“Vote for Pedro!” (Napoleon Dynamite)
Ada persamaan antara celana dalam dan jalan hidup: keduanya perlu diganti. Namun bedanya, bagi celana dalam saat penggantian sudah jelas: jika sudah terasa gatal. Tapi kapan saatnya sebuah jalan hidup harus diganti? Inilah sebuah kisah tentang seorang anak muda dan pilihan jalan hidupnya. Materi cerita seperti ini adalah bekal untuk kisah film coming of age, sebuah sub-genre dalam film drama yang laris manis di berbagai belahan dunia. Hollywood sampai punya tradisi mapan untuk tema ini dengan sutradara seperti John Hughes yang menghasilkan rentetan karya klasik, sebut saja St. Elmo's Fire atau Somekind of Wonderful, ikut serta menentukan periode-periode romantis banyak manusia di berbagai belahan dunia.
Ada juga kisah ‘sempalan’ macam Dazed and Confused (Richard Linklater) yang menggambarkan bahwa coming of age sesungguhnya adalah nonsens demi nonsens yang tak ingin ditinggalkan; hingga film-film seperti Reality Bites (Ben Stiller), Juno (Ivan Reitman), atau Napoleon Dynamite (Jared Hess) yang menarik bagi saya. Napoleon Dynamite bercerita tentang coming of age seorang geek yang sama sekali jauh dari tokoh ideal. Ia adalah anak yang berkacamata paling tebal di sekolah, paling tak dianggap hingga bahkan di-bully pun tidak. Olahraga kegemarannya adalah memain-mainkan bola yang diikat di tiang hingga berputar mengelilingi tiang, dan terkadang menghantam balik dirinya sendiri.
Namun Napoleon Dynamite punya kesamaan dengan majalah Wired. Mereka sama-sama punya anggapan bahwa menjadi geek itu keren. Tentu saja karena beberapa geek seperti Mark Zuckerberg atau Sergei Bryn berhasil menjadi orang-orang paling kaya atau terkenal di dunia (eh, siapa mereka?). Ini memang sebuah dunia yang berubah, dimana sociability bukan satu-satunya ukuran buat seseorang untuk kisah hidupnya dijadikan film, atau dipilih menjadi ketua OSIS seperti tokoh Pedro dalam film Napoleon Dynamite. Maka orang berkaos “Vote for Pedro” di Amerika bagaikan sebuah perayaan terhadap perubahan itu: being geek is cool, atau lebih besar lagi being un-cool is cool!
Kambing Jantan karya Rudy Soedjarwo punya kecenderungan serupa. Raditya Dika dalam film ini sama sekali bukan tokoh ideal dalam pengertian standar karakter yang kerap dimainkan oleh Rano Karno dalam film Indonesia zaman dulu. Ia juga berbeda dengan Rangga-nya Nicholas Saputra, bertolak belakang dengan Fachry-nya Fedi Nuril, apalagi Azzam dari film Ketika Cinta Bertasbih. Dika tak dimaksudkan untuk membangkitkan simpati. Dika lahir dengan latar belakang orangtuanya yang dengan tenang bisa meminta adik-adiknya mengambil suara untuk memutuskan apakah ia akan sekolah di Australia atau di UI (Universitas Indonesia). Dalam keadaan di mana sekolah jadi salah satu kenikmatan paling mewah di negeri ini, keluhan Dika itu terasa jadi sebuah istana paling mewah di kawasan jetset.
Namun bukan soal pilihan itu semata yang membuat Dika jadi tak bisa dijatuhi simpati. Ia adalah seorang yang hidup di dunianya dan asik dengan lelucon-leluconnya sendiri. Bayangkanlah bahwa ia akhirnya memilih bersekolah di Adelaide karena nama kota itu bagus. Siapa peduli? Dan apakah seharusnya hal semacam itu lucu? Dan ternyata seorang teman Dika bermain band membahasnya sambil menyumpahi supaya Dika dapat kerja di tempat yang namanya jelek sekali (saya lupa apa namanya karena memang tak penting). Apakah soal nama yang lucu atau tidak itu punya hubungan dengan penonton?
Ini dia: apa yang bisa menghubungkan Dika dengan penonton? Film ini tak berusaha menempatkan Dika sebagai orang yang perlu diberi simpati. Masalah-masalah yang dihadapinya tak penting dan tak berhubungan dengan orang banyak. Problem individualnya adalah problem dengan ukurannya sendiri. Lihat kemalasannya untuk berhubungan jarak jauh atau memutuskan untuk ganti pacar begitu saja tanpa alasan yang jelas. Itu terjadi bukan karena ia seorang playboy. Playboy adalah sebuah ukuran yang lahir dari interaksi dan penilaian orang. Sedangkan karakter Dika berada di luar ukuran-ukuran, bahkan ukuran yang bisa membuatnya menjadi tokoh antagonis.
Budaya pop
Maka Kambing Jantan sebagai film bisa jadi merupakan sebuah interface dari dunia yang asik sendiri dengan dunia budaya pop arus utama. Sebagai sebuah pekerjaan studio besar (Indika), film ini terasa seperti membawa tema pinggiran, sekalipun materi ini diadopsi dari salah satu buku paling laris dalam sepuluh tahun belakangan. Memang ada semacam hitung-hitungan bahwa pembaca buku (dan blog) Kambing Jantan kemungkinan besar sudah menjadi penonton potensial ketika buku ini diadaptasi jadi film. Tapi kumpulan lema sebuah blog yang dibukukan tak menyediakan kekisahan dan drama yang cukup untuk sebagai materi film.
Di sinilah kerja para pengadaptasi buku ini jadi penting karena merekalah yang memberi mayapada pada hidup Dika. Ini jadi sebuah pertaruhan yang cukup berani: apa yang bisa menjadi daya tarik bagi seorang anak yang dunianya adalah dunia asik sendiri dan berasal dari ayah dan ibu yang masih memakai baju tidur bernyanyi lagu Rambadia di pagi hari? Dari keluarga yang nyaris seperti keluarga dalam katalog yang dibuat Edwin dalam film-film pendeknya ini, tak heran jika Dika adalah orang yang mencari uang dengan cara memakai baju kambing di pinggir jalan dan berharap orang tertarik pada tariannya yang eksentrik. Maka bagi beberapa orang tak mudah memahami apa sesungguhnya masalah anak ini dan kenapa jalan hidupnya perlu berubah.
Harus dilihat bahwa Dika dan Kambing Jantan-nya ini lahir di dunia internet, sebuah dunia di mana cita-cita tertinggi para pelaku utamanya adalah menghilangnya ukuran fisik dan manusia menjadi sebuah kesadaran penuh. Interaksi fisik? Lupakan, karena monyet yang bisa mengetik pun bisa menyamar jadi perempuan secantik Angeline Jolie atau Anne Hathaway.
Akibatnya karakter ini berada dalam semacam limbo: nyata dan tidak nyata. Dalam konteks ini, Dika menjadi sebuah representasi bagi kebebasan memilih yang ekstrem yaitu ketika manusia bisa memilih semacam realitas bagi dirinya sendiri. Realitas diri inilah yang menentukan makna dari fakta dan data yang riuh rendah mengelilingi pribadi-pribadi itu. Sebuah perayaan bagi dunia pemaknaan yang arbitrer, lepas konteks. Sebuah perayaan terhadap pembentukan borjuasi baru yang terbentuk berdasar kapasitas untuk berpindah dari dunia real dan dunia tidak real tanpa mengalami—atau mengabaikan, mengorbankan atau menunda—gejolak sosial.
Previlese borjuasi ini dibentuk dari ketersediaan waktu luang yang berlimpah dan tentu saja referensi. Previlese ini hanya bisa didapat oleh karakter yang sepanjang umurnya (yang sama dengan durasi film) selalu memakai pakaian sebagai komentar atau penegas terhadap budaya pop. Pemaknaan yang sebenarnya berguna demi pemaknaan itu sendiri. Sejajar belaka dengan pemujaan terhadap barang vintage atau keterkejutan melihat papan penggilesan masih dijual di pasar-pasar tradisional dan kemudian dimaknai sebagai tatakan Macbook Air.
Maka bagi para borjuasi baru Indonesia zaman intenet begini, pergulatan coming of age adalah pergulatan kemampuan dalam mencerna apa yang nyata dan yang tidak nyata dan membuat pemaknaan darinya. Itulah indikator yang sama kongkretnya dengan ‘celana dalam gatal’. Ketika kenyataan tak bisa lagi diterima sekalipun hanya berdasar (atau justru karena) alasan-alasan pribadi. Saat ketidakbisamenerimaan terjadi, saat itulah jalan hidup harus diganti.