruf yang terbatas dalam Twitter tak urung membuat keduanya saling merasa sehati. Tengok saja mini bio di akun Twitter mereka. Sukmo mendeskripsikan dirinya, "Pangeran Samberkata", sedangkan Hanum adalah si "Jurnalis Bawel". Kurang pas bagaimana lagi? Saking sudah merasa cocok, Sukmo nekat ke Jakarta menumpang di rumah sohib karibnya, Andre (Ben Kasyafani). Sukmo memang bukan sedang mengejar komitmen dari Hanum. Dia cuma menuruti kata hatinya, seperti yang disarankan oleh kalimat pembuka di laman beranda Twitter versi lama, "Follow Your Heart".

Di Jakarta, kopdar itu harus tertunda. Plot lain menginterupsi: oleh Belo Harahap (Edi Oglek), Sukmo ditawari pekerjaan yang tugasnya mengelola akun Twitter milik orang-orang penting dan memasukkannya ke dalam daftar trending topic. Para klien itu datang dari jaring koneksi Kemal Pambudi (Tio Pakusadewo), seorang konsultan komunikasi. Salah satu klien terpenting mereka adalah Arif Cahyadi (Leroy Osmani), ayah Nadya (Enzy Storia)—gadis abege pacar Andre—yang bersedia jadi calon Gubernur DKI Jakarta setelah namanya berhasil jadi salah satu trending topic dan dibisiki kalimat “Suara rakyat adalah suara Twitter" oleh Kemal.

Kelindan yang Tipikal

Pekerjaan yang dilakoni Sukmo, Belo, dan Kemal rupanya punya nilai berita tinggi di mata Hanum. Setelah melalui krisis percaya diri dan sikut-sikutan dengan redakturnya, laporan Hanum ini langsung menghebohkan jagat maya dan nyata. Sayangnya ketika plot yang mengandung materi penting sekaligus berpotensi jadi penuh konflik dan intrik ini berkelindan dengan plot kopdar Sukmo-Hanum. #republiktwitter belum bisa melepaskan jejak film komedi romantis populer ala Hollywood, seperti sebut saja 27 Dresses (Anne Fletcher, 2008), yang sedikit punya kemiripan dengan #republiktwitter.

Jejak ini terendus dari tokoh Sukmo, yang kehendak dan motifnya tampak tak mampu menopang tindakannya. Walhasil, ada beberapa kelokan dalam struktur ceritanya yang terasa tanggung dan canggung. Umpamanya saat Sukmo melakukan tukar-guling dengan Hanum. Dari situ terlihat Kuntz Agus dan penulis skenario ES Ito tergesa-gesa untuk masuk ke babak berikutnya. Efek lanjutannya jelas: perasaan akrab-emosional yang seharusnya dialami Sukmo dan Hanum tak kentara dan mampet tersalurkan ke luar dari layar.

Isi Hati Bukanlah Data

Letak masalahnya bukan cuma di situ. Ciri Twitter sebagai social media yang berbasiskan pertukaran informasi turut ambil pengaruh. Informasi di Twitter sendiri bukan hanya berita ataupun data, tapi berbaur dengan perasaan si pengguna. Bias pun terjadi. Sukmo memang mengikuti kata hatinya untuk datang ke Jakarta. Pemicunya adalah tweet Hanum, yang isinya tak melulu soal data, fakta, atau malah cuilan berita, melainkan seringkali perasaan. Padahal, isi hati bukanlah rangkaian data. Dan Gilbert, psikolog dari Universitas Harvard, bilang dalam sebuah artikel di New York Times bahwa isi kicauan di Twitter lebih mengenai apa yang pengguna kira pengikutnya (follower) ingin ketahui, ketimbang apa yang sebenarnya dirasakan si pengguna. "Tweet bukanlah refleksi sederhana dari kondisi perasaan seseorang dan jangan dianggap sebagai sifatnya yang asli," kata Gilbert.

Jadi, apa yang terefleksikan dari kumpulan 140 huruf tentang isi hati? Gambaran utuh pribadi seseorang? Jelas ini mustahil. Tak heran Sukmo lalu nyaris patah arang karena gagal bersua dengan Hanum. Terlebih lagi, karena sejatinya #republiktwitter adalah tentang kopdar. Tradisi kopdar selalu mewariskan masalah serupa sejak era komunitas radio, lalu chatting dengan aplikasi mIRC dan Yahoo! Messengger, Friendster, Facebook, sampai akhirnya Twitter, yakni kekecewaan akibat ekspektasi keliru pada partner kopdar. Buktinya, ketika Sukmo malah berbuat blunder dengan berdandan necis saat menemui Hanum.

Melihat karakteristik kicauan di Twitter tersebut, pembuat film seharusnya memperkuat motif para tokoh dan mengeksplorasi cerita dengan menciptakan kejadian-kejadian yang lebih kongkret. Keliru apabila hanya bertumpu pada interpretasi isi tweet untuk menggerakkan laku tokohnya, karena rentetan sebab-akibat yang ada terasa tak masuk akal, tertebak, dan kikuk. Mari melihat Hard Candy (David Slade, 2005). Pada mulanya, film ini hanya bertumpu pada isi onlinechat antara sepasang teman yang tak saling mengenal di dunia internet. Lalu ketika mereka kopdar, kiblat kisah menjadi tak tertebak, karena motif kuat yang melandasi pertemuan kedua tokohnya ternyata bukan cuma saling bersilangan, tapi juga memang sengaja disembunyikan secara rapi. Yang terlihat kemudian perkembangan karakter kedua tokohnya pun terbangun intensif dan rentetan kejadian sebab-akibat terasa masuk nalar.

Hanya Kicauan yang Merdu

#republiktwitter juga abai terhadap suara atau keluhan orang-orang seperti Andre yang bukan pengguna dan sinis terhadap Twitter. Alih-alih memberi ruang lebih untuk menyuarakan kekesalannya dan menjadi karakter oponen yang kukuh, Andre malah diubah jadi cemoohan, karena ternyata hubungan asmaranya dengan Nadya juga berawal dari interaksi di dunia maya lewat social media populer lainnya, Facebook. Perhatikan pula kaca depan mobil VW Combi Andre. Di bagian atas, tertempel stiker Led Zeppelin, tapi plat nomor kendaraannya malah "AB 43 IL" (baca: Ababil). Pembuat film terasa ingin bermain-main dengan simbol di sini. Akan tetapi, hal ini bisa juga dibaca sebagai penguat bahwa Andre sebenarnya pun galau, tak jauh berbeda dengan Nadya, Sukmo ataupun Hanum.

Dari sikap kompromi Andre terhadap Twitter, semakin menguatkan niatan film ini yang ingin menunjukkan potensi kehebatan Twitter untuk melahirkan dinamika sosial yang berdampak besar. Salah satu caranya dengan memanfaatkan momentum jelang Pilkada DKI Jakarta. Terasalah ada ambisi yang besar. Ironisnya, bagaimanapun sampai sekarang masih sedikit sekali gerakan sosial terorganisir yang nyata sebagai tindak lanjut kecerewetan dan kekritisan masyarakat kelas menengah kita di Twitter, apalagi jika sudah menyentuh ranah politik.

#republiktwitter menyadari kondisi tersebut. Makanya di dalam film kita tak melihat ada adegan aksi demonstrasi. Namun dengan absennya penggambaran aksi massa, ambisi besar film ini pun hanya sebatas kata-kata. Seperti halnya Sukmo yang kerap melontarkan kalimat-kalimat manis, baik lewat tweet maupun verbal, sehingga terasa melelahkan untuk ditonton. Atau Kemal yang malah menonaktifkan akun Twitter-nya, yang saya pikir bukan demi melindungi Belo dan Sukmo, tapi karena menganggap tweet-tweet hanyalah kicauan yang merdu.