Ada rasa amarah menggelegak di hati para pembuat film Kisah 3 Titik yang diproduseri oleh Lola Amaria. Membandingkan film ini dengan film yang ia sutradarai sebelumnya, Minggu Pagi di Victoria Park, kesan paling menonjol adalah bahwa Kisah 3 Titik lebih merupakan film produser, sementara anggota lain bertindak lebih sebagai penyalur gagasan, yang bekerja dengan baik bahkan sangat baik, yaitu sutradara Bobby Prabowo, editor (Wawan I Wibowo) dan terutama sinematografernya (Nur Hidayat alias Monod).
Rasa amarah itu ditujukan pada ketidakadilan yang diderita para buruh miskin, yang dilukiskan tinggal di rumah petak berhimpitan di balik gedung-gedung tinggi-mewah, atas perlakuan para pengusaha dan sistem ketenagakerjaan yang berlaku. Titik Sulastri (Ririn Ekawati), yang hamil muda dan ditinggal mati suaminya, harus menyerahkan anak balitanya di bawah pengawasan tetangga, agar bisa bekerja di sebuah pabrik pakaian untuk membiayai kelangsungan hidupnya. Ketika kehamilan tak bisa lagi disembunyikan, ia diberhentikan dengan tidak ada jaminan bisa bekerja kembali. Peraturan perusahaan berkata begitu. Apalagi dia hanya pekerja kontrak.
Titik Tomboy (Maryam Supraba) yang nama sebetulnya Kartika, bekerja di sebuah pabrik sepatu kumuh dan runyam, dengan mata telanjang melihat kesewenang-wenangan pemilik pabrik yang meminta seluruh pekerja bagian pengeleman dipecat, dan diganti dengan tenaga kerja yang lebih murah. Centeng perusahaan bekerjasama dengan preman merekrut anak-anak SD untuk melakukan pekerjaan pengeleman itu. Anak-anak ini juga diracuni oleh preman perekrutnya untuk 'ngelem' (sejenis narkoba murahan yang banyak dilakukan anak jalanan). Dengan begitu sang preman bisa mengeruk duit hasil kerja anak-anak, yang sebetulnya sudah dipotong sebagian. Sebagai anak preman juga, Kartika melawan para preman yang berasal dari kampungnya juga. Hasilnya: babak belur.
Titik Dewanti (Lola Amaria), pekerja keras di sebuah perusahaan besar, dinaikkan jabatan menjadi manajer SDM di pabrik tempat kerja Titik Sulastri yang diakuisisi oleh perusahaan tempat kerja Titik Dewanti. Melihat perlakuan yang diterima Titik Sulastri, Titik Dewanti meradang dan membela pekerja tanpa daya itu dengan melanggar peraturan perusahaan. Pembelaannya seolah tak bermakna, karena Titik Sulastri tak mampu berbuat banyak saat bekerja kembali. Ia mengidap kanker.
Titik Dewanti ingin mengubah ketimpangan dengan melakukan penelitian dan mengajukan proposal yang lebih manusiawi terhadap kaum buruh. Proposal ditolak mentah-mentah oleh para petinggi perusahaan, karena hanya menambah biaya produksi dan membuat perusahaan tak mampu bersaing dengan perusahaan sejenis di negeri tetangga. Ia tak mau menyerah. Ia terus berusaha melawan, meski pada akhirnya yang terjadi adalah penyerahan tubuhnya pada bos besar dan yang berbisik padanya bahwa sang bos besar telah membereskan urusan atasan-atasan Titik Dewanti.
Keberpihakan
Cerita film itu menunjukkan keberpihakan. Hal itu penting agar apa yang menjadi pernyataan pembuat film jelas dan sampai pada sasarannya. Masalahnya adalah apakah film ini sekadar akan jadi propaganda atau juga sebuah karya yang indah sebagaimana tuntutan sebuah kesenian. Keindahan dalam sebuah film cerita berunsur banyak: karakterisasi tokohnya, pendalaman masalah hingga tidak sama dengan apa yang banyak tersaji sebagai berita dan cerita di koran dan televisi. Dan masih banyak lagi.
Kelemahan yang mencolok dalam Kisah 3 Titik: karakterisasi tiga tokoh utamanya (juga tokoh-tokoh pendamping) sama dengan karakterisasi film-film melodrama dari tahun 30-an sampai 80-an, atau juga karakterisasi dalam kisah-kisah pewayangan. Ciri pokoknya: tidak ada perubahan atau perkembangan. Sejak awal karakternya terberi. Tidak jelas, apakah karakterisasi tadi memunculkan kisah, atau kisah yang membuat karakterisasi demikian. Yang jelas, tidak ada pendalaman kisah, katakanlah, bagaimana struktur kerja kapitalisme yang menindas kecuali intrik antarpekerja baik di perusahaan induk maupun di pabrik. Kunyahan pemikiran lama saja tidak ada, apalagi pemikiran baru.
Memang tidak mudah membuat propaganda menjadi indah dan bernilai seni. Banyak seniman bahkan menabukan hal itu. Hanya segelintir seniman yang berani melakukan hal itu. WS Rendra salah satunya seperti terlihat dalam kumpulan puisinya, Potret Pembangunan dalam Puisi. Penyair Sutardji Calzoum Bachri juga pernah melakukannya dengan baik dalamTanah Air Mata.
Daripada merumus-rumuskan bagaimana memadukan propaganda dan kesenian itu, lebih baik dikutipkan cuplikan puisi dari dua penyair di atas.Sajak Kenalan Lamamu (WS Rendra, 1977): Hidup macam apa hidup ini/ Di taman yang gelap orang menjual badan/ agar mulutnya tersumpal makan/ Di hotel yang mewah istri guru menjual badan/ agar pantatnya diganjal sedan.
Satu lagi: Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia (1998): Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja/ Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan/ Amarah merajalela tanpa alamat/ Ketakutan muncul dari sampah kehidupan/ Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
Warna puisi protes lain: Tanah Air Mata (Sutardji Calzoum Bachri, 1991): Tanah airmata tanah tumpah dukaku/ mata air airmata kami/ airmata tanah air kami/ di sinilah kami berdiri/ menyanyikan airmata kami.
Sebetulnya ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk para pembuat film Kisah 3 Titik, yaitu jalan yang ditempuh oleh pembuat film dokumenter Michael Moore. Filmnya Bowling for Columbine (2002) yang berisi “perangnya” melawan budaya senjata di Amerika Serikat memenangkan piala Oscar 2003 untuk film dokumenter terbaik, dan Anniversary Prize ke-55 dalam Festival Film Internasional Cannes.
RALAT:
Artikel ini diubah pada 16 Mei 2013. Ada dua pembetulan yang dilakukan terhadap fakta-fakta dalam versi terdahulu:
1. Kalimat "film pertama yang disutradarainya, Minggu Pagi di Victoria Park" menjadi "film yang ia sutradarai sebelumnya, Minggu Pagi di Victoria Park".
2. Film Bowling for Columbine (2002) mendapat Anniversary Prize ke-55 pada Cannes Film Festival 2002, bukan piala Palem Emas.