Keistimewaan apa yang masih bisa diharapkan dari film percintaan anak muda Indonesia? Terutama jika penulis dan sutradara jelas-jelas ingin setia pada realita sosial dan budaya masyarakatnya. Dee dan Hanung Bramantyo dalam film ini mencoba menjawab dengan kembali pada semangat dasar penciptaan film: membangun sebuah fiksi alias dongeng menarik dalam bingkai realita atau konteks yang membatasi bahkan mungkin membosankan.
Tersebutlah Kugy (Maudy Ayunda), gadis pendongeng yang sangat realistis. Situasi mempertemukannya dengan Keenan (Adipati Dolken), pemuda idealis yang sangat rapuh. Keduanya merasakan kesamaan souldan frekuensi, lalu diam-diam jatuh cinta, tapi sampai film bagian pertama ini selesai tidak saling mengetahui. Namanya anak muda, cinta yang tak kunjung terekspresikan itu membuat mereka limbung, patah hati, bahkan sampai merusak sebagian kehidupan mereka.
Kugy dan Keenan kemudian menenggelamkan diri dalam kesenangan dan obsesi masing-masing: mendongeng dan melukis. Di titik ketika mulai menemukan jatidiri, mereka juga menemukan pendamping yang seolah-olah sempurna untuk saling melengkapi, tipikal laki-laki dan perempuan sejati. Kugy berpacaran dengan Remi (Reza Rahadian), seorang profesional dan gentleman yang memikat. Keenan terpikat pada Luhde (Elyzia Mulachela), gadis lembut, penuh perhatian, dan suportif.
Asmara dan pencarian jatidiri merupakan tema besar sekaligus kegelisahan besar dalam kehidupan anak muda di manapun. Film ini berhasil menggambarkan dua sumber persoalan sekaligus sumber kekuatan generasi baru itu secara jernih dan proporsional. Barangkali hal itu menyebabkan film ini terlalu dewasa buat penonton remaja, dan sebaliknya terlampau kekanakan bagi penonton dewasa.
Toh, film ini tetap layak ditonton terutama karena, sebagaimana dongeng yang menarik, ia bertumpu pada keragaman dan keunikan karakter tokoh-tokohnya. Sayangnya, tidak semua karakter sekuat Kugy dan Remi, atau mungkin karena tidak semua pemeran bermain sebagus Maudy Ayunda dan Reza Rahadian.