De mortuis nil nisi bonum. Pepatah bahasa Latin ini biasanya digunakan sebagai dasar atau sikap untuk pidato pemakaman orang meninggal atau menulis “in memoriam” di media. Artinya: tentang yang meninggal, hanya ada yang baik-baik saja. Inilah yang jadi sikap dasar penulis skenario Habibie & Ainun: Ginatri S Noer, Ifan Adriansyah Ismail, dan Faozan Rizal, sinematografer jempol yang mulai beralih ke kursi sutradara.
Yang meninggal dalam film Habibie & Ainun tentu saja Ainun, karena Habibie yang menulis otobiografi dengan judul sama dan menjadi dasar film, masih bugar dan bertindak sebagai penyelia isi film. Kisah Habibie pribadi, yang sejak muda bercita-cita bisa membuat pesawat terbang sebagai bentuk pengabdiannya pada negara, dan kemudian “nasib” membawanya menjadi Presiden RI, berkelindan dengan kisah cintanya dengan Ainun. Sudut pandang, sikap Habibie (terhadap politik, korupsi, ekonomi, dan lain-lain), serta “kenangannya” kepada Ainun diambil alih oleh para pembuat film.
Kalau sikap demikian yang diambil, lalu apa yang masih bisa dilakukan? Mengulik semua hal teknis, hingga terwujud dalam gambar yang enak ditonton. Penyuntingan gambarnya lancar. Begitu juga akting pemainnya yang sangat mendekati pelaku aslinya. Tidak ada gangguan mode pakaian, rambut, rumah, kursi, meja, mesin tik, becak karena sesuai dengan zamannya.
Semua elemen teknis ini, penyutradaraan, editing, penataan artistik kelihatan dilakukan dengan sangat bersungguh-sungguh. Hanya sinematografi yang cenderung “mendung” terus, hingga terasa monoton. Begitu juga musik yang di sana-sini, meski tidak mendominasi, tapi kadang mengganggu, karena sedikit sekali jeda sunyinya, hampir seperti dengung yang terus bergema.
Yang sangat dipujikan adalah usaha keras Reza Rahadian untuk lebur ke dalam tingkah-laku dan cara tutur Habibie asli. Ia melakukannya dengan konsisten dari awal hingga akhir tanpa jatuh menjadi karikatur.
Itulah yang diberikan film ini. Penonton tidak diajak berdisikusi, tapi disodori pernyataan sebuah keyakinan.