Tradisi film musikal yang awalnya dikembangkan Hollywood pernah disebut sebagai ‘ode bagi perkawinan’. Ini mengacu pada kecenderungan film-film musikal klasik tahun 1930-1960an yang berpaku pada narasi dua karakter yang beroposisi dalam hal gender, ras, agama, latar belakang, temperamen, dan sebagainya untuk kemudian ‘dipasangkan’. Tradisi oposisi biner ini, meski tidak secara harfiah berhubungan dengan perkawinan, juga digunakan oleh Rumah Tanpa Jendela.
Rumah Tanpa Jendela, sebuah film musikal kanak-kanak yang diadaptasi dari cerpen karya Asma Nadia, mengambil model biner dari dongeng moral Mark Twain: The Prince and The Pauper. Sang pangeran adalah Aldo, seorang anak laki-laki dari keluarga kaya-raya dengan sindrom mental tak terjelaskan yang membuatnya mengalami ‘penolakan’ dari komunitasnya (anggota keluarga).
Aldo mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan fisiknya berlebihan, tapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema personal. Sementara si miskin adalah Rara, gadis cilik yang sesekali bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo belajar. Rara tinggal bersama neneknya (Simbok, diperankan Inggrid Widjanarko) dan ayahnya (diperankan secara tidak meyakinkan oleh aktor yang terlalu muda, Raffi Ahmad) di pemukiman kumuh dengan rumah-rumah yang dibangun dari kombinasi seng-triplek-kayu bekas tanpa jendela. Mudah ditebak, kondisi ini membuat Rara terobsesi untuk memiliki rumah dengan jendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.
Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu dan bersahabat lewat peristiwa accidentally on purpose (strategi naratif yang banyak dikembangkan film-film Indonesia, yaitu rangkaian ‘kecelakaan’ atau ‘kebetulan’ yang sulit dipercaya demi mendorong alur cerita). Namun, pertemuan Aldo dan Rara tentu tak hanya soal pertemuan antar individu, tetapi juga pertemuan dua kutub latar belakang ekonomi yang diwakili oleh keluarga Aldo dan teman-teman Rara: antara si miskin dan si kaya. Pertemuan ini, bisa diduga, tak berjalan mulus. Ibu dan kakak perempuan Aldo menganggap teman-teman baru Aldo yang meng-‘invasi’ rumah mereka sebagai perusak dekorasi rumah tangga dan status sosial. Sementara kemewahan rumah Aldo dengan banyak jendela menularkan obsesi memiliki rumah berjendela di kalangan teman-teman Rara sesama penghuni pemukiman kumuh dan murid sekolah singgah (sekolah gratis bagi anak-anak jalanan/pemulung/miskin yang dikelola guru muda cantik berjilbab bernama Bu Alya).
Tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini kecuali penekanan dramatis belaka. Satu-satunya yang terwakili oleh scene-scene musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif itu adalah energi dan semangat kanak-kanak. Namun, scene-scene musikal tersebut tak menambahkan lebih pada bangunan makna film (bentuk dan gaya) kecuali hanya sebagai penanda ‘kesahihan’-nya sebagai film musikal. Adegan musikal kebanyakan merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo). Penekanan pada kolektivitas ini salah satu ‘karateristik’ film musikal klasik Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial, baik relasi inter-komunitas (konflik keluarga Aldo) maupun antar-komunitas (konflik antara keluarga Aldo dan komunitas Rara).
Layaknya dongeng kanak-kanak majalah Bobo, film Rumah Tanpa Jendela menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan, baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/ mental. Fungsi ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan akan perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif. Namun, permasalahan dari film musikal anak-anak adalah bahwa ia menawarkan resolusi yang dibayangkan oleh pembuat film agar bisa dipahami oleh anak-anak. Hal ini hanya dimungkinkan dengan melakukan penyederhanaan.
Penyederhanaan posisi biner si miskin dan si kaya terwakili oleh narasi sosial-ekonomi Aldo dan Rara. Aldo, si kaya, memiliki berbagai privilege (mobil mewah, rumah mewah, supir, pembantu, sekolah khusus). Sementara Rara mewakili narasi kemiskinan dalam segala keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah seadanya, kerja sampingan. Maka, perbedaan si miskin dan si kaya dalam film ini adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya.
Meskipun aspek kemiskinan tampil secara satu dimensi, film ini tidak melakukan sterilisasi berlebihan layaknya film-film Indonesia kebanyakan yang menggambarkan kemiskinan. Hal ini didukung oleh penggambaran keluarga baik-baik dan protektif yang cukup meyakinkan sebagai alasan pergaulan Rara yang steril dari eksploitasi (prostitusi, mengemis) maupun perilaku destruktif (nge-lem, narkoba, rokok, mencuri/menodong) yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme sosial dalam menilai film musikal adalah sia-sia mengingat film musikal sendiri menawarkan utopia dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference). Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep ‘film yang menghibur’ sebagai utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya adalah utopia menurut siapa?
Dalam operasi pengajaran moral, selalu ada kesimpulan/ resolusi yang mengacu pada sikap moral yang disarankan. Dalam film Rumah Tanpa Jendela, sikap itu adalah bersyukur (dalam konteks non-relijius, lebih mengarah pada suatu kondisi penerimaan atau nrimo dalam bahasa Jawa). Rara, si miskin menginginkan yang tak mungkin menjadi miliknya, yaitu kemewahan berupa rumah berjendela. Aldo memungkinkan Rara mengakses ini dan bahkan yang lebih lagi: kolam renang, mobil, buku dan krayon. Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai kerakusan ketika ia ‘dihukum’ lewat kompensasi yang harus ia bayar. Logika pemaknaan tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis (pesta ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis terbakar, Simbok tergeletak koma, dan ayahnya meninggal dunia. Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai yang tak-berpunya.
Lebih parah lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas semua yang mereka punya (harta dan keluarga yang utuh) sementara ada orang-orang yang tak-berpunya seperti Rara. Maka, untuk ‘membayar’ pelajaran yang mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara dan simboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta. Dengan begitu, mereka melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa film Rumah Tanpa Jendela memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-ekonomi lewat model film musikal klasik Hollywoodian. Film ini menawarkan model utopia dalam merespon kondisi masyarakat Indonesia yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Yaitu, utopia atau kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.
Dalam model utopia ini, anak-anak menjadi penanda dari kelahiran (birth) atau takdir manusia. Permasalahan yang dimiliki anak-anak ini diperlihatkan sebagai sesuatu yang taken-for-granted atau bersifat takdir, dengan lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih mempertanyakan penyebabnya. Hal ini paling tampak dalam posisi biner permasalahan Aldo dan Rara. Disability Aldo yang mewakili aspek natural takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara, sehingga membuat kemiskinan ter-naturalisasi lewat logika pemahaman yang sama. Alih-alih hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung negara, film ini menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia.
Jendela dalam film Rumah Tanpa Jendela kemudian menjadi sebuah metafora yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang meng-akses dunia lain (dalam/ luar) tanpa meninggalkan tempatnya. Jendela memungkinkan orang melihat, bukan terlibat (dibandingkan pintu yang menyediakan akses untuk masuk/ keluar). ‘Jendela’ itu adalah rasa syukur atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. Dengan si miskin berlapang-dada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari kemalangan si miskin, maka masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan tercipta.
Dongeng semacam inilah yang ditawarkan Rumah Tanpa Jendela pada penonton yang mereka sasar, tak lain tentu anak-anak kelas menengah atas yang mampu meng-akses bioskop sebagai bagian dari leisure activity. Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat dimana kemiskinan dan kekayaan ter-naturalisasi sebagai takdir dan karenanya tak perlu dipertanyakan. Karena hanya dalam kondisi itulah si kaya termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka; dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tak tampak’ di depan mata.