Kehidupan penduduk Indonesia di perbatasan dengan Malaysia tiba-tiba menjadi isu sexy seiring munculnya berbagai ketegangan antara dua bangsa serumpun itu. Kita terlebih dahulu mesti berterima kasih kepada pembuat film ini, yang sudah mau bersusah-payah mengangkat persoalan pelik tersebut. Ini sungguh sumbangan tiada terkira guna memperkaya khazanah sosial-budaya perfilman Indonesia.
Film ini dibuat dengan semangat memotret tragedi nasionalisme di desa perbatasan Indonesia-Malaysia. Melalui cerita keluarga yang terbelah (ayah dan anak perempuannya pindah ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, sedangkan anak laki-laki dan kakeknya yang bekas pejuang memilih tetap bertahan di tengah “hujan batu di negeri sendiri”), kita pelan-pelan diajak melihat berbagai ketertinggalan dan keterasingan masyarakat di sana terhadap negaranya sendiri. Jauh dari penggambaran Koes Plus dalam lagu Kolam Susu, yang penggalan liriknya (Orang bilang tanah kita tanah surga…) dijadikan judul.
Hal itu sekaligus kritik pedas mengenai absennya negara atau ketidakpedulian pemerintah Republik Indonesia. Perhatikan bagaimana tokoh guru dan dokter yang merupakan simbol dari “perhatian pusat terhadap daerah” hadir di sana karena “kecelakaan”, yakni terpaksa dan mau coba-coba saja.
Tapi entah mengapa, penulis dan sutradara memilih pendekatan yang sarat komedi, antara lain melalui karakter komikal representasi negara: kepala desa dan pejabat dari pusat. Akibatnya fatal. Tragedi yang terjadi di wilayah terpencil tersebut jadi kehilangan sisi tragisnya, dan komedi itu pun hanya berhenti menjadi banyolan, jauh dari satir.
Lebih gawat lagi, film ini berhasrat membangkitkan nasionalisme penonton, yang berada di titik terendah setelah menyaksikan betapa terlantarnya warga Indonesia di perbatasan, cukup dengan cerita pengalaman heroik Sang Kakek mengusir tentara Gurkha ditambah sejumlah sentimen kebencian terhadap (warga) Malaysia. Misalnya, penggambaran istri baru Si Ayah yang gemuk, jelek, dan pemalas. Juga pedagang yang menggelar barang jualannya di atas bendera merah-putih, atau supir angkutan di garis perbatasan (di scene awal memakai kaos “I Love Malaysia”) yang dikesankan sebagai tentara Gurkha.
Lalu, tanpa mau repot-repot menawarkan solusi, film ditutup dengan petuah agar apapun yang terjadi kita jangan sampai kehilangan rasa cinta pada negeri ini. Padahal, cinta juga membutuhkan alasan, betapa pun tidak rasionalnya. Dan film ini gagal memberikan satu saja alasan untuk memelihara nasionalisme di tengah persoalan besar dan pelik tersebut.