Pertama kali melihat judulnya, saya sudah lumayan skeptis. Namun, setelah saya benar-benar duduk di depan layar bioskop, unexpectedly, film ini lumayan bisa dinikmati. Saya terutama suka sekali bagaimana kota Yogyakarta digambarkan oleh film ini. Warna dan kontur imaji yang menghidupkan romantisme visual kita akan Yogyakarta, lengkap dengan atmosfir kehidupan di gang-gang pemukiman yang khas. Sayang sekali usaha visualisasi yang patut diapresiasi ini justru dibarengi dengan artikulasi chauvinisme laki-laki yang agak keterlaluan.
Lewat model narasi kesukesan ‘from zero to hero’, Cewek Saweran memperkenalkan kita pada tokoh utama yang merupakan hasil kecelakaan antara model karakter yang buruk dan kemampuan akting yang jauh lebih buruk. Ini kemudian menjadi ironi luar biasa karena film ini punya sederet pemeran pendamping yang patut diberi Citra masing-masing satu. Meskipun memainkan model-model karakter klise, para aktor kawakan yang terlatih dalam tradisi teater ini tampil luar biasa hidup dan menghibur (Marwoto Kawer, Heru Kesawa Murti, Djaduk Ferianto). Ini sama sekali tidak terjadi pada karakter utama kita, Ayu (Juwita Bahar). Tokoh Ayu sama sekali tidak menarik, sehingga untuk bersimpati padanya pun terasa sulit. Mungkin karena saya penonton perempuan.
Alih-alih menggambarkan perempuan, tokoh Ayu adalah manifestasi fantasi laki-laki akan perempuan. Ayu memainkan semua role-fantasy itu sekaligus; ia adalah damsel in distress, good daughter, sexy singer, the nice girl next door. Ia juga memainkan posisi biner fantasi laki-laki atas perempuan paling klasik dalam sejarah: angel/devil, mother/prostitute atau dalam variannya di sini adalah bad girl/good girl (perempuan baik-baik/ perempuan nakal).
Sisi ‘perempuan nakal’ sudah diperkenalkan jauh sebelum penonton masuk bioskop. Poster yang menampilkan tubuh seksi perempuan dari belakang (tanpa wajah, seolah ‘perempuan’ hanya ‘tubuh’) dengan judul sensasional Cewek Saweran membuat proses pembentukan asumsi pra-menonton berjalan sangat mudah. Perempuan (ditandai oleh gambar tubuh seksi) dan saweran (uang) mengingatkan kita pada model transaksi dalam prostitusi.
Lalu kita menyaksikan Ayu di layar dan diperkenalkan pada citra dirinya yang lain sebagai perempuan baik-baik. Ayu tinggal dengan ayahnya yang sakit parah (selain leukemia dan amnesia, batuk berdarah adalah konsensus ‘sakit parah’ yang paling sering ditemukan dalam film-film dan sinetron Indonesia) di sebuah desa kecil yang penduduknya kurang apresiatif dengan aksi-aksi panggung Ayu. Didorong oleh ayahnya, Ayu pergi mengejar impiannya menjadi penyanyi dangdut terkenal ke Yogyakarta.
Perjalanan karir Ayu (kalau tidak mau dibilang ‘perjalanan hidup’) sepenuhnya bergantung pada empat tokoh laki-laki dalam film ini (ayahnya, teman dekatnya/Dimas, pemilik orkes, produser). Ayu adalah bentuk sempurna dari fantasi akan ketidakmandirian perempuan yang tak sanggup melakukan/mencapai apapun tanpa dorongan, kekuasaan, ataupun pertolongan laki-laki. Fantasi yang ‘membenarkan’ konsepsi gender atas perempuan sebagai yang lemah, yang tak berdaya, yang perlu perlindungan, dan yang tak punya identitas tanpa laki-laki dalam hidup mereka (misalnya: dalam lingkungan sosial ia lebih sering dirujuk sebagai ‘anak ayahnya’ atau ‘istri suaminya’). Fantasi semacam ini tentu akan memberikan ruang bagi laki-laki untuk menjalani peran sebagai yang kuat, yang berdaya, dan yang melindungi. Sebuah usaha untuk memberi legitimasi pada supremasi laki-laki yang dibentuk sejarah selama berabad-abad bahwa mereka lebih berhak memiliki identitas personal dalam masyarakat dibandingkan perempuan.
Jika Ayu sebagai perempuan mewakili fantasi laki-laki belaka, maka Ayu sebagai penyanyi dangdut perempuan membawa kompleksitas yang lebih lagi. Karena tak hanya ‘kebintangan’ seorang penyanyi sebagai identitas diri, penyanyi dangdut perempuan juga memperlihatkan hak kepemilikan perempuan atas tubuh dan seksualitasnya di depan publik. Hal ini rupanya mengusik supremasi laki-laki lebih dalam, sehingga imaji kebintangan penyanyi dangdut yang sangat kental dengan nuansa seksualitas dan ketubuhan harus disingkirkan dari sosok Ayu.
Penampilan Ayu di panggung mewakili dengan baik konsep sensor ini. Ayu boleh jadi menyanyi dan menari segenit penyanyi-penyanyi dangdut lain yang ditampilkan dalam film. Namun, pakaiannya luar biasa sopan untuk ukuran penyanyi dangdut dengan model dan tailor-cut ala produk desainer yang elegan dan age-appropriate, alih-alih eye-catchy dan sexy.
Ayu, sebagai sosok penyanyi dangdut perempuan yang disensor, pada dasarnya memperlihatkan bagaimana laki-laki membayangkan/ mengharapkan perempuan ‘membayar’ kompensasi dari kepemilikan identitas diri dalam masyarakat (misalnya: sebagai bintang). Caranya tentu bisa macam-macam, asal menyenangkan/ memenuhi hasrat laki-laki seperti halnya yang dicontohkan Ayu: menjadi anak perempuan yang berbakti (pada ayah), menjadi ‘anak angkat’ yang membanggakan (pada ‘ayah angkat’/ patron), menjadi pacar yang bergantung (pada kekasih laki-laki), atau minimal menjadi bintang yang patuh (pada manajer laki-laki).
Pada bentuk akhir transformasi hasil penyensoran ini, bisa dikatakan Ayu telah menjelma bagai citra publik Gita Gutawa versi dangdut. Gabungan antara sosok ‘princess’ dan ‘daddy's little girl’ yang menjadi ironis jika harus kita bandingkan dengan kehidupan para penyanyi dangdut ala Purawisata yang mewakili kalangan kelas pekerja dunia hiburan dan untuk bertahan hidup tak bakal sempat berlagak bak putri apalagi sibuk mengurusi dilema moral karena di-cap ‘lonte’.
Cap ‘lonte’ atau pelacur itulah yang kemudian mendorong Ayu yang luar biasa lemah hatinya itu untuk memutuskan berhenti menyanyi. Seolah belum cukup dengan sensor; kehidupan penyanyi dangdut perempuan pun masih perlu dimaknai dalam film ini sebagai sesuatu yang bisa saling dipertukarkan (interchangeable) dengan prostitusi dan dihakimi secara moral alih-alih memahaminya sebagai bagian dari carut marut kondisi kemiskinan, eksploitasi industri hiburan, ketimpangan relasi gender, dan rendahnya tingkat pendidikan.
Tak ayal hal ini mengingatkan kita pada awal karir Inul Daratista yang banyak dikecam oleh kalangan elit dangdut. Tak lain dari sosok otoritas laki-laki/patron dunia dangdut Indonesia sendiri yang ‘mencabut’ identitas penyanyi dangdut dari Inul (dan Anisa Bahar, ibu dari Juwita Bahar). Sang Raja dangdut, Rhoma Irama menyatakan bahwa goyangan ‘ranjang’ Inul dan Anisa Bahar ‘merusak’ dangdut. Tentu yang dimaksud adalah ‘merusak’ dangdut yang dibayangkan kelas menengah atas; dangdut yang steril dari eksploitasi industri hiburan dan non-vulgar.
Dalam upaya membentuk citra dangdut yang sesuai dengan imajinasi laki-laki dan kelas menengah-atas itulah, maka sosok Ayu, seperti juga Inul di awal karirnya, harus disensor. Kerasnya dunia industri hiburan dengan segala praktek-praktek eksploitasinya yang menjerat harus disingkirkan, sehingga memberikan imaji yang nyaman dan menyenangkan bagi para laki-laki tersebut. Meninggalkan perempuan-perempuan yang tersensor ini dalam keadaan terhimpit di antara tirani dua kekuasaan sekaligus: kapitalisme dan chauvinisme laki-laki.
Film Cewek Saweran memang tak pernah melakukan klaim diri sebagai teks feminis apalagi punya cita-cita melaksanakan agenda pemberdayaan perempuan. Namun, apa yang menjadi alasan film ini untuk menyensor perempuan demi kesenangan penonton laki-laki? Bukankah penonton tak hanya laki-laki? Bukankah perempuan juga bagian dari penonton? Dan bukankah para penyanyi dangdut perempuan di berbagai pusat hiburan di seluruh negeri itu juga adalah perempuan? Perempuan-perempuan pekerja keras yang mandiri dan menggunakan segala apa yang mereka punya demi mempertahankan hidup; karena tak mungkin bagi mereka untuk menggantungkan diri pada laki-laki/’ayah’/patron tanpa melepaskan identitas dirinya atau menawarkan komoditas yang punya nilai jual: seks dan tubuh. Percayalah, tanpa perlu disensor oleh film dengan ‘pandangan laki-laki’ (male gaze), para penyanyi dangdut perempuan itu sudah ‘membayar’ cukup mahal atas hidup mereka.