Oleh kritik perfilman Indonesia, peta perkembangan perfilman Indonesia umumnya disederhanakan menjadi dua bagian saja, yakni masa awal perkembangan dimana film-film Indonesia dikategorikan sebagai dalam masa perjuangan, dan masa sesudahnya dimana film lebih diperlakukan sebagai barang dagangan. Periode awal ditandai kepeloporan Usmar Ismail didukung Djamaludin Malik dan Suryo Sumanto, periode berikutnya dari era maraknya industri perfilman tahun 1970an sampai sekarang kesulitan menyebut kepeloporan satu dua tokoh. Urusannya melebar, terbawa oleh perkembangan bisnis dan tak kalah penting perkembangan teknologi sinema yang membuat dunia perfilman menjadi kian egaliter, siapa saja kian mudah ambil bagian.
Dengan penyederhanaan tadi, terabaikan riak-riak kecil yang sebenarnya ikut memberi warna perkembangan film kita. Sebagaimana karya-karya kreatif lain, terutama dalam pembikinan karya film yang termasuk entitas padat modal, saya berkeyakinan pasti di situ terus ada tegangan antara film sebagai produk dagang dan film sebagai karya estetik. Pergulatan pada sektor estetik ini pun pasti sangat dinamis, mengingat terus-menerus berkembangnya teknologi sinema.
Riak-riak kecil pencapaian estetik sejumlah pekerja film termasuk para sineas dari komunitas-komunitas film di daerah dengan berbagai genre-nya tergulung oleh penyederhanaan skema perkembangan tadi. Ditambah lagi gulungan arus besar perfilman yang bersifat industrial. Dia jadi kalah gebyar, kalah promosi, kalah kerumunan selebritas, dan terutama dalam zaman ini kalah dukungan buzzer yang ribut luar biasa di media sosial.
Catatan ini saya buat untuk Lola Amaria dengan karya terbarunya 6,9 Detik-sebuah film berbau dokumenter, biopic, atau apalah sebutannya tentang atlet panjat tebing perebut medali emas Asian Games 2018, Aries Susanti Rahayu. Film beredar di bioskop mulai 26 September 2019. Saya menontonnya beberapa waktu lalu dalam premier yang diadakan di Jakarta, dihadiri oleh Aries.
***
Saya menganggap Lola Amaria sebagai riak yang tak henti memberikan warna tersendiri melalui film-filmnya. Bahasa anak gaul: tak ada matinya. Selain sebagai pemain, dia dikenal sebagai sutradara. Salah satu filmnya yang terkenal adalah Minggu Pagi di Victoria Park (2010) yang bercerita mengenai kehidupan tenaga kerja wanita Indonesia di Hongkong.
Dalam sejumlah filmnya Lola juga bertindak sebagai produser. Begitu pun dengan 6,9 Detik. Ia menjadi sutradara sekaligus produser. Saya bayangkan, perjuangan mencari uang untuk membikin film bukanlah hal ringan, dan kali ini ia dedikasikan untuk Aries Susanti Rahayu, atlet yang berasal dari desa miskin di daerah Grobogan, Jawa Tengah.
"Saya menyukai perempuan pejuang. Apalagi latar belakang keluarganya yang pas-pasan. Olahraga panjat tebing juga sangat menantang untuk difilmkan. Perempuan yang menggeluti panjat tebing pasti perempuan yang hebat karena olahraga ini ekstrem," kata Lola.
Percakapan dengan Lola sengaja saya sertakan, karena terus terang saya sependapat dengan sikap tersebut. Kondisi sosial Indonesia belakangan makin dikuasai paham misoginis-sebuah pandangan yang selalu berprasangka buruk terhadap perempuan. Keadilan dan kepantasan sosial dilihat dari sudut pandang lelaki, menjadikan perempuan melulu obyek yang selalu dianggap salah.
Ditambah dengan latar belakang kemiskinan sebuah desa di Grobogan, film ini menjadi istimewa sejak dari dalam pikiran. Siapa peduli dengan hubungan keluarga, sang ayah lelaki muda berpakaian necis bersiap ke kantor pagi hari sembari mencium kening istri yang mengantar sampai car port? Kalau ada film dengan adegan demikian saya akan segera angkat kaki dari bioskop. Imajinasi sutradara mengenai keluarga sebatas iklan perumahan kelas menengah. Bikin mual. Biar film semacam itu ditonton oleh kelas menengah kita saja.
Hubungan keluarga dalam 6,9 Detik adalah hubungan intens yang tidak terucap tetapi merasuk dalam di bawah permukaan. Meminjam puisi penyair Semarang, Darmanto JT dulu: Seperti lidah ia di mulut kita tak terasa, seperti jantung ia di dada kita tak teraba. Film ini jauh dari kekenesan remaja kota yang mendominasi dunia hiburan kita.
Perjalanan hidup Aries (kelahiran Grobogan, 21 Mei 1995) ditampilkan dalam tiga penggalan utama, masa kecil (diperankan Kayla Ardianto), masa remaja (diperankan Nesya Chandria), dan masa gemilang ketika Aries berjuang meraih prestasi, diperankan oleh Aries Susanti Rahayu herself.
Sang ibu menjadi pembantu di Arab Saudi. Perasaan jauh dari kasih sayang ibu membuat Aries selalu bergejolak di dalam dan berulah di luar. Dari kecil sampai remaja tampangnya konsisten bete.
Tetangga mengawasi keluarga yang anak-anaknya terdiri dari para perempuan ini seperti mengawasi pendosa. Hanya karena ibu tidak ada, anak perempuan di rumah dianggap bebas, teman lelaki yang datang dicurigai melanggar tindak susila.
"Cangkemmu..." kata Aries kecil dengan berani pada tetangga yang menyatroni rumah mereka tatkala ada tamu lelaki teman kakak. Sebagian film menggunakan bahasa Jawa kasar. Bahasa itu khas daerah Grobogan, Purwodadi, Pati, Blora, yang dari dulu menolak tunduk pada hegemoni Mataram. Arya Panangsang dan Pramoedya Ananta Toer berasal dari wilayah kultural ini.
Setahap demi setahap Aries mengukir prestasi dalam dunia olahraga. Ia memenangi lomba di sekolah, di daerah, kemudian masuk pelatnas di daerah. Itu tak mengurangi keresahannya, karena kebanggaan memperoleh piala selalu tidak disaksikan oleh ibu.
Kerinduan atas kehadiran ibu hanya bisa diungkapkan melalui panggilan terhadap ibu di gentong, tempat menyimpan air yang biasa terdapat di desa. Sambil wajah menatap permukaan air di dalam gentong, ia menyeru: Ibu. Inilah dimensi spiritual orang Jawa, untuk terhubung pada dia yang kita cinta, bahkan kalau dia yang kita cinta sudah di alam baka.
Dengan cara seperti itu Lola meringkas perjalanan hidup Aries. Kesepian, kerinduan akan kasih sayang, kebimbangan, ia jadikan tema pokok perjalanan hidup sang tokoh, menjadi semacam stream of consciousness. Ini sebenarnya hal lumrah dalam kehidupan seorang yang menjalani gladi fisik. Seorang atlet sejati pada akhirnya akan paham, bahwa olahraga sejatinya bukan sekadar urusan skor dan urusan menang/kalah, melainkan soal perjuangan memenangi diri sendiri.
Yang pantas diapresiasi adalah keberhasilan Lola mengedepankan adegan-adegan yang efektif untuk menunjang gagasan tersebut. Kehidupan bersahaja dari sebuah kampung di hutan jati, dinamika sosial perdesaan, dedikasi guru dan pelatih olahraga di kota kecil, rendahnya harga jagung, dan lain-lain. Tidak ada gambar yang sia-sia, melukiskan perjalanan seorang gadis, yang sampai saat ini masih terus menempa diri untuk menghadapi Olimpiade pada tahun 2020 mendatang di Tokyo.
Keluar dari bioskop saya sempat bertemu Aries dan Lola. Mereka tengah berdiri bersebelahan. Manis-manis. Keduanya saya salami. Untuk Aries atas pencapaiannya di dunia olahraga, untuk Lola atas keberhasilan filmnya mengabadikan pencapaian seorang atlet, yang akan menjadi inspirasi bagi banyak orang sepanjang massa.