Jika tak macet, berkendara dari Jakarta menuju Bandung lewat jalan tol Cipularang hanya menghabiskan waktu sekitar tiga jam. Namun realita itu hanya jadi utopia, apalagi pada hari Sabtu, ketika ribuan mobil dari Jakarta berduyun-duyun ke kota kembang untuk pelesir. Macet pun tak bisa ditolak. Tiga sohib karib, Raka (Ananda Omesh), Willy (Boy William), dan Rio (Arie Dagienkz), terjebak dalam antrean panjang itu sejak pagi. Padahal mereka sedang dikejar tenggat. Nenek Raka (Nani Widjaja) yang sedang sekarat ingin menyantap brownies kukus Mama Cake bikinan langsung dari toko pusatnya di Bandung. Ayah Raka (Rudy Salam) mewajibkan kue brownies itu sudah tiba di Jakarta pada pukul 1 siang.
Sebagaimana sebuah road movie, tentu plot Mama Cake membuat permintaan ayah Raka jadi kemustahilan, karena rentetan kejadian naas menimpa ketiga sahabat ini. Rentetan kejadian itu tapi dijawantahkan kelewat cerewet oleh pembuat film. Bukan cuma akibat rangkaian dialog dan muatannya yang amat padat, tapi yang paling mengganggu mata adalah visualisasinya. Apa yang terucap dari mulut para tokohnya tampil lagi secara tertulis di layar. Belum lagi penyuntingannya yang boros, bahkan untuk satu adegan saja.
Anggy Umbara, sutradara film ini, jelas terinspirasi dari cara penuturan cerita ala komik lewat panel-panel dan grafis yang penuh warna. Namun, hanya sebatas itu. Selebihnya ia menjadi epigon, sebut saja, Edgar Wright yang menyutradari film populer Scott Pilgrim vs. The World (2010). Apalagi, kita sebagai penonton dijejali secara paksa untuk menerima gaya yang disajikan terlalu repetitif itu, tanpa diberi kepercayaan lebih luas untuk mencerna dan menafsirkannya sendiri. Otomatis yang terjadi di sini adalah verbalisme.
Pemaksaan ini juga mewujud dalam beberapa topik obrolan ketiga sohib ini, yang lagi-lagi mengacu pada verbalisme. Sifat verbalisme yang mengutamakan kata-kata ketimbang gambar memang tampil telanjang dalam berbagai adegan dalam Mama Cake. Misalnya, warna-warna mencolok dipakai pembuat film pada latar eksterior ketika ketiga sohib ini sedang berdialog panjang lebar. Pewarnaan seperti ini justru membuat gambar tampak wagu dan sekadar wujud implementasi sebuah gaya yang dianut pembuat film.
Dari topik-topik obrolan itu pula, tertangkap upaya pembuat film untuk melontarkan komentar-komentar sosial yang kritis tentang kehidupan modern muda-mudi metropolitan. Itupun sembari meniupkan nafas spiritualitas dan mengulas isu moralitas secara banal, salah satunya dengan menampilkan perilaku homoseksual yang stereotipikal. Namun karena cara komentarnya bersifat turistik, maka tak pelak lagi, verbalisme dalam film ini pun terasa menceramahi. Dan, kita tahu bioskop bukanlah mimbar untuk ceramah.