Pentingnya menjadi muslim begitu dirayakan oleh sinema Indonesia sejak meledaknya popularitas Ayat-Ayat Cinta (2008). Muslim/Islam menjelma menjadi merek dagang tersendiri di bioskop. Meskipun tidak semua film berhasil mendulang jumlah penonton yang signifikan, ia telah menciptakan pasar penontonnya sendiri dan karenanya menciptakan logika ekonominya sendiri. Pada premis dasar inilah para produser film kita meletakkan intuisi bisnisnya.
Hafalan Shalat Delisa bisa dibicarakan berada dalam koridor logika ekonomi di atas. Ia dibuat berdasarkan novel Islami yang cukup populer di kalangan pembaca buku-buku Islami dan karenanya memiliki paling tidak sejumlah penonton potensial yang akan dengan senang hati beralih dari kegiatan membaca ke menonton, meraih kesempatan menikmati bagaimana imajinasi di kepala mereka terwujud dalam bentuk imaji bergerak dan bersuara di layar. Film ini juga memiliki premis dasar kisah kemanusiaan yang simpatik dan universal. Tidak ada kisah yang lebih mengedepankan kekuatan manusia melainkan kisah tentang orang-orang yang bertahan hidup di tengah bencana. Delisa, bungsu dari empat bersaudara (semua perempuan) menjalani hidup yang baik-baik saja di kampung tepi laut Aceh yang digambarkan bak surga kecil dunia, Lhok Na, hingga kemudian gempa dan tsunami mendera dan menghancurkan segalanya. Dalam sekejap, persoalan hidupnya tak lagi soal apakah ia bisa lulus tes bacaan salat, melainkan bagaimana bertahan hidup hanya dengan ayahnya dan sebelah kakinya. Ketiga kakaknya meninggal dunia dan ibunya tak pernah bisa ditemukan.
Tak hanya itu, kisah film ini pun disusun dengan model naratif klasik paling mumpuni dalam sejarah industri film paling besar sedunia. Ia disebut klasik karena telah teruji dalam rentang waktu tertentu oleh Hollywood dan sampai kini pun masih disukai. Ini membuktikan sekali lagi posisi struktur ini dalam mesin ekonomi mereka. Berpegang pada model naratif order-disorder-order restored yang amat sangat gamblang, bisa dibayangkan di atas kertas film Hafalan Shalat Delisa menawarkan semua potensi ekonomi yang bisa dibayangkan oleh produser film Indonesia. Ketika ia mewujudkan potensinya dengan pencapaian 631.997 penonton (sampai 23/1-2012), sekali lagi pada logika ekonominya, film ini tidak memiliki permasalahan apapun. Setidaknya bagi produser dan keberlangsungan industri film Indonesia. Permasalahan muncul ketika kita memperhitungkan penonton dan kemungkinan-kemungkinan bagaimana film ini benar-benar dipersepsi. Tentu saja, ini diasumsikan jika kita peduli apakah film bisa mewujudkan potensi-potensinya yang lain, selain potensi ekonomi. Berikut hanyalah salah satu dari kemungkinan itu.
Imaji dan Bagaimana Ia Diperlakukan
Sebagaimana tukang masak, ada berjuta cara yang termungkinkan dan terbayangkan untuk menyusun imaji bersuara dalam kecepatan 24 frame/detik untuk diproyeksikan di layar. Namun, sebelum kegiatan mencipta ini dilakukan, sang tukang masak butuh mengenal paling tidak resep, bumbu-bumbu, dan segala peralatan yang ia butuhkan. Bumbu-bumbu tertentu memiliki karateristiknya tersendiri dan ketika dicampur dengan yang lain tentu menghasilkan rasa yang berbeda-beda.
Menonton bagaimana imaji diperlakukan dalam film Hafalan Shalat Delisa ibarat menikmati masakan fusion dua negara yang susah dibayangkan bisa bersanding bersama. Katakanlah masakan fusion Estonia-Maroko. Masing-masing daerah memiliki rasa lokal yang sangat khas. Tanpa pertimbangan/pemahaman mengenai kekhasan masing-masing rasa, usaha menciptakan menu fusion yang minimal bisa diterima dari keduanya akan berujung pada rasa campur aduk yang tak karuan dan komplain dari pelanggan. Saya, tentu saja adalah pelanggan (imajiner) tersebut.
Film Hafalan Shalat Delisa paling tidak menggabungkan dua teknik visual yang menonjol: penggambaran yang muncul dari perekaman adegan yang diarahkan sedemikian rupa bak sebuah pertunjukan di panggung (staging) dan penggunaan animasi 3D serta segala rupa special effect untuk menggambarkan hal-hal yang tak bisa dicapai dengan metode perekaman gambar biasa.
Staging bukanlah strategi yang asing, terutama mengingat pengaruh tradisi teater yang kuat dalam sejarah film Indonesia. Teguh Karya adalah salah satu sutradara kawakan dalam penggunaan strategi ini. Permasalahan dengan melakukan staging model teater pada film adalah perlunya pemahaman perbedaan bidang display film dan pertunjukan teater, antara panggung dan layar. Teater mengasumsikan keberadaan ruang tiga dimensi dengan benar-benar melakukan rekonstruksi ruang tiga dimensi di panggung. Sementara, meskipun layar film menciptakan ilusi kedalaman (depth) akan penggambaran tiga dimensi, ia diproyeksikan pada bidang dua dimensi. Ambil contoh Teguh Karya dalam filmnya Ibunda (1986). Kalau kita melihat beberapa penyusunan frame dan adegan-nya, kita mendapat nuansa penyusunan teatrikal yang kental. Namun, Teguh Karya tidak hanya serta-merta sekadar membuat pertunjukan teater pada set non-panggung kemudian merekamnya dengan kamera film. Ia menerjemahkan upaya staging tersebut pada bidang dua dimensi film. Panggungnya bukanlah set, melainkan frame.
Ini hal yang lalai dilakukan Hafalan Shalat Delisa. Kesan pengadeganan teatrikal yang kuat dalam film ini berada pada tataran pengadeganan pada set dan tidak terjemahkan lewat imaji film. Seolah ini sekedar adegan-adegan yang diarahkan di set non-panggung dan kamera cukup mengikuti dan merekam. Sebagian besar narasi dalam film ini kemudian tidak diakomodir oleh imaji, melainkan adegan.
Cita rasa kedua yang membuat film ini gagal menemui potensi visualnya adalah penggunaan animasi 3D dan efek-efek spesial yang amat sangat tidak meyakinkan untuk menggambarkan gempa, tsunami, dan situasi setelah bencana baik lewat pencitraan landscape maupun adegan kedatangan bantuan kemanusiaan dari AS. Adegan kedatangan tentara-tentara AS bahkan dibuat sedemikian rupa hingga mirip simulasi game di atas landscape yang catastrophic. Menontonnya membuat saya meringis sepanjang adegan karena ibarat menemukan cabai keriting di dalam hidangan pancake cokelat keju. It’s not working, dude!
Mengapa penting untuk mempermasalahkan potensi visual sebuah film? Film toh bukan semata-mata selalu soal visual. Pertanyaannya apakah film semata-mata soal ekonomi? Toh yang diharapkan bukan visual yang macam-macam. Minimal visual yang menciptakan kesenangan dalam menonton (visual pleasure), pakem paling umum yang digunakan film-film model naratif klasik Hollywood untuk membuat tiket 20.000 dan kurang lebih 1,5 jam waktu yang dihabiskan itu berarti. Sekali lagi, minimal, hal semacam ini bisa menjembatani jarak antara dua potensi film di atas.