Jika dibuat dengan production value yang lebih baik, film ini bisa jadi istimewa. Tanpa itu pun, Mata Tertutup sudah menjadi film penting karena keberhasilannya menggambarkan situasi aktual negeri ini secara jernih. Indonesia pada suatu masa, ketika dominasi dan otoritarianisme negara yang berlangsung puluhan tahun telah berakhir. Indonesia baru yang warga negaranya, di tingkat individu dan keluarga, mulai belajar menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri.
Proyek pembuatan film ini berawal dari riset yang dilakukan Maarif Institute mengenai fenomena maraknya rekuitmen NII (Negara Islam Indonesia) di sejumlah perguruan tinggi. Artinya, di tangan penulis skenario Tri Sasangko dan sutradara Garin Nugroho ada setumpuk fakta yang lengkap, mendetail, dan akurat. Mereka kemudian memilih tiga kasus untuk dikembangkan.
Tersebutlah Asimah (Jajang C. Noer), seorang ibu dominan yang kehilangan anak perempuannya, Aini (Andryani Isna). Di sudut lain negeri ada Rima (Eka Nusa Pertiwi), gadis dari keluarga berada yang memimpikan sebuah masyarakat baru yang memuliakan perempuan. Yang ketiga adalah Jabir (M. Dinu Imansyah), pemuda sederhana yang kehilangan kepercayaan pada kehidupan. Kegelisahan Aini, Rima, dan Jabir yang kian menumpuk diam-diam menjerumuskan mereka ke dalam kelompok Islam garis keras.
Garin memilih pendekatan neorealisme untuk mengurai ketiga persoalan tersebut. Kecuali Jajang, semua pemain bukan bintang film alias orang-orang biasa. Konsep artistik, pencahayan, dan berbagai aspek teknik lain juga serupa, yakni memanfaatkan apa yang ada atau tersedia. Sementara kamera bergerak dinamis mengikuti subyek dari jarak dekat. Membuat film ini terasa tidak berjarak dengan penonton dan lebih believable.
Hasilnya lebih menyerupai dokumenter ketimbang feature film. Apalagi Garin, yang dikenal sebagai sutradara Indonesia dengan kesadaran multimedia paling tinggi, banyak mengeksplorasi berbagai unsur visual dan audio di luar subyek untuk ikut “bercerita”. Misalnya, suara berita televisi, lantunan tembang berbahasa Jawa, ilustrasi musik Dwiki Dharmawan, dan lain-lain.
Film ini hadir seperti teman yang mengajak berbicara dari hati ke hati mengenai betapa rentannya kita semua terhadap fundamentalisme atau radikalisme. Bukan hanya orang bodoh dan miskin, tetapi juga kaum terpelajar dan “kelas menengah”. Itu karena pemicunya bukanlah dari luar, melainkan berasal dari dalam diri sendiri. Biasanya persoalan dalam keluarga atau kegelisahan personal yang laten.
Bagusnya film ini mengajak masing-masing kita menyelesaikanya di tingkat individu dan keluarga. Negara dan aparatnya mungkin mampu menumpas kelompok-kelompok sesat tersebut, tapi sesungguhnya tidak akan pernah menyelesaikan inti persoalannya.