Slank bukan cuma grup musik atau lagu-lagu rock n roll berlirik renyah. Slank juga bukan sekadar ikon atau legenda hidup. Dokumenter karya salah satu sutradara film Generasi Biru ini berhasil memperlihatkan kepada kita bahwa Slank sudah melampaui tingkat tertinggi yang bisa dirumuskan mengenai sukses dan popularitas. Eksistensi kelompok dari Gang Potlot, Duren Tiga, Jakarta, ini sudah melintasi dunia musik, hiburan, seni, bahkan kebudayaan.
Bimbim dkk., ternyata, telah menjadi semacam Tuhan bagi penggemar fanatiknya (Slankers). Dan PLUR (peace, love, unity, respect) adalah ideologinya—bukan sekadar slogan kosong. Yang menarik, Slank sendiri menyadari hal tersebut namun justru memilih bersikap rendah hati, bersahaja, dan manusiawi.
Melalui Supriyadi alias Joker (reserse di Batam), Andi (bekas pecandu narkoba di Jogja), dan sekelompok Slankers Kupang, Mataram, penonton diajak menengok ruang-ruang pribadi Slankers yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat terinspirasi dan meneladani semua virus kebaikan yang ditularkan grup idolanya. Termasuk metamorfosis besar yang terjadi pada personil Slank.
Meski menyebut diri “cerita mengenai Slank dan Slankers”, film ini adalah sebuah dokumentasi sosial yang sangat berhasil dan mengharukan. Sayang, infrastuktur perfilman kita, termasuk para penontonnya, belum siap mengapresiasi film dokumenter seperti ini sebagai alternatif hiburan yang mencerahkan.